iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Model Gereja sebagai Hamba


Dalam model hamba atau pelayan, terjadi perubahan sikap dalam diri Gereja. Pada mulanya Gereja memusuhi apa yang dibawa oleh modernitas, bahkan melihatnya sebagai sesuatu yang jahat, yang harus dijauhi.


Dalam model hamba, Gereja menanggalkan sikap triumfalis dan arogannya, dan ia mau mendengarkan, berdialog dan bahkan belajar dari dunia. Gereja bahkan mengakui otonomi hal ihwal duniawi dan ilmu pengetahuan. Gereja bersikap solider dan mau menjadi pelayan sebagaimana dikatakan dalam Gaudium et Spes 1 dan 3.

Gereja ada untuk orang lain
Sikap positif terhadap dunia membawa implikasi dalam metode teologi “metode teologi yang sejalan dengan eklesiologi ini berbeda dari tipe-tipe teologi yang lebih otoriter, yang telah kita kenal selama berabad-abad sebelumnya.

Metode ini dapat disebut sekular dan dialogal; sekular karena Gereja sudah seharusnya mengambil dunia sebagai tempat berteologi dan bersaha memperhatikan tanda-tanda jaman; dialogal karena ia bermaksud untuk lebih bekerja pada batas antara dunia kontemporer dan tradisi kristen, daripada hanya memakai tradisi kristen sebagai ukuran dan norma bagi dunia dewasa ini”.

Yesus datang tidak hanya untuk memaklumkan Kerajaan Allah, melainkan juga untuk memberikan diriNya demi perwujudanNya. Dia datang untuk melayani, menyembuhkan, mendamaikan, dan membalut yang terluka. 

Dalam arti istimewa dapat dikatakan Yesus adalah orang Samaria yang baik hati. Yesus adalah orang yang selalu beserta kita dalam kekurangan dan kesusahan kita. Dia memberikan diri demi kepentingan kita. Dia sungguh mati supaya kita hidup, Dia melayani kita supaya kita disembuhkan.

Praksis pelayanan Yesus: Dia yang membungkukkan badannya untuk mencuci kaki, Dia yang merendahkan diri dan mengosongkan diri, Dia yang tersengat dan tergerak oleh belas kasih, Dia yang berpihak pada yang terpencil dan terkecil, Dia yang berani mengkritik ketidakadilan dan penindasan, Dia yang selalu mengampuni dan memberi kesempatan bagi yang salah untuk memperbaiki diri.

Keenam praksis pelayanan Yesus di atas harus menjadi inspirasi dan paradigma Gereja sebagai hamba yang melayani. Yesus menjadi model atau paradigma Gereja sebagai hamba: Situasi masyarakat yang ditandai dan dilukai oleh ketiakadilan, penindasan, kemiskinan akut, dan kematian prematur orang-orang kecil yang disalibkan oleh sesamanya, menantang kita sebagai Gereja untuk terlibat dalam praksis pembebasan dan berjuang menegakkan keadilan.

Dalam situasi kontras negatif demikian, sikap indifferent dan netral tidak dapat dibenarkan secara etis. Model Gereja sebagai hamba mendapat inpirasi dari praksis Yesus dan dari orang-orang yang sungguh dijiwai oleh semangat Yesus.

Pada abad XX ini kita melihat sosok Theilard de Chardian dan Dietrich Bonhoeffer yang memberikan gagasan cemerlang bagaimana Gereja harus bersikap dalam dunia modern. Dari Theilard de Cardine kita dapat melihat sosok pribadi yang dalam hidupnya berjuang untuk mengabdikan seluruh hidupnya mencapai titik temu antara dua kesetiaan, yakni kesetiaan pada ilmu pengetahuan dan kesetiaan pada Gereja. Ia berupaya mensintesiskan iman dan ilmu. Menurutnya, Gereja harus menjadi pelopor perkembangan dan terbuka terhadap perubahan dan segala yang baik.

Dietrich Bonhoeffer menggarisbawahi bahwa Gereja ada bukan bagi dirinya sendiri, tetapi bagi orang lain (the Church for the others). The Church is the community for the Kingdom. Gereja adalah Gereja hanya kalau ia berada bagi orang lain. Untuk memulainya, ia mesti memberikan semua miliknya kepada mereka yang membutuhkannya.

Kaum klerus harus hidup semata-mata dari derma suka rela yang diberikan umat, atau dengan menjalankan suatu pekerjaan sekular. Gereja harus mengambil bagian dalam problem-problem sekuler dari kehidupan manusia yang biasa, tidak dgn menguasainya, tetapi dengn menolong dan melayaninya.

Kekuatan
Kekuatan dari model Gereja sebagai hamba adalah terjadinya gerak perbahan sikap Gereja, dari sikap memusuhi dunia dan modernitas, menjadi sikap berdialog, mendengarkan, bahkan belajar dari dunia dan melayani dunia. Perhatian Gereja berubah dari internal ke ekternal, Gereja menyadari misi sosialnya, terlibat dalam gerakan pembaharuan dunia, menjadi pembela dan pejuang hak-hak asasi manusia.

Eklesiologi ini memadukan konteks dengan teks (KS dan Tradisi hidup Gereja). Gereja menyadari bahwa Pewartaan Injil dan Kerajaan Allah tidak bisa dilepaskan dari perjuangan demi keadilan dan melawan segala bentuk penindasan. Model eklesiologi ini memberi tekanan pada tanggung jawab manusia untuk terlibat dalam membangun dunia yang lebih adil dan manusiawi.

Kelemahan
Kelemahan dari model eklesiologi ini merelatifkan peran Gereja, sebab Gereja hanya dilihat sebagai salah satu agen perubahan sosial, sehingga orang akan beranggapan kalau ada organisasi di luar gereja yang lebih efektif dalam melakukan perjuangan demi keadilan dan pembebasan, mengapa ia harus menjadi anggota Gereja. Penekanan pada perubahan struktural dan sistem cenderung menganggap sekunder perubahan hati yang sesungguhnya menjadi dasar pertobatan.

Setelah menelusuri model-model Gereja kita dapat melihat bahwa ternyata tidak ada satupun model ideal yang dapat menjelaskan misteri Gereja secara komprehensif, sebab setiap model memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Untuk mendapat pemahaman yang tepat tentang identitas dan misi Gereja, kita perlu mengkombinasi di antara model-model yang ada, sehingga unsur spiritual dan material, unsur institutional dan mistik-karismatik serta sakramental dijaga secara seimbang.

Tantangan yang harus dihadapi dalam Gereja Katolik adalah menemukan cara-cara baru menggereja yang memperhatikan dimensi institutional, kohesi intenal dan memberi ruang pada kreativitas teologis serta menghindari bahaya jatuh ke dalam institutionalisme, kita perlu menjaga keseimbangan antara kepentingan internal dan eksternal, antara the logic of mission and the logic of maintenance, antara koinonia dan diakonia.

Eklesiologi yang perlu dikembangkan adalah eklesilogi yang mendukung adanya sikap kritis dan terbuka terhadap perubahan yang dituntut oleh perubahan jaman namun sekaligus setia pada Kitab Suci dan Tradisi Gereja sehingga Gereja sebagai Sakramen Yesus Kristus dan sakramen keselamatan universal sungguh dapat dirasakan dampaknya secara sosial.



Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.