iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Gereja sebagai Masyarakat Sempurna


Sebagai Masyarakat sempurna, Gereja: 
  1. mempunyai tanda keanggotaan yang kelihatan dan dibuktikan secara yuridis. Gereja menolak gagasan keanggotaan yang tidak kelihatan dan menuntut sikap patuh dan taat. 
  2. bersifat misioner-gerak ekspansif. Gereja yang menganggap diri sebagai pemilik kebenaran absolut dan melihat dirinya sebagai sarana penyalur rahmat tunggal, sehingga kalau orang mau selamat, mereka harus menjadi anggota gereja: “Extra Ecclesia Nullam salus.” 
  3. Gereja sebagai Masyarakat sempurna dan punya segalanya yang bersifat Institusional: yuridis, organisatoris, Hierarkis—struktur kepemimpinan bertingkat dan sentralistis dalam kekuasaan: relasi yang tidak setara, bersifat autoritarian dan statis,
Fungsi Gereja adalah 
  1. mengajar: Gereja sebagai sekolah di mana para guru mengajarkan kebenaran iman sebagai syarat untuk masuk ke dalam hidup kekal. 
  2. Menguduskan: para Uskup, para imam, diakon menjadi saluran rahmat yang menguduskan. 
  3. Memimpin: Gereja mengarahkan umat ke jalan kebenaran yang membawa mereka kedalam keselamatan.
Dalam ketiga fungsi ini Gereja menempatkan diri sebagai yang ada di atas, tahu segalanya. Padahal Gereja sendiri harus diajar dan belajar, dikuduskan dan menguduskan diri, Gereja yang terus menerus membaharui diri dan memurnikan diri.

Kekuatan:
Kekuatan model Gereja ini mendapat dukungan magisterium selama berabad-abad. Model ini menekankan struktur ajaran, tata aturan sakramental, struktur kepemimpinan yang tetap dan kuat, menjaga kontinuitas dan stabilitas, dan memberikan rasa identitas dan misi yang jelas.

Kelemahan:
Kelemahan model Gereja ini:
  1. tidak memiliki dasar biblis yang jelas sebagaimana nampak dalam model gereja sebagai Tubuh Mistik dan Umat Allah. 
  2. bersikap klerikalis sehingga menghambat partisipasi dan pemberdayaan umat.
  3. terlalu bersifat yuridis-legalistis: kurang memberi memberi kebebasan, mengubah Injil menjadi hukum baru.
  4. unsur kenabian tidak mendapat tempat, bahkan cenderung ditekan.
  5. membatasi kreativitas teolog, memangkas sikap kritis dan innovatif dalam pemikiran teologis.
  6. mereduksi tugas teolog pada penjaga dan pembela ajaran dan posisi yang sudah ditetapkan.
Model ini juga tidak menanggapi tuntutan jaman, bersikap triumfalis, arogan; menganggap diri sebagai pemilik kebenaran, akibatnya sulit mendukung gerakan ekumenis dan dialog antar agama.

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.