iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Siapakah Ibuku?


Senyum dan tawamu tak pernah sirna dari ingatan dan hati kami. Di setiap perjumpaan tawa dan senyum itu selalu membuncah tulus. Mama Bertha Brigida boru Sidabutar adalah sosok bersahaja, pendoa dan penyayang. 

Mungkin ini terdengar Subyektif. Namun sejauh kami mengenalnya, mama kami ini sangat dikagumi oleh keenam putera-puterinya, para cucunya, para tetangga dan orang-orang yang mengenalnya.

Secara marga, saya (Sinurat) semestinya memanggilmu Inanguda dan Monlee (Lumbanbatu) memanggilmu Namboru. Tapi kami berdua lebih suka memanggilmu mama, khususnya selama kami menumpang di rumah Keluarga GM Silalahi pada tahun 1997 lalu. Itu karena dirimu berlaku seperti seorang ibu kepada kami berdua.

Kami sangat beruntung mengenalmu, mama. Kurang lebih 3 bulan pada tahun 1997, disaat kami diwajibkan oleh Pimpinan Seminari untuk menuntaskan kursus komputer di penghujung masa SMA, kami harus mencari kos karena tidak boleh lagi tinggal di asarama. 

Monlee yang merekomendasikan dan mengaka saya untuk tinggal di rumah GM Silalahi. Kata Monlee, Peterus, anak siampudanmu yang juga kakak kelas kami di Seminari lah yang mengarahkan sekaligus mengizinkan kami tinggal di sana.

Di hari pertama, pada perjumpaan pertama, mama menyambut kami dengan senyum dan tawa khasmu itu. "Selamat datang di rumah, ya. Saya senang kalian berdua akan tinggal di sini. Walaupun kita belum saling kenal, tapi saya tahu kalian anak-anak baik karena sekolah di Seminari. Jadi anggap saja rumah sendiri," katamu menyambut kami. 

Setelah kami memperkenalkan diri dan minta izin untuk diterima untuk tinggal selama dua bulan ke depan, mama lalu melanjutkan, "Tentu saja boleh. Saya malah ingin kalian berdua betah di rumah ini. Kami hanya ada satu kamar untuk kalian berdua. Terus, kami punya kebiasaan makan bersama dan saya harap kalian dua ikut ya, amang. Jadi kalian tinggal dan makan di rumah ya," kata mama sembari menunjuk kamar yang akan kami tempati selama di rumah. Belakangan kami tahu kalau kamar itu sebetulnya kamar si ito pudan, Rebeka. Sebuah kaar yang rapi dan resik yang telah "dikorbankan" untuk kami.

"Tak usah bayar. Tak ada bayar membayar di sini. Toh cuma dua bulan saja?" lanjut mama dengan tawa khasnya seakan tahu keterbatasan uang sakut kami. 

Mama lalu mengenalkan anak-anaknya, mulai dari yang paling besar hingga sipudan, "Putri Sulung bernama Suryati Silalahi, disusul Elman Silalahi, dan Peterus Silalahi. Ito kalian Suryati sudah kerja, smentara Elman dan Peterus masih sedang kuliah. Ito kalian yang saat ini masih di rumah: Elisabet dan Rosalina yang bersekolah SMA di Budi Mulia dan siappudan kami ini, si Nurmaida alias Rebeka masih bersekolah di SMP Budi Mulia. Kebetulan bapa bekerja di luar kota dan sekali seminggu pulang", tambah mama.

Sungguh, tak mudah menerima kebaikan yang sangat besar dari mama dan keluarga--yang oleh ito pudan disingkat dengan kata SEDERN (Suryati-Elman-Daimura-Elisabet-Rosalina-Nurmaida) ini. Apalagi dengan perlakuan mama, kami berdua merasa seperti Yohanes yang dititipkan Yesus kepada Bunda Maria, "Yohanes, inilah ibumu". Dan benar saja, kami sungguh diperlakukan dengan penuh cinta oleh seorang ibu bernama Bertha Brigida boru Sidabutar selama di rumah.

Pernah sekali waktu, saya dan Monlee keluar rumah hingga lupa waktu. Kami baru tiba di rumah sekira jam 9 malam. Begitu tiba di rumah, kami sungguh terkejut dan diliputi rasa bersalah. Kami menemui seluruh pneghuni rumah saat itu, mulai dari mama, Lisa, Ros dan Nur berkumpul bersama di ruang utama. Mereka menangis menyambut kami.  Kami berpelukan dan diperlakukan bak dua anak hilang tanpa meninggalkan jejak. 

Mama sangat kwatir. begitu juga dengan ketiga ito kami. Mama bercerita kalau sejak waktu siang ketiga ito itu telah dicari ke beberapa tempat, mulai dari asrama Seminari hingga beberapa tempat tongkrongan di cafe Rumah Sakit Harapan. 

Saya dan Monlee saling melihat dan sama-sama tidak menyangka samasekali perlakukan keluarga ini. Kami hanya keluar dari rumah seperti anak kos pada umumnya. Kesalahan kami adalah tidak merasa sebagai anggota keluarga di rumah itu dan tidak memberitahukan kemana kami pergi dan jam berapa pulang. 

Jadilah kami merasa diri sebagai "dua anak hilang" dan melebihi satu anak hilang yang ada yang terdapat dalam Injil Lukas. Sebagai anak hilang, saya ingat betul pesan mama, "Sekali lagi, kalau keluar rumah kasihtau ya amang. Jangan bikin kuatir ibu dan ito-itomu ini". 

Sebuah pesan tulus seorang ibu yang memang mencintai anak-anaknya. Kebiasaan inilah yang sempat kami praktikkan di Seminari Tinggi. Kami selalu terbiasa memberitahu kepada salah seorang penghuni rumah bila pergi keluar. Paling tidak kami menulisnya di whiteboard yang tersedia di ruang telepon biara. Kebiasaan ini bahkan masih berlanjut hingga sekarang 

Secara sadar, kami saya dan Monlee sudah mulai dilatih untuk disiplin di rumah Silalahi yang terletak dibelakang Seminari Menengah Christus Sacerdos Pematangsiantar itu. Sebab rumah yang kami tinggalin selama dua bulan itu adalah rumah doa. Tempat di mana seorang mama yang lembut, tulus dan pendoa bersama ketiga putrinya yang juga sangat aktif di Legio Maria dan pelayan di Gereja. 

Inilah masa postulan kami: ketika kami lari dari doa dan bersenang-senang sebagaimana seorang remaja, kami justru disambut dengan pelukan haru dalam doa oleh empat perempuan yang luarbiasa. Kalau di Seminari kami dihukuk push-up kalau terlambat atau tidak hadir pada setiap acara yang ada, maka di rumah ini kami justru dihukum dengan cinta seorang ibu, "Sekali lagi, kasih tau kami kalau pergi keluar rumah ya, amang?" 

"Dang dao tubis sian bonana", kata orang Batak Toba. Frasa ini tampil apik dalam keluarga besar GM Silalahi/br. Sidabutar. Keenam putra-putri mereka sungguh dekat dengan Gereja. Hingga kini tak satupun dari keenamnya yang berpaling dari Gereja Katolik. Mereka barisan umat Katolik yang lahir hingga mati akan tetap menjadi Katolik.

Keluarga SEDERN ini adalah contoh keluarga Katolik yang baik. Bapa seperti Santo Yosep yang siaga bekerja keras dan tak pernah lupa kewajibannya spiritualnya sebagai seorang Katolik. Begitu juga mama seperti Santa Anna yang membesarkan Bunda Maria agar dekat dengan Tuhan dan GerejaNya. 

Ketika bapa pulang dari tempat kerjanya, ia tak pernah lupa mengikuti Misa hari Minggu. Bapa adalah sosok yang tak kenal lelah. Ia adalah ayah dengan hati gembira dan senang menyanyikan mazmur dan lagu favoritnya dari Puji Syukur. 

Tak heran bila ia tiba hari Sabtu, bapa selalu minta saya ajarin Mazmur. Lucunya, di setiap nada fals dari mulut bapa menggema, mama akan tersenyum dan tertawa. Sungguh keluarga yang bahagia. Si bapa lalu mengatakan, "Ma, mari kita selalu mendendangkan mazmur pujian kepada Tuhan" 

Sekali lagi Saya dan Monlee sungguh beruntung mengenal dan pernah bersama dalam waktu sekejap dengan nkeluarga SEDERN ini. Khusus dari mama kami belajar bagaimana berpikir positif dan tanpa petingsing kepada orang lain. Di kala hidup kadang begitu berat, ketulusan menjalaninya dengan senyum dan tawa adalah obat.

Terimakasih mama Bertha Brigida boru Sidabutar. Sejak 15 Marel 2025 lalu surga sudah siaga menyambut hadirmu, senyum dan tawamu. Doaku juga secara khusus untuk seluruh anggota keluarga SEDERN: ito Suryati Silalahi, Elman Silalahi, Peterus Daimura Silalahi, Elisabet SIlalahi, Rosalina Silalahi dan Nurmaida Rebeka Silalahi agar tetap merawat dan menghidupi segala kebaikan mama.

Saya merasa bangga ketika hadir pada Pesta Emas perkawinan bapa-mama. Saat itu saya melihat betapa bapa GM Silalahi dan mama boru Sidabutar terlihat sangat bahagia, karena dianugerahi Tuhan : anak-anak yang sudah berhasil dan cucu-cucu yang sehat dan melengkapi kebahagiaan mereka berdua.

Pertanyaan Yesus kepada murid-muridNta sebagaimana termaktub dalam judul di atas, kini terjawab. "Ibuku adalah mereka yang mendengar dan mengikuti Aku." Kini kita tahu, sepanjang hidupnya, mama Bertha Brigida boru Sidabutar telah hidup di dalam Kristus dan kini ia telah bersama Kristus.  Rest in Peace!  
  
a.n. 
Lusius Sinurat dan Yohanes Sohirimon Lumbanbatu 

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.
Order Buku