iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Sisakan Privasimu dan Jangan Narsis Banget


Banayak sekali nnetizen Indonesia yang sudah terkena penyakit narsistik di media sosial. Seseorang dengan kepribadian narsistik seringkali mencari perhatian dan pengakuan di media sosial. Mereka cenderung memposting foto diri yang berlebihan.

Tujuannya jelas untuk menampilkan citra diri yang sempurna dan menarik perhatian. demi tujuan itu, mereka menggunakan filter dan edit foto secara ekstrem. Tentu, karena mereka ingin terlihat lebih menarik dan sempurna, dan tak peduli tampilan itu jauh dari kenyataan.

Belum lagi kebiasaan memposting cerita secara dramatis. Mereka seringkali membesar-besarkan masalah, atau prestasi yang mereka raih demi mendapatkan simpati, pujian dan kekaguman netizen lain.

Menyebarkan gosip dan rumor adalah kebiasaan lain yang seakan melekat dalam diri netizen model ini. intinya, mereka senang menjadi pusat perhatian, dan salah satu cara yang seringkali mereka pilih adalah dengan menyebarkan informasi yang tidak benar tentang orang lain. Misalnya orang yang tak pernah menjadi pemain bola, alih-alih melatih tim sepakbola tapi mengkritik keras cara pelatih sepakbola sungguhan dengan bahasa melecehkan.

Anehnya, mereka justru menolak kritik: Mereka sangat sensitif terhadap kritik dan akan berusaha membela diri dengan segala cara.tak jarang mereka juga melaporkan pengkritiknya ke polisi. Tentu hal itu hanya untuk menakut-nakuti "lawan -lawannya" di dunia maya.

Satu hal lagi yang ganjil adalah kebiasaan suka membandingkan diri dengan orang lain: Mereka terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain dan merasa iri atau marah jika orang lain mendapatkan perhatian lebih.

Perilaku toksik di media sosial ini mencakup berbagai macam tindakan yang dapat menyakiti atau merugikan orang lain. Beberapa contoh perilaku toksik antara lain: cyberbullying (menyerang atau melecehkan orang lain secara online melalui komentar, pesan, atau postingan yang kasar atau mengancam), hate speech (menyebarkan ujaran kebencian yang didasarkan pada ras, agama, gender, atau orientasi seksual), doxxing (menerbitkan informasi pribadi seseorang secara online tanpa izin mereka), grooming (membentuk hubungan dengan anak-anak atau remaja secara online dengan tujuan melakukan pelecehan seksual), catfishing (memalsukan identitas online untuk menipu orang lain), atau spreading misinformation (menyebarkan informasi yang salah atau menyesatkan dengan sengaja).

Kebiasaan narsistik dan perilaku toksik di media sosial ini ternya memiliki dampak negatif yang serius, baik bagi pelaku maupun korban. sebut saja rusaknya relasi dengan orang lain, bahkan orang terdekat, seperti teman, keluarga, dan pasangan.

kebiasaan ini juga melahirkan masalah kesehatan mental, terutama bagi korban perundungan (cyberbullying) hingga mereka mengalami depresi, kecemasan, atau gangguan stres pasca-trauma. Demikian juga si empunya perilaku toksik dapat merusak reputasinya sendiri hingga sulit untuk mendapatkan kepercayaan orang lain. Dan dampak paling parah adalah ketika orang yang berperilaku toksik memicu konflik dan perpecahan dalam masyarakat.

Untuk menghindari kebiasaan narsistik atau perilaku toksik di media sosial, beberapa hal yang dapat kita lakukan antara lain: memblokir akun yang mengganggu dan laporkan perilaku tersebut ke platform media sosial; batasi waktu yang Anda habiskan di media sosial;bicarakan perasaan Anda dengan teman, keluarga, atau terapis; alihkan perhatian Anda pada hal-hal yang positif dan bermanfaat, seperti hobi, olahraga, atau kegiatan sosial, dst. 

Penting untuk diingat bahwa setiap orang bertanggung jawab atas tindakan mereka di media sosial. Kita semua harus berusaha untuk menciptakan lingkungan online yang positif dan saling menghormati.

lusius-sinurat
Lebih lamaTerbaru

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.