Seorang ibu mengeluh tentang anak gadisnya, "Anakku pandai tapi tak percaya Tuhan. Anakku pandai tapi sekarang ia jadi tak percaya Tuhan." Sang gadis yang berusia sekitar 14 tahun ini termasuk anak yang kritis dan pandai luar biasa, sehingga di sekolahnya ia termasuk dalam kelas istimewa, yang dikhususkan untuk anak-anak super pandai.
Rasa si ibu bercampuraduk dengan rasa prihatin yang sangat, sebab kepandaian anak itu diikuti dengan sikap penolakan akan Tuhan. Putrinya yang gemar membaca itu memang telah melahap berbagai macam buku, baik tentang filosofi modern maupun tentang aneka tokoh dan peristiwa di dunia, yang menghantarnya kepada keyakinan itu.
Tapi sang ibu tak berdaya. Ia mulai bertanya-tanya, apakah kesalahannya sehingga ia gagal mewariskan iman kepada anaknya? Siapakah yang bersalah dalam hal ini, sang ibu, ataukah sekolahnya, sehingga anak itu tidak lagi mengakui adanya Sang Pencipta?
Sejujurnya masalah ibu ini merupakan menjadi masalah umum bagi para orang tua, baik di masa ini maupun di waktu mendatang, terutama keetika pihak orang tua, sekolah maupun Gereja tidak segera menyikapinya dengan bijak.
Pendidikan anak memang pertama-tama merupakan tanggung jawab orang tua, namun sekolah maupun Gereja, juga terlibat di dalamnya. Penting bagi kita semua untuk memberikan perhatian kepada masalah pendidikan anak, karena kita semua bertanggung jawab untuk membekali generasi penerus kita dengan pengetahuan dan iman.
Tujuannya, agar mereka kelak dapat menjadi orang-orang yang tidak hanya pandai, namun juga berhati mulia sebagai anak-anak Tuhan. Anak-anak perlu diarahkan agar tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri tetapi kepentingan orang lain juga; agar mereka tidak hanya mengejar kebaikan dalam kehidupan di dunia ini, tetapi juga di kehidupan yang akan datang. Pendeknya, anak-anak dididik agar menjadi semakin menyerupai Kristus.
Posting Komentar