iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Pendidikan yang Seimbang



“Anakku pandai tapi tak percaya Tuhan,” keluh seorang keluhan ibu Mina. Beda lagi dengan ibu Tasya, “Anakku pandai tapi sekarang ia jadi tak percaya Tuhan.” 

Anak ibu Tasya berusia sekitar 14 tahun. Namanya Jenny. Jenny tergolong anak yang kritis dan pandai luar biasa. Di sekolahnya ia termasuk dalam kelas istimewa, kelas yang dikhususkan bagi anak-anak super pandai. 

Hanya saja rasa bangga ibu Tasya juga dibarengi dengan rasa prihatin, sebab kecerdasan anak itu justru diikuti oleh sikap penolakan akan Tuhan. Sang anak yang gemar membaca itu, telah melahap berbagai macam buku.

Jenny yang masih kelas 2 SMP itu sudah 'melahap' buku-buku filsafat kuno, psikologi dan berbagai novel kualitas. Ia juga senang membaca buku tentang tokoh-tokoh hebat dan peristiwa menarik di dunia.

Buku-buku tersebut seakang membantu menghantarnya pada keyakinan bahwa Tuhan tidak itu bukan sosok yang terlalu penting. 

Sang ibu tak berdaya. ibu Tasya mulai bertanya-tanya, apakah ia salah dan telah gagal menddik anak? Padahal ia mewariskan imannya kepada anaknya? Ia di ajak berdoa setiap pagi dan malam, sebelum dan sesudah makan, atau sebelum tidur. Ia juga selalu membawa Jenny kecil ke Gereja setiap hari Minggu.

Lantas, siapa yang salah dalam hal ini? Ibu dan ayahnya, atau justru sekolahnya? Kenyataannya Jenny tidak lagi mengakui adanya Sang Pencipta? 

Masalah ibu Tasya sebetulnya tidak usah dibesar-besarkan. Ia tak sendirian. Banyak ibu lain juga mengalami hal yang sama. Baik pihak orang tua, sekolah maupun Gereja harus menyikapinya dengan bijak. 

Faktanya, pendidikan anak pertama-tama merupakan tanggung jawab orang tua (sebagai anak), namun juga menjadi tanggung jawab sekolah (sebagai murid) maupun Gereja (sebagai umat). 

Penting bagi setiap orang tua untuk memberikan perhatian kepada masalah pendidikan anak, karena kita semua bertanggung jawab untuk membekali generasi penerus kita dengan pengetahuan dan iman.

Tujuannya, agar anak-anak itu kelak dapat menjadi orang-orang yang tidak hanya pintar, tapi juga berhati mulia sebagai anak-anak Tuhan. 

Anak-anak perlu diarahkan agar tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri tetapi kepentingan orang lain juga; agar mereka tidak hanya mengejar kebaikan dalam kehidupan di dunia ini, tetapi juga di kehidupan yang akan datang.

Lebih lamaTerbaru

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.