Konon katanya orang Jerman tak suka basa-basi. Bagi mereka basa-basi itu percakapan palsu. Mereka akan terkejut ketika warga +62 suka berbasa-basi saat menyakan arah jalan, jarak tempuh, kondisi jalan dan kendala dalam perjalanan.
Bagi orang Jerman itu semua hal harus berbasis data. Misalnya saat bertanya luas rumah, total penduduk di daerahnya, isi buku, dst. Sementara di negera kita, basa-basi begitu mendominasi keseharian kita.
Bukankah warga kita terbiasa bertanya "Apa kabar?" kepada lawan bicara yang tak dikenalnya? Atau bertanya "Sudah makan?" justru pada saat rapat penting segera dimulai?
Selanjutnya kita seringkali membuat janji dalam konteks basa-basi. Konon katanya "kebiasaan basa-basi" ini adalah bagian dari budaya "keramah-tamahan".
Ya, kita terbiasa membuat janji, lalu melupakannya. Kita juga terbiasa membatalkan janji, sehingga orang lain membatalkan kesepakatan bisnis. Bagaimana tidak, kita sudah terlambat tapi lupa meminta maaf kepada orang yang sudah berjam-jam menunggu kita..
Hanya di negeri kepulaan ini orang orang yang ditunggu selalu beralasan, "Sudah di jalan. OTW!" padahal ia masih tiduran di rumahnya.
Penghargaan akan waktu adalah masalah utama kita. Pada saat diundang ke sebuah pesta, atau pertemuan penting lain kita sudah terbiasa telat. Dan keterlambatan itu selalu diselesaikan dengan sikap basa-basi tadi.
Basa-basi memang penting. Tapi kebiasaan berbasa-basi seringkali menjadi alasan untuk tidak disalahkan. Orang yang suka basa-basi tak peduli siapa yang dirugikan karena basa-basinya.
Dalam hal waktu, warga +62 menganut prinsip bahwa "ditunggu" itu kebutuhan; sebaliknya "menunggu" itu pengorbanan. Begitulah basa-basi warga +62 merupakan percapan palsu yang mematikan
lusius-sinurat
Posting Komentar