Lembaga pendidikan yang dipandang ideal adalah lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan berbagai potensi siswa
secara utuh, mulai dari potensi mental spiritual, potensi intelektual yang biasanya diukur
dari perolehan nilai Ujian Nasional, potensi sosial dan karakter kepribadian dan ketrampilan anak didiknya.
Lembaga pendidikan yang berhasil mengembangkan berbagai potensi itu biasanya diperebutkan masyarakat, bahkan ketika mereka tahu biaya untuk itu relatif mahal. Hargai itu mengikuti hukum pasar, yakni permintaan tinggi namun daya tampung terbatas, maka harga akan dinaikkan. Sayangnya, karena mahal itu tidak semua orang memiliki peluang untuk dapat mengaksesnya.
Kenyataannya, tuntutan masyarakat itu direspons oleh banyak pihak, tidak terkecuali oleh lembaga pendidikan keagamaan, termasuk lembaga–lembaga pendidikan Katolik.
Muncullah kemudian label-label lembaga pendidikan Katolik yang dipandang lebih bermutu, sebagai contoh sekolah Ursulin, sekolah Kanisius, sekolah Laurentia, sekolah Pangudi Luhur, Domenico Savio, dsb. Lembaga pendidikan ini tergolong bermutu atau berkualitas. Tetapi apa sesungguhnya yang disebut sebagai pendidikan berkualitas itu? Definisi ini seringkali juga masih kabur.
Persoalannya adalah bagaimana lembaga pendidikan
Katolik menjaga eksistensinya, sehingga masih mempunyai daya tarik, menjadi
pilihan masyarakat tanpa kehilangan visi dan panggilannya untuk merasul dalam
pendidikan?
Faktanya jumlah siswa di beberapa lembaga pendidikan Katolik di berbagai
daerah mengalami penurunan secara tajam setiap tahunnya. Tentu ada persoalan yang
perlu kita analisis bersama. Persoalan tersebut menyangkut aspek pelayanan
pendidikan, situasi social-ekonomi, politik dan keagamaan atau bisa jadi karena sekolah
Katolik tidak mempunyai daya tarik, daya saing dan daya tahan lagi.
Keterpuruakan ini juga terjadi karena
kehilangan ROH nya sebagai sekolah yang berlandaskan spiritualitas Kristiani.
Krisis ini membuat orang
yang mengenal sekolah Katolik akan semakin menjauh. Artinya, sekolah Katolik tidak lagi menjadi pilihan dan akan ditinggalkan. Oleh sebab itu sekolah Katolik jangan sampai melupakan jiwa atau ROH-nya sebagai
sekolah Kristiani.
Lembaga pendidikan Katolik disebut berkualitas hanya ketika lembaga tersebut dapat memberikan pelayanan kepada peserta didik dengan
hati yang tulus, sehingga para lulusannya dapat berkembang kemanusiaannya
secara utuh, secara integral artinya siswa yang didampingi mengalami
perkembangan baik fisik, mental, akademis, sosial-emosional, spiritual secara
harmonis yang didukung dengan kultur sikap tanggap terhadap
pelestarian dan keutuhan ciptaan.
Para siswa dalam pendidikannya dibangun
kultur untuk bersyukur, berprestasi, berkualitas, mampu bekerjasama,
berproduktif, berbelarasa, ketangguhan, kasih persaudaraan dan mempunyai
integritas yang tinggi.
Sistem pendidikan yang dikembangkan tidak hanya mengukur dari segi kecerdasan
intelektual saja, namun perlu diperhatikan pembinaan karakter dan kecerdasan
emosional yang terinternalisasikan pada diri siswa secara integral. Untuk
mewujudkannya memerlukan energi lebih, niat yang ikhlas, integritas serta
komitmen semua komponen sekolah disertai dengan usaha sungguh-sungguh,
dan pengorbanan yang tinggi.
Untuk itu, guru di lembaga pendidikan Katolik, tetap memegang kunci terhadap
maju mundurnya Sekolah Katolik. Peran guru di Sekolah Katolik adalah sebagai
agen pembaharuan dan pelaku perubahan serta pendidik karakter bagi para siswa. Guru adalah pemimpin dan pendukung nilai-nilai positif dalam
kehidupan, figur dan teladan serta mengajarkan keluhuran, keutamaan dan
kebaikan. Maka dari itu guru hendaknya bermutu dalam kepribadian dan kerohanian
yang mendukung tugasnya sebagai orang yang bertanggungjawab atas tercapainya
hasil belajar siswa.
Untuk membangun kembali Sekolah Katolik sebagai pilihan masyarakat, hendaknya
Sekolah Katolik melakukan refleksi untuk reorientasi, revitalisasi ke visi –
idealismenya sebagai sekolah Kristiani. Falsafah pendidikan Katolik adalah humanis-demokratis dan bermartabat diformulasikan dalam semangat memanusiawikan
manusia secara utuh. Maka pola pembelajaran hendaknya mengintegrasikan
pemahaman masalah sekitar kehidupan siswa serta-merta mengembangkan
nilai-niliai kemanusiaan secara terpadu.
Nilai-nilai di atas muncul dari kesadaran
siswa melalui refleksi, yang akhirnya diwujudkan dalam perilaku kehidupan
sehari-hari. Sekolah Katolik dalam proses pendidikannya, hendaknya memberikan
suasana pendidikan di mana setiap siswa diterima, dihargai menurut keunikannya,
diberi peluang dan sarana untuk mengembangkan dirinya, serta diberi sarana
untuk menyumbangkan bakat, telenta yang dimilikinya.
Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) hendaknya memiliki sifat Integratif, dengan tujuan
mewujudkan integrasi antara berbagai macam pengembangan, baik
pengembangan spiritual, pengembangan intelektual, pengembangan
sosial, dan kecakapan lainnya.
Bagaimana ciri khas LPK yang integratif itu bukanlah sesederhana yang dibayangkan
sementara orang. Jika yang dimaksudkan integrasi itu adalah pengembangan
keterpaduan secara nyata antara nilai-nilai dengan ilmu pengetahuan pada
umumnya, maka yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana suasana
pendidikan, kultur akademik, kurikulum, sarana dan prasarana.
Tidak kalah penting juga adalah
profil guru yang harus dipenuhi untuk mewujudkan konsep pendidikan integratif
seperti yang dimaksudkan itu. Integrasi, terpadu atau apapun sebutannya tidak
hanya bersifat formal, yang hanya mencakup persoalan-persoalan sepele dan
artifisial, tetapi integrasi dalam kualitas berbagai komponen sistem
penyelenggaraan pendidikan Katolik yang semuanya itu berujung pada terwujudnya
kepribadian siswa yang integratif, yang sekaligus menunjukkan adanya tingkat
keunggulan tertentu dibandingkan dengan yang lain.
Institusi pendidikannya haruslah lebih
unggul, demikian juga keunggulan itu juga tampak pada kualitas guru, sistem
akademik, sosio-kultural sekolah, manajemen, sarana dan fasilitas, termasuk
sumber-sumber belajar lainnya, serta keunggulan yang menyangkut profil siswa
atau lulusannya.
Lembaga pendidikan Katolik perlu melakukan penataan ulang yang disertai dengan
refleksi yang mendalam baik yang menyangkut segi spiritualitas konsepsi,
managemen maupuin dalam tataran praktisnya.
Penataan tersebut menyangkut penegasan visi
Guru Katolik yang dipanggil dalam tugas perutusan Gereja, yang hendaknya
ditumbuhkan sebagai seorang rasuli pendidikan, menumbuhkan sekolah sebagai
komunitas belajar professional, membudayakan sifat reflektif, menumbuhkan
semangat kejujuran akademis dan menumbuhkan kultur demikratis di sekolah
Katolik, di samping dalam pembelajarannya mempraktekkan pembelajaran
kolaboratif yang saling berbagi satu sama lain.
Semoga daya upaya dalam mewujudkan cita-cita ini, dapat menjadikan lembaga
pendidikan Katolik kembali dapat hadir mempesona bagi yang mengharapkan uluran
pelayanan yang penuh jiwa kasih dan ketulusan hati.
Posting Komentar