iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Hilangnya Roh Sekolah Katolik


Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan dunia yang semakin maju, masyarakat dihadapkan pada berbagai pilihan, termasuk dalam menentukan pilihan lembaga pendidikan bagi putra-putrinya. Sebagian orang berpeluang memilih akan memilih lembaga pendidikan yang ideal.

Lembaga pendidikan yang dipandang ideal adalah lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan berbagai potensi siswa secara utuh, mulai dari potensi mental spiritual, potensi intelektual yang biasanya diukur dari perolehan nilai Ujian Nasional, potensi sosial dan karakter kepribadian dan ketrampilan anak didiknya.

Lembaga pendidikan yang berhasil mengembangkan berbagai potensi itu biasanya diperebutkan masyarakat, bahkan ketika mereka tahu biaya untuk itu relatif mahal. Hargai itu mengikuti hukum pasar, yakni permintaan tinggi namun daya tampung terbatas, maka harga akan dinaikkan. Sayangnya, karena mahal itu tidak semua orang memiliki peluang untuk dapat mengaksesnya. 

Kenyataannya, tuntutan masyarakat itu direspons oleh banyak pihak, tidak terkecuali oleh lembaga pendidikan keagamaan, termasuk lembaga–lembaga pendidikan Katolik. 

Muncullah kemudian label-label lembaga pendidikan Katolik yang dipandang lebih bermutu, sebagai contoh sekolah Ursulin, sekolah Kanisius, sekolah Laurentia, sekolah Pangudi Luhur, Domenico Savio, dsb. Lembaga pendidikan ini tergolong bermutu atau berkualitas. Tetapi apa sesungguhnya yang disebut sebagai pendidikan berkualitas itu? Definisi ini seringkali juga masih kabur. 

Persoalannya adalah bagaimana lembaga pendidikan Katolik menjaga eksistensinya, sehingga masih mempunyai daya tarik, menjadi pilihan masyarakat tanpa kehilangan visi dan panggilannya untuk merasul dalam pendidikan?

Faktanya jumlah siswa di beberapa lembaga pendidikan Katolik di berbagai daerah mengalami penurunan secara tajam setiap tahunnya. Tentu ada persoalan yang perlu kita analisis bersama. Persoalan tersebut menyangkut aspek pelayanan pendidikan, situasi social-ekonomi, politik dan keagamaan atau bisa jadi karena sekolah Katolik tidak mempunyai daya tarik, daya saing dan daya tahan lagi.

Keterpuruakan ini juga terjadi karena kehilangan ROH nya sebagai sekolah yang berlandaskan spiritualitas Kristiani. Krisis ini membuat orang yang mengenal sekolah Katolik akan semakin menjauh. Artinya, sekolah Katolik  tidak lagi menjadi pilihan dan akan ditinggalkan. Oleh sebab itu sekolah Katolik jangan sampai melupakan jiwa atau ROH-nya sebagai sekolah Kristiani. 

Lembaga pendidikan Katolik disebut berkualitas hanya ketika lembaga tersebut dapat memberikan pelayanan kepada peserta didik dengan hati yang tulus, sehingga para lulusannya dapat berkembang kemanusiaannya secara utuh, secara integral artinya  siswa yang didampingi mengalami perkembangan baik fisik, mental, akademis, sosial-emosional, spiritual secara harmonis yang didukung dengan kultur sikap tanggap terhadap pelestarian dan keutuhan ciptaan. 

Para siswa dalam pendidikannya dibangun kultur untuk bersyukur, berprestasi, berkualitas, mampu bekerjasama, berproduktif, berbelarasa, ketangguhan, kasih persaudaraan dan mempunyai integritas yang tinggi.

Sistem pendidikan yang dikembangkan tidak hanya mengukur dari segi kecerdasan intelektual saja, namun perlu diperhatikan pembinaan karakter dan kecerdasan emosional yang terinternalisasikan pada diri siswa secara integral. Untuk mewujudkannya memerlukan energi lebih, niat yang ikhlas, integritas serta komitmen semua komponen sekolah disertai dengan  usaha sungguh-sungguh, dan  pengorbanan yang tinggi.

Untuk itu, guru di lembaga pendidikan Katolik, tetap memegang kunci terhadap maju mundurnya Sekolah Katolik. Peran guru di Sekolah Katolik adalah sebagai agen pembaharuan dan pelaku perubahan serta pendidik karakter bagi para siswa. Guru adalah pemimpin dan pendukung nilai-nilai positif dalam kehidupan, figur dan teladan serta mengajarkan keluhuran, keutamaan dan kebaikan. Maka dari itu guru hendaknya bermutu dalam kepribadian dan kerohanian yang mendukung tugasnya sebagai orang yang bertanggungjawab atas tercapainya hasil belajar siswa.

Untuk membangun kembali Sekolah Katolik sebagai pilihan masyarakat, hendaknya Sekolah Katolik melakukan refleksi untuk reorientasi, revitalisasi ke visi – idealismenya sebagai sekolah Kristiani. 
Falsafah pendidikan Katolik adalah humanis-demokratis dan bermartabat diformulasikan dalam semangat memanusiawikan manusia secara utuh. Maka pola pembelajaran hendaknya mengintegrasikan pemahaman masalah sekitar kehidupan siswa serta-merta mengembangkan nilai-niliai kemanusiaan secara terpadu.

Nilai-nilai di atas muncul dari kesadaran siswa melalui refleksi, yang akhirnya diwujudkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Sekolah Katolik dalam proses pendidikannya, hendaknya memberikan suasana pendidikan di mana setiap siswa diterima, dihargai menurut keunikannya, diberi peluang dan sarana untuk mengembangkan dirinya, serta diberi sarana untuk menyumbangkan bakat, telenta yang dimilikinya.

Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) hendaknya memiliki sifat Integratif, dengan tujuan mewujudkan integrasi antara berbagai macam pengembangan, baik pengembangan  spiritual,  pengembangan intelektual, pengembangan sosial, dan kecakapan lainnya. 

Bagaimana ciri khas LPK yang integratif itu bukanlah sesederhana yang dibayangkan sementara orang. Jika yang dimaksudkan integrasi itu adalah pengembangan keterpaduan secara nyata antara nilai-nilai dengan ilmu pengetahuan pada umumnya, maka yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana suasana pendidikan, kultur akademik, kurikulum, sarana dan prasarana.

Tidak kalah penting juga adalah profil guru yang harus dipenuhi untuk mewujudkan konsep pendidikan integratif seperti yang dimaksudkan itu. Integrasi, terpadu atau apapun sebutannya tidak hanya bersifat formal, yang hanya mencakup persoalan-persoalan sepele dan artifisial, tetapi integrasi dalam kualitas berbagai komponen sistem penyelenggaraan pendidikan Katolik yang semuanya itu berujung pada terwujudnya kepribadian siswa yang integratif, yang sekaligus menunjukkan adanya tingkat keunggulan tertentu dibandingkan dengan yang lain.

Institusi pendidikannya haruslah lebih unggul, demikian juga keunggulan itu juga tampak pada kualitas guru, sistem akademik, sosio-kultural sekolah, manajemen, sarana dan fasilitas, termasuk sumber-sumber belajar lainnya, serta keunggulan yang menyangkut profil siswa atau lulusannya.

Lembaga pendidikan Katolik perlu melakukan penataan ulang yang disertai dengan refleksi yang mendalam baik yang menyangkut segi spiritualitas konsepsi, managemen maupuin dalam tataran praktisnya.

Penataan tersebut menyangkut penegasan visi Guru Katolik yang dipanggil dalam tugas perutusan Gereja, yang hendaknya ditumbuhkan sebagai seorang rasuli pendidikan, menumbuhkan sekolah sebagai komunitas belajar professional, membudayakan sifat reflektif, menumbuhkan semangat kejujuran akademis dan menumbuhkan kultur demikratis di sekolah Katolik, di samping dalam pembelajarannya mempraktekkan pembelajaran kolaboratif yang saling berbagi satu sama lain.

Semoga daya upaya dalam mewujudkan cita-cita ini, dapat menjadikan lembaga pendidikan Katolik kembali dapat hadir mempesona bagi yang mengharapkan uluran pelayanan yang penuh jiwa kasih dan ketulusan hati.   


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.