Hanya di media sosial Anda menemukan keganjilan ini: "Ketika apapun menjadi persoalan" dan "ketika hal yang konvensional dipaksa menjadi sesuatu yang fenomenal"
Orang yang terbiasa "berdoa sembunyi-sembunyi di dalam kamar yang terkunci" kini justru disorot "live" oleh kamera dari 8 penjuru mata angin.
Orang yang terbiasa diam-diam berbuat baik kini tak lepas dari sorotan kamera. "Kebaikannya harus diwartakan, agar dunia tahu dia itu orang baik," kata Borokokok di story IG-nya.
Di sisi gelapmya, di media digital percakapan, kita sering juga mengumbar rasa cemburu, iri dan sinis. Orang produktif dikataian naif. Dokter ahli dikatain suka malapraktik. Profesor pesohor dikatain asal nyerocos. Dan, penulis dikatain tak tahu apa-apa untyk ditulisnya.
Benar bahwa paradoks ini produk media. Kontroversi adalah fondasi pewartaan media. Hasilnya, kontroversi kecil akan diletupkan, namun kontroversi besar akan disembunyikan.
Oleh karena itu, seturut konteks perkembangan media digital, sang pemenang adalah mereka yang mengaku bos padahal pesuruh, atau mengaku pintar walau sesungguhnya ia bodoh.
Hanya di media sosial kita "membacakan pidato yang hebat dan memukau", dan di saat yang sama kita melupakan sang penulis yang membuatnya di belakang layar. Ya, tentu saja. Karena dunia lebih suka pada tampilan luar.
Itu sebabnya apa yang diberitakan media (sosial) selalu mendapatkan atensi netizen.
Di satu sisi, media hanyalah stimulus. Namun, ketika kita jujur dan tidak tendensius saat mewartakan peristiwa tertentu, maka media juga akan melahirkan sang pemenang yang sesungguhnya.
Kalau tidak, media akan menjadi pedang bermata dua: menganggungkan yang satu dengan cara menenggelam yang lain.
Karena media hanyalah jembatan berkomunikasi, maka seharusnya kita bekerjasama merawat jembatan itu, agar semua orang bisa menyeberang dengan selamat: "buka, baca, pahami, analisa dan kritisi".
Tolle et lege!
Posting Komentar