Mengubah sifat dari orang yang "mudah percaya sama orang lain" menjadi "mudah curiga sama orang lain" akan membuat diri tanpa arah.
Dalam dunia bisnis, "interaksi dan transaksi harus dimulai dari kecurigaan".
"Jangan mudah percaya sama pemasar," kata motivator-motivator bisnis. "Sejak proses awal, semua kerjasama harus jelas " tambah motivator sejenis.
Di lain tempat, para imam berkotbah di ambo atau podium dari atas altar, "Bagaimanapun sulitnya hidup, kita tak boleh kehilangan iman kepada Tuhan dan kepercayaan kepada sesama."
Di satu sisi, para pebisnis sama saja tujuan mereka.
Si pebisnis, termasuk si motivator ulungnya ingin menemukan kebenaran lebih awal. Pebisnis lebih suka masalah yang terjadi di awal, karena kerugian masih bisa diantisipasi, begitu juga bila tak ada masalah, profit bisa diprediksi.
Di sisi lain, ketika seorang beragama akhirnya kehilangan iman dan kepercayaan, ia hanya bisa menyesalinya dalam tangis atau derita, atau malah berjingkrak dalam tawa penuh sukacita.
Bagi yang sempat apatis dengan Tuhan atau alergi dengan sesamanya, nanun ia ingin bertobat, maka ia cukup melakukan silih atas dosanya.
Di Katolik tersedia ruang pengakuan dosa. Di tempat lain, mungkin cukup berkurban atau dicelup ulang ke dalam kolam renang.
Tapi inilah bedanya. Si pebisnis yang gagal di awal justru lebih berpeluang membangun ulang bisnisnya. Sementara orang beragama yang gagal ia tak pernah bisa melepaskan dirinya dari kegagalannya.
Itu karena di bisnis hanya mengenal kata "rugi" dan "bangkrut", sementara dalam agama rugi dan bangkrut sering duterjenahkan "dosa" dan "laknat".
Kalau si pebisnis yang bangkrut bisa bangkit lagi dengan meminjam modal, tapi si pendosa tak bisa menutupi dosanya dengan kebaikan.
Sebab, hanya di agamalah orang gagal mendapat cap. Di bisnis orang gagal dan berhasil justru jadi tauladan.
#sainaadongdo
Posting Komentar