Pemilu makin dekat. Partai-partai mulai menyiapkan para petugasnya, entah sebagai capres, cagub, cabup, cawalkot; DPR-RI, DPRD I, DPRD II, hingga DPD.
Para pembohong mulai menampilkan jurusnya. Gali uang dari sana dan gali uang dari sini. Koalisi ke partai sana atau berkoalisi dengan partai sini.
Mereka berebutan membeli (ulang) kursi yang disediakan (bagi yang lain untuk mempertahankan).
Ormas menghias diri supaya harga meninggi. Wartawan dan para warganet mulai membongkar sisi lain para lawan politik yang tidak rela membayarnya.
Di sisi lain, para pemimpin agama mulai menyusun strategi, mulai dari pembuatan proposal pembangun atau perbaikan gedung rumah ibadah, jual beli mimbar untuk si caleg, hingga mengajak si caleg dalam program kerja para pendeta, pastor atau ustadz.
"Pilihlah umat kita sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi? Si polan ini adalah tokoh agama kita, dan beliau sangat terpecaya untuk memperjuangkan kebutuhan kita," kata para pengkotbah dari altar sucinya.
Flexing tokoh agama ini sepertinya mulus. Uang si caleg sudah di kantongnya. Dia tinggal menjual para imam bawahannya untuk menyerukan hal yang sama. Mereka bahkan diminta berseru lebih lantang dari mimbar mereka.
Para imam berjubah dengan dilengkapi alba itupun berseru di setiap perayaan suci hari minggu mereka, "Sebagai pimpinan kalian, saya mengajak kalian untuk memilih caleg dari umat kita sendiri.
Anda semua pasti sudah tahu siapa dia, karena hanya dialah satu-satunya caleg DPR RI yang spanduknya boleh masuk ke gereja kita. Setuju?"
Sebagian kecil umat berseru lantang,
"Setuju, romo!"
Sang imam melanjutkan, "Bagus. Biar yang lain juga setuju, saya harus jujur mengatakan bahwa pak caleg kita ini sudah menyumpang bola lampu solar, menyumbang rosario dan kalender kepada semua umat melalui ketua-ketua stasi kita. Belum lagi caleg kita ini sangat sering membawa buah-buahan ke pastoran. Jadi Kurang apa lagi?"
Si pastor melanjutkan, "Mari kita sambut pak caleg kita untuk maju ke mimbar untuk berbicara misi dan visi politiknya. Kita beri tepuk tangan meriah."
Sebagian umat bertepuktangan dan sebagian lagi menepuk dada, "mea culpa, santo Donatur!"
lusius-sinurat
Posting Komentar