Prosesi menuju Pemilu 2024 berlangsung sepi. Hanya ketiga pasangan Capres-Cawapres yang mendapat perhatian media: Anies-Muhaimin (1), Prabowo-Gibran (2), dan Ganjar-Mahfud (3). Sementara kontestasi calon DPD, DPR-RI, DPRD Tk. I hingga DPRD Tk. 2 seakan sepi dari pemberitaan.
Untuk kasus Caleg kita melihat adanya jadwal yang berubah-ubah, mulai dari penetapan DCS hingga pengumuman DCT. Sudah begitu, masa "sepi" justru dilakukan sejak tanggal 4-28 November 2023.
Persoalan tak sampai disitu. Sebagian caleg terpaksa mundur karena peraturan birokrasi baru, tapi juga tak sedikit memutuskan berhenti karena tak punya uang. Para caleg itu stress berat. Mereka yang sudah sempat melakukan sosialisasi dan telah memasang atribut Calegnya kini mulai "menjual suara" yang sudah ia klaim kepada caleg lain yang masih ingin maju.
Menjelang Pemilu 2024 ini motivasi para caleg pun semakin berantakan dan tak karuan. Mulut manisnya tak lagi laik jual. Sebab calon pemilih tak mau gratisan, apalagi saat diminta memilih caleg itu yang selama ini tak peduli dengan warga sekitarnya.
Dalam kurun waktu kurang lebih dua bulan ke depan para caleg menyadari bahwa fenomena money politic di setiap pemilu adalah hal yang amat lumrah. Tak pernah ada pelaku yang ditangkap aparat, juga tindakan itu dilakukan secara terang-terangan.
Alih-alih tanpa money politic, caleg yang telah menyiapkan Milyaran Rupiah saja tak bisa menjamin kalau calon pemilih yang sudah ia bayar pasti akan memilihnya saat pencoblosan di TPS nanti.
Inilah alasan mengapa ketiga paslon caleg, juga para calon senat tak membutuhkan "sosialisasi" ke lapangan atau merasa perlu membangun tim pemenangan, atau niat berbagai gagasan di kampus-kampus atau seminar-seminar politik.
Tidak perlu menyampaikan gagasan. Itu semua omong kosong. Selain karena para caleg itu mayoritas tak mampu merangkai gagasan, juga karena mereka sadar kalau si caleg dan rakyat sudah lama saling tak percaya.
Artinya, antara capres-cawapres plus caleg dan rakyat sama-sama melakukan transaksi bohong dengan sama-sama mengucapkan janji palsu. Berhadapan dengan situasi ini para caleg mengalami kemandegan.
Di satu sisi mereka ingin menang menjadi "pegawai" di Legislatif, tapi di sisi lain, mereka juga sadar kalau modal mereka untuk memenangkan kontestasi Pilkada hanyalah untuk berbisnis.
Benar bahwa sistem demokrasi kita bukanlah demokrasi seperti di negara maju. Sebab di setiap musim Pemilu transaksi antara orang yang mencalonkan diri degan rakyat telah menjadi 'kebiasaan' yang semakin cetar membahana.
Tapi ingat, bukan hanya caleg bermodal uang dan mampu membeli (suara) saja yang berpeluang memenangkan kontestasi pemilu 2024 mendatang. Tapi terutama caleg yang kreatif. Mereka adalah caleg yang mampu menkonversi segala daya dan dana yang mereka miliki menjadi "daya tarik tersendiri" bagi calon pemilih di dapilnya.
Rikanson Jutamardi Purba (8) melakukan hal itu di Dapil 1 Kabupaten Simalungun, dan Atmaja Pehulisa Sembiring (2) melakukannya di Dapil 2 Kabupaten Karo. Sukses untuk kalian ya.
Posting Komentar