Kaum semenjana atau kelas menengah sering dipandang sebagai simbol kemajuan dan kesuksesan dalam masyarakat.
Namun, ada bagian tertentu dari kelompok ini yang menjadi semakin arogan dalam perilaku dan sikap mereka.
Namanya medioker, ya selalu berada di antara kaum Miskin dan kaum Kaya benaran. Kaya bangat kagak, miskin banget juga enggak.
Karena serba tanggung, maka mereka inhin naik 1level lagi. Untuk itu mereka akan mencari perhatian lebih dari publik.
Segmen kaum semejana ini ditandai dengan sikap mereka yang sukq melebih-lebihkan status sosial mereka; sekaligus mengabaikan orang-orang yang tidak berada dalam lingkaran kemakmuran mereka.
Salah satu alasan utama arogansi kelas menengah adalah meningkatnya materialisme dan konsumerisme.
Pengejaran harta benda yang tiada henti telah menimbulkan rasa memiliki hak di antara kelompok ini. Bahkan di medsos mereka pamer kekayaan dan status sosial mereka. Tak hanya itu. Mereka juga suka mendapag perlakuan khusus dan hak istimewa.
Dalam analogi serial "Emily In Paris" (2022) yang dibintangi Lily Collins, kaum semenjana ini diwakili orang Amerika yang "hidup untuk bekerja" hingga mereka bahagia dengan pekerjaannya.
Sementara Kaum Elite diwakili warga Perancis yang "bekerja untuk hidup" hingga mereka tak perlu 8-12 jam sehari, melainkan 3-4 jam tapi dibayar mahal. Bagi orang Perancis, seni dan seks jauh lebih penting dari kerja, hingga mereka akan merasa gagal bila menunda hubungan seks karena lelah bekarja seharian.
Gaya hidup hedon menyebabkan kurangnya empati terhadap mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial atau status sosial yang sama.
Ditengah masyarakat kita, terutama di kalangan orang-orang muda, kita sering mendegar kata-kata seperti ini, "Sori kita beda kelas, bung!"
Selain itu, kaum semenjana ini menjadi semakin mementingkan diri sendiri, lebih memilih untuk fokus pada kepentingan mereka sendiri daripada berkontribusi untuk kebaikan masyarakat yang lebih besar.
Apapun yang menghambat kepentingannya akan ia babat habis. "Silahkan selingkuhin pacarnya, tapi kamu harus menyerahkan leher Anda untuk diinjak."
Ia akan belanja tak karuan, dan tak jarang ia mentraktir circle pergaukannya di resto mahal. Dengan bengahnya ia akan merendahkan siapanl saja yang mengomentari life-style nya.
"Emang gue pikirin. Gue mau beli apapun, terserah gue. Selama bokap gue masih kerja sebagai dirjen pajak duit gue kagak mungkin habis, mbambang!"
Hal ini juga telah menimbulkan rasa memiliki hak istimewa. Itu karena ia sangat yakin bahwa kekayaannya semata-mata karena hasil kerja keras dan prestasinya sendiri.
Hampir pasti akum semenjana ini tidak mudah mengakui peran masyarakat dan orang lain dalam kesuksesan mereka.
Pegawai Negeri Sipil semestinya tidak masuk di kategori ini. Sebab, karir di sturktur pemerintahan nyaris selalu abai pada prestasi sebagai tangga menuju kenaikan pangkat, alih-alih karena kreativitas dan kecerdasan pegawainya.
Arogansi kelas menengah memiliki konsekuensi yang signifikan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Pertama,kebengahan kaum semenjana ini akan menciptakan kesenjangan sosial antara mereka yang memiliki akses terhadap sumber daya dan mereka yang tidak.
Kalau anak pegawai eselon 3 menabrak orang, maka yang dipenjarakan justru orang yang ditabrak. Begitu juga kalau seorag jenderal membunuh anak buahnya yang berpangakt brigadir, maka justru si brigadir tadi yang dijebloskab ke penjara, bahkan ketika korbannya sudah mati.
Kelas menengah sering menganggap diri mereka lebih unggul daripada mereka yang berada di kelompok sosial-ekonomi yang lebih rendah, yang mengarah pada marjinalisasi dan ketidaksetaraan lebih lanjut.
Memilih dan memilah teman menjadi hobi mereka. Menyingkirkan teman yang tak bisa dibeli menjadi kebiasaan mereka.
Kedua, arogansi aum semenjana memiliki dampak negatif terhadap kohesi dan solidaritas sosial.
Kelompok ini sangat menghargai individualisme dan kesuksesan pribadi, yang dapat menyebabkan kurangnya kerja sama dan kolaborasi dalam mencapai tujuan bersama.
Di titik ini supir pribadi akan diperlakuan sebagai budak, asisten rumah tangga tak lebih dari sekedar pesuruh yang tak boleh bertanya, dan siapapun yang dekat dengannya, termasuk pasangan hidupnya tak pernah dianggap setara.
"Asal lu tau, sayang. Lu mana mungkin bisa kinclong dan cantik bak bidari seperti sekarang ini kalau bukan karena gue bayarin apa mau lu."
Pola pikir ini menghalangi individu untuk memahami dan berempati kepada mereka yang berbeda dengan mereka, yang menyebabkan rusaknya hubungan sosial dan kurangnya solidaritas.
Pendek kata, arogansi kelas menengah merupakan tantangan yang signifikan terhadap keharmonisan dan keadilan sosial.
Penilaian berlebihan terhadap status sosial mereka dan pengabaian terhadap orang-orang yang tidak berada dalam lingkaran kemakmuran mereka merupakan cerminan dari masalah sosial yang lebih besar, yaitu materialisme, konsumerisme dan individualisme yang kini menyelimuti masyarakat kita saat ini.
Empati, pemahaman dan pengakuan atas peran masyarakat secara keseluruhan dalam mencapai kesuksesan pribadi diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan bergerak menuju masyarakat yang lebih adil dan merata.
Sang Semenjana yang Bengah
Kelas menengah sering dipandang sebagai simbol kemajuan dan kesuksesan dalam masyarakat. Namun, ada bagian tertentu dari kelompok ini yang menjadi semakin arogan dalam perilaku dan sikap mereka.
Tentu saja, namanya medioker selalu berada dalam semenjana. Kaya banget kagak, tapi miskin juga kagak. Maka saya lebih suka menyebutnya dengan istilah "Kaum Semenjana"
Karena serba tanggung, maka arogansi dalam bertindak dan bersikap sering mereka jadikan sebagai cara untuk mencari perhatian lebih dari publik.
Segmen kelas menengah ini ditandai dengan sikap mereka yang terlalu melebih-lebihkan status sosial mereka dan mengabaikan orang-orang yang tidak berada dalam lingkaran kemakmuran mereka.
Salah satu alasan utama arogansi kelas menengah adalah meningkatnya materialisme dan konsumerisme.
Pengejaran harta benda yang tiada henti telah menimbulkan rasa memiliki hak di antara kelompok ini, dengan keyakinan bahwa kekayaan dan status mereka memberi mereka hak untuk mendapatkan perlakuan khusus dan hak istimewa.
Dalam analogi serial "Emily In Paris" (2022) yang dibintangi Lily Collins, kaum semenjana ini diwakili orang Amerika yang "hidup untuk bekerja" hingga mereka bahagia dengan pekerjaannya.
Sementara Kaum Elite diwakili warga Perancis yang "bekerja untuk hidup" hingga mereka tak perlu 8-12 jam sehari, melainkan 3-4 jam tapi dibayar mahal. Bagi mereka seni dan seks jauh lebih penting, hingga mereka akan merasa gagal bila menunda hubungan seks karena lelah bekarja seharian.
Hal ini menyebabkan kurangnya empati dan pemahaman terhadap mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial atau status sosial yang sama. Ditengah masyarakat kita, terutama di kalangan orang-orang muda, kita sering menndegar kata-kata seperti ini, "Sori kita beda kelas, bung!"
Kalimat ini biasanya ditujukan si semenjana kepada siapa saja yang tak dikenalnya. Bahwa belakangan dia tahu kalau temannya jauh lebih tajir, maka itu tak jadi soal.
Selain itu, kelas menengah menjadi semakin mementingkan diri sendiri, lebih memilih untuk fokus pada kepentingan mereka sendiri daripada berkontribusi untuk kebaikan masyarakat yang lebih besar.
Apapun yang menghambat kepentingannya ia akan babat habis. Lu selingkuhin pacarnya maka itu berarti Anda menyerahkan lehar Anda untuk diinjak.
"Emang gue pikirin. Gue mau beli apa aja terserah gue. Selama bokap gue masih kerja sebagai dirjen pajak duit gue kagak mungkin habis, bambang!"
Hal ini juga telah menimbulkan rasa memiliki hak, dengan keyakinan bahwa kesuksesan pribadi mereka semata-mata karena kerja keras dan prestasi mereka sendiri, daripada mengakui peran masyarakat dan orang lain dalam kesuksesan mereka. Pegawai Negeri Sipil semestinya tidak berada di level ini. Sebab, karir di sturktur pemerintahan nyaris tak memperhitungkan prestasi, alih-alih kreativitas dan kecerdasan pegawainya.
Arogansi kelas menengah memiliki konsekuensi yang signifikan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Pertama, hal ini menciptakan kesenjangan sosial antara mereka yang memiliki akses terhadap sumber daya dan mereka yang tidak. Kalau anak direktur utama BUMN menabrak orang, maka yang dipenjarakan adalah orang yang ditabrak. Begitu juga kalau Jenderal membunuh brigadir maka brigadirnya yang dihukum, bahkan ketika korbannya sudah mati.
Kelas menengah sering menganggap diri mereka lebih unggul daripada mereka yang berada di kelompok sosial-ekonomi yang lebih rendah, yang mengarah pada marjinalisasi dan ketidaksetaraan lebih lanjut. Memilih dan memilah teman menjadi hobi mereka. Menyingkirkan teman yang tak bisa dibeli menjadi kebiasaan mereka.
Kedua, arogansi kelas menengah memiliki dampak negatif terhadap kohesi dan solidaritas sosial. Kelompok ini sangat menghargai individualisme dan kesuksesan pribadi, yang dapat menyebabkan kurangnya kerja sama dan kolaborasi dalam mencapai tujuan bersama.
Supir pribadi akan diperlakuan sebagai budak, asisten rumah tangga tak lebih dari sekedar pesuruh yang tak boleh bertanya, dan siapapun yang dekat dengannya, termasuk pasangan hidupnya tak pernah dianggap setara. "Asal lu tau, sayang. Lu mana mungkin bisa kinclong dan cantik bak bidari seperti sekarang ini kalau bukan karena gue bayarin apa mau lu."
Pola pikir ini menghalangi individu untuk memahami dan berempati kepada mereka yang berbeda dengan mereka, yang menyebabkan rusaknya hubungan sosial dan kurangnya solidaritas.
Pendek kata, arogansi kelas menengah merupakan tantangan yang signifikan terhadap keharmonisan dan keadilan sosial.
Penilaian berlebihan terhadap status sosial mereka dan pengabaian terhadap orang-orang yang tidak berada dalam lingkaran kemakmuran mereka merupakan cerminan dari masalah sosial yang lebih besar, yaitu materialisme, konsumerisme, dan individualisme, yang melingkupi masyarakat modern.
Empati, pemahaman, dan pengakuan atas peran masyarakat secara keseluruhan dalam mencapai kesuksesan pribadi diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan bergerak menuju masyarakat yang lebih adil dan merata.
Posting Komentar