(1)
Joko Widodo awalnya hanyalah Wali Kota Solo. Ini pun mulai dikenal masyarakat Solo. Ia semakin dikenal secara nasional setelah diboyong oleh Partai Gerindra dan didukung PDI-P menjadi Cagub DKI pada Pilkada 2012.
Langkahnya menjadi gubernur sempat dijegal lawan-lawan politiknya karena Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pasangannya adalah seorang Tionghoa beragama Kristen. Penjegalan ini malah menaikkan namanya sebagai penegak kebhinekaan. Yang pasti, Jokowi-Ahok berhasil keluar sebagai pemenang atas rivalnya paslon Foke-Nara.
Dalam waktu relatif singkat, karir politik Jokowi melejit. Partai Nasdem yang awalnya mendeklarasikan Jokowi sebagai capres, kemudian didukung penuh PDI-P. Sekali lagi, Jokowi yang saat itu berpasangan dengan Jusuf Kalla tetapi hoki. Jokowi-JK mengalahkan Prabowo-Hatta. Begitu juga di Pilpres 2019, Jokowi-Ma'ruf masih terlalu tangguh bagi Prabowo-Sandi.
(2)
Pada periode pertama pemerintahannya, Jokowi yang begitu getol membangun infrastruktur semakin dicintai publik. Tanpa menafikan keberhasilannya, pada periode ini Jokowi justru melupakan janji agungnya tentang "revolusi mental". Kita akhirnya tahu bahwa program revolusi mental justru terpental dan kalah telak dari insfrastruktur yang monumental. Rakyat bahkan tak peduli apabila kualitas bangunan infrastruktur tidak semua tepat sasaran dan rapuh.
Rakyat Indonesia sangat pemaaf. Kelemahan Jokowi tertutupi oleh berita G-20, G8, dan berbagai kujungan kenegaraan Jokowi. Rakyat bangga ketika dunia semakin mengenal Indonesia sembari mengagumi keberanian Jokowi melawan World Trade Organization (WTO) dalam hal hilirisasi tambang.
Hingga negara-negara besar seperti AS, Cina, Rusia, Eropa dan Australia mulai "menganggap" Indonesia karena figur Jokowi yang merakyat. Tak lama kemudian Jokowi menjadi figur sentral di negara-negara G-20 dan G-8. Hingga, dalam sebuah pidatonya, Sekjen PBB Guitterez sempat menjagokan Jokowi sebagai sekjen PBB setelah pensiun dari Presiden RI.
Di periode kedua pemerintahannya, Jokowi masih bertahan dengan pembangunan infrastrukur, terutama kereta api cepat yang menelan biaya berlipat ganda, plus pemindahan Ibukota Negara IKN yang menelan quadraliun biaya. Setelah kereta api cepat selesai dibangun, kini obsesi Jokowi masih fokus pada pembangunan IKN demi mematri dirinya sebagai "Raja Diraja" terbesar di Nusantara.
Jokowi tak pernah menyadari bahwa puja-puji kepadanya, dari para penjilatnya dan pandangan publik bahwa ia sebagai sosok bersahaja adalah pintu gerbang kehancurannya, apalagi disaat ia didaulat sebagai presiden yang paling dikenal di dunia dan tingkat kepercayaan rakyat kepaanya mencapai 85 persen.
(3)
Jokowi pun jatuh. Ketika semakin melekat dengan tahtanya, Jokowi justru tak rela kehilangan kekuasaannya. Ia takut kehilangan pengaruh. Ia pun memaksa anak-anaknya yang penjual martabak jadi walikota dan langsung dicalonkan cawapres. Begitu juga anaknya yang penjual goreng pisang diangkatnya jadi ketua partai. Tak hanya anak-anaknya, tapi juga menantunya tak boleh abai memanfaatkan sang mertua.
Semakin dekat dengan ujung kekuasaannya, Jokowi pun mulai menampakkan wajah aslinya. Ia mulai mengaburkan makna "orang baik" dan "orang tidak baik" untuk negara ini. Tak hanya masa kini, masa lalunya pun mulai tampil telanjang, satu per satu.
Akhirnya kita jadi curiga mengapa setiap hasil survei selalu memihak Jokowi. Angka ini sangat masuk akal, karena survei selalu dilakukan setelah Jokowi membagi-bagi BLT atau sertifikat tanah.
Kini, Jokowi tak lagi berdiri kokok puncak tertinggi kekuasaannya. Itu pasti, Ia hanya bisa turun, walau kita tak berharap sampai nyungsep. Faktanya, pengaruh Jokowi makin hari makin surut, bahkan andai dilakukan survei saat ini, bisa jadi pendukungnya tak sampai 30%.
Saat Jokowi berpidato pada tanggal 16 Agustus 2023 lalu, ia memperlihatkan wajah aslinya. Jokowi tak lagi terlihat pemaaf ketika dimaki (Rocky Gerung) dan tak diam lagi saat disebut Pak Lurah, petugas partai, atau boneka ketum partai. Kini Jokowi justru mengungkapkan kekesalannya dihapadan 575 anggota DPR yang mendengarnya.
Maka setelah pesta dangdutan di istana, Jokowi pun mulai menunjukkan taringnya. Ia cawe-cawe demi memuluskan jalan anak-anaknya. Bahkan Jokowi tidak lagi fokus pada rakyat, mlainkan hanya fokus pada dua hal, yakni urusan capres-cawapres dan pembangunan fisik di IKN.
Untuk memuluskan jagoannya, Prabowo yang bersanding dengan anaknya Gibran Rakabuming Raka, Jokowi pun rela melepas filsafat hidupnya: "Lamun sira sekti, ojo mateni (meskipun kamu sakti, jangan sekali-kali menjatuhkan), Lamun siro banter, ojo ndhisiki (meskipun kamu cepat, jangan selalu mendahului), dan Lamun sira pinter ojo minteri (Meskipun kamu pintar, jangan sok pintar)."
Demi kepentingan diri dan keluarganya, kini Jokowi justru rela menjatuhkan lawan-lawan politiknya, suka mendahului peraturan yang ada, dan ia mulai tampil sok pintar. Sejalan dengan itu, Jokowi pun mengorbankan konsistensinya saat berucap, menabrak komitmennya pada orang-orang yang mencintainya, hingga rela angkat kaki dari partai yang mendukungnya.
(5)
Semua uraian di atas hendak menegaskan bahwa Jokowi bukanlah negarawan. Tak ada yang bisa dicontoh dari langkah Jokowi, terutama di penghujung kekuasaannya.
Presiden tak bisa dicontoh, para kepala daerah juga sama, apalagi menteri hingga anggota legislatif yang berjuang demi memperkaya diri. Mereka ini samasekali tak memberi contoh kepada kaum muda.
Semua aparat pemerintah, wakil rakyat, anggota senat, kepala daerah hingga presiden hampir pasti memanfaatkan pesta rakyat sebagai panggung untuk menguntungkan diri dan memegahkan diri sendiri.
Tak ada yang menyangkan kalau sekelas Presiden Jokowi akan menghadiahi Kaesang Panagarep sebagai ketua PSI, Gibran Rakabuming Raka dihadiahi jabatan cawapresnya Prabowo, dan Bobby Nasution akan disiapkan jalan tol bila ingin memperpanjang jabatatan walikota Medan atau ingin menjadi cagubsu.
Tak berhenti di sini, Jokowi pun rela mengatur ketiga capres dengan mangajak mereka makan malam, dan membuka pintu lebar-lebar bagi relawan pendukung anak-anak dan menantunya. Bahkan para relawan itu boleh menggunakan ruang istana dan segala isinya. Sebab, Jokowi tahu, ia tak lama lagi menjadi penguasa utama di sana.* [LS]
Posting Komentar