Dua dekade kemudian, anak-anak tadi tetap merasa diri orang asing, dan orang-orang yang mereka sebut sebagai "penduduk lokal" pun memandang dirinya sebagai orang asing. Dengan kerja keras, kendati hanya lulus SMP atau lulus SMA, mereka tumbuh menjadi orang yang secara ekonomi lebih baik dari orang-orang "lokal". Ini semakin menambah mental superior dalam diri mereka, khususnya secara ekonomi.
Sayangnya, dalam pergaulan sosial tadi mereka masih tetap merasa inferior. Jangankan bergabung dengan partai poliktik, menjadi PNS aja masih jauh dari bayangan mereka. Namun sejak era Reformasi, khususnya sejak era Jokowi (2014-saat ini), orang Tionghoa Medan sudah semakin banyak yang terjun ke dunia politik.
Pada periode yang sama, para orang tua dari suku Batak, Nias, Jawa, Melayu, dst mendidik anak-anak mereka sebagai anak-anak yang harus keluar dari kemiskinan dan berharap suatu saat akan kaya seperti orang-orang Tionghoa yang ada di Sumatera Utara. Menurut para orangtua saat itu, satu-satunya jalan untuk mengeluarkan generasi dari kemiskinan hanyalah pendidikan.
Hasilnya?
Dua dekade kemudian mereka tak mampu menyaingi para pedagang Tionghoa secara ekonomi. Namun di saat bersamaan orang lokal tadi berlomba menjadi pejabat publik, PNS, pengusaha, pengacara, dll.
Sayanganya, mereka tampak inferior secara ekonomi, dan menganggap kaum Tionghoa di generasinya tak terkalahkan. Mereka justru berpikir seperti orang Tionghoa, yang menganggap superioritas intelektual tak ada gunanya bila tidak bisa menjadi kaya.
Bukan apa-apa, mereka melihat anak-anak Tionghoa seusia mereka yang hanya lulus SMA saja sudah punya toko. Tak jarang orang Batak tadi justru dibayar sebagai pengacara, konsultan pajak usaha mereka, dst.
Tahun 90-an hingga 2000-an awak produk pendidikan tadi bertemu. Si Tionghoa menjadi pebisnis, dan si Batak/Jawa/Melayu/Nias jadi pejabat daerah. Dan terjadilah kongkalikong atau cincay diantara mereka. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, si orang loka; menekan si Tionghoa; dan dengan kekayaan yang dimilikinya si Tionghoa merasa bisa mengatur si orang lokal dengan uang.
Hasilnya?
Di Kota Medan khususnya, dan Sumatera Utara umumnya korupsi pun bertumbuh subur. Bagaimana tidak, si Tionghoa merasa aman setelah membayar pejabat dan aparat; dan si aparat/pejabat mendadak kaya karena mendapat setoran yang lebih besar dibanding gajinya dari si Tionghoa.
Inilah hasilnya: uang jauh lebih hebat dari ilmu pengetahuan. Pengusaha Tionghoa, dengan uangnya mulai menyulap ruko-ruko mereka menjadi universitas, sekolah tinggi, akademi, bahkan dengan gagah membuka program S2 dan S3.
"Kaum intelektual dari suku Batak, Melayu, Jawa, Nias tadi pun menghamba kepada si pengusah Tionghoa yang hanya lulusan SMA itu. Bagaimana tidak, kampus dimiliki pengusaha Tionghoa, dan para "profesor" Batak, Melayu, Nias, atau Jawa tadi dijadikan karyawan untuk mampu melipatgandakan keuntungan, bukan yang melipatgandakan pengetahuan mahasiswinya."
Maka jangan heran, ketika mahasiswa yang tak mengerti apa arti kata "intelektual" sekalipun bisa lulus dengan summa cum laude dengan IPK 4,00. Itu karena setiap semester IPS-nya sungguh sempurna, 4.00 juga. Mereka yang kuliah di PTS bermodalkan ruko tadi. Mereka bukanlah mahasiswa yang bodoh. Mereka bersedia kuliah di sana demi mendapat gelar; dan jam perkuliahan sengaja mereka pilih malam hari, tepatnya setelah mereka pulang kerja.
Demikian pendidikan anak dalam keluarga turut memengaruhi masa depan si anak di masa mendatang. Tentu saja apa yang saya utarakan di atas tak hanya berlaku di Sumut, tetapi juga di Indonesia pada umumnya.
Bila orangtua memperlakukan anaknya sebagai anak yang inferior maka ia akan menjadi pribadi yang selalu minder dan rendah diri; sebaliknya bila orangtua memperlakukan anaknya sebagai anak yang superior, maka kelak ia akan menjadi orang yang tak pernah merasa kalah.
Namun diluar berbagai cara mendidik anak, satu hal yang pasti harus diperhatikan oleh para orangtua adalah mendidik anak-anaknya dengan cinta dan kebebasan. Di titik inilah para orangtua semestinya menghindari gaya pendidikan di mana "orangtua menjadikan anak sebagai kompensasi dari kemarahan atau ketidakmampuannya menerima keadaan sendiri sendiri.
Misalnya gaya orangtua Tionghoa, "Haia, lu itu beda. Lu olang dari Tionghoa ha. Makanya lu harus lebih heba' ah dari tu olang plibumi. Lu kagak usah sekolah tinggi-tinggi hah. Yang penting lu bisa hitung dan gandakan itu duit papamu punya."
Atau gaya orangtua Batak yang bekerja sebagai petani, "Kau harus tahu diri lah. Bapak kau cuma petani. Duit tak sebanyak orang Tionghoa sana. Makanya kau sekolah yang benar, biar bisa kaya seperti orang Tionghoa di Medan sana."
Sepintas ada nilai-nilai motivasi dalam gaya pendidikan ini. Tetapi, jauh di bahwa sadar anak-anak akan tertanam satu nilai bahwa "Tionghoa Kaya dan Pribumi Miskin"; "Tionghoa pengusaha dan Pribumi Petani"; "Tionghoa hebat dan Pribumi memble", dst
Tak hanya itu, seturut perkembangan anak-anak tadi, si Tionghoa tak akan mampu menerima kegagalan sebagai pedagang, dan si Batak tak akan bisa memaklumi dirinya bila ia tak berprestasi di bidang pendidikan. Atau, si pribumi akan memaklumi dirinya bila hidup dalam kemiskinan dan si Tionghoa akan merasa menjadi orang kaya itu wajib - bahkan dengan cara apa pun.
Di titik ini saya bisa memahami betapa sengitnya perebutan harta warisan dalam keluarga Tionghoa di Medan, hingga tak jarang antara saudara kandung terjadi permusuhan sepanjang hidup mereka hanya karena persoalan ketidakadilan berbagai warisan.
Juga saya bisa memahami mengapa orang Batak merasa malu pulang kampung alias mudik ke rumah orangtuanya bila tak membawa atau memberi apa-apa kepada orangtuanya. Tentu, karena sejak kecil mereka sudah dipesan harus lebih kaya dan lebih sukses dari orangtuanya. Jadi, untuk apa pulang kalau belum sukses?
Demikian pendidikan anak dalam keluarga turut memengaruhi masa depan si anak di masa mendatang. Tentu saja apa yang saya utarakan di atas tak hanya berlaku di Sumut, tetapi juga di Indonesia pada umumnya.
Bila orangtua memperlakukan anaknya sebagai anak yang inferior maka ia akan menjadi pribadi yang selalu minder dan rendah diri; sebaliknya bila orangtua memperlakukan anaknya sebagai anak yang superior, maka kelak ia akan menjadi orang yang tak pernah merasa kalah.
Namun diluar berbagai cara mendidik anak, satu hal yang pasti harus diperhatikan oleh para orangtua adalah mendidik anak-anaknya dengan cinta dan kebebasan. Di titik inilah para orangtua semestinya menghindari gaya pendidikan di mana "orangtua menjadikan anak sebagai kompensasi dari kemarahan atau ketidakmampuannya menerima keadaan sendiri sendiri.
Misalnya gaya orangtua Tionghoa, "Haia, lu itu beda. Lu olang dari Tionghoa ha. Makanya lu harus lebih heba' ah dari tu olang plibumi. Lu kagak usah sekolah tinggi-tinggi hah. Yang penting lu bisa hitung dan gandakan itu duit papamu punya."
Atau gaya orangtua Batak yang bekerja sebagai petani, "Kau harus tahu diri lah. Bapak kau cuma petani. Duit tak sebanyak orang Tionghoa sana. Makanya kau sekolah yang benar, biar bisa kaya seperti orang Tionghoa di Medan sana."
Sepintas ada nilai-nilai motivasi dalam gaya pendidikan ini. Tetapi, jauh di bahwa sadar anak-anak akan tertanam satu nilai bahwa "Tionghoa Kaya dan Pribumi Miskin"; "Tionghoa pengusaha dan Pribumi Petani"; "Tionghoa hebat dan Pribumi memble", dst
Tak hanya itu, seturut perkembangan anak-anak tadi, si Tionghoa tak akan mampu menerima kegagalan sebagai pedagang, dan si Batak tak akan bisa memaklumi dirinya bila ia tak berprestasi di bidang pendidikan. Atau, si pribumi akan memaklumi dirinya bila hidup dalam kemiskinan dan si Tionghoa akan merasa menjadi orang kaya itu wajib - bahkan dengan cara apa pun.
Di titik ini saya bisa memahami betapa sengitnya perebutan harta warisan dalam keluarga Tionghoa di Medan, hingga tak jarang antara saudara kandung terjadi permusuhan sepanjang hidup mereka hanya karena persoalan ketidakadilan berbagai warisan.
Juga saya bisa memahami mengapa orang Batak merasa malu pulang kampung alias mudik ke rumah orangtuanya bila tak membawa atau memberi apa-apa kepada orangtuanya. Tentu, karena sejak kecil mereka sudah dipesan harus lebih kaya dan lebih sukses dari orangtuanya. Jadi, untuk apa pulang kalau belum sukses?
Posting Komentar