Terkait konflik internal marga, mulai dari "Siapa leluhur marga X, dari anak-anak ompung mereka (Belanda dan para ahli sejarah Batak pilihan Kolonila itu membagi jumlah marga secara ganjil: 1, 3,5,7,9) siapa anak sulung?"
Pada umumnya, acuan seorang Batak (Toba) tentang eksistensi marganya adalah sbb:
Pertama, setiap marga berkelindan dengan cerita yang mereka terima dari natua-tua (father) dan oppung-nya (grandfather).
Kedua, lewat nonang-nonang atau cerita liar (dan lebih sering fiktif dan "dikarang-karang") versi orang-orang saat markombur (ngobrol santai) di lapo atau di rumah.
Ketiga, tahu melalui hasandaran atau semacan mimpi di mana leluhurnya menyatakan diri kepada pinomparna (keturunannya) lewat mimpi.
Keempat, terdengar lewat ucapan raja perhata di pesta-pesta adat. Kendati hal ini tak jarang menimbulkan konflik.
Terakhir, kendati ini sangat jarang dilakukan, lewat buku-buku tentang marga yang ditulis di era kolonialisme.
Dari beberapa acuan di atas, ketika muncul berbagai versi sejarah, maka orang Batak sudah terbiasa berdebat dan berdiskusi secara alot.
Pertanyaan dalam setiap obrolan dan diskusi itu selalu mengerucut pada pertanyaan ini: "Dia do nasintong jala dia do sitiopon?" (mana yang benar dan dapat dijadikan sebagai pegangan/tolok ukur?)
Risik-risik atau sungkun-sungkun (pertanyaan) inilah yang kemudian menggiring para tokoh adat khususnya, dan warga Batak (Toba) umumnya pada DEMOKRASI.
Konflik tentang konflik marga di atas lahir kesepakatan, yang diungkapkan lewat umpama (peribahasa):
"Hata namunjung
hata dohonon
Hata torop do
sabungan ni hata".
Posting Komentar