iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Demokrasi Anti Gema Nurani

Demokrasi Anti Gema Nurani
Setiap menjelang pemilu kaum awam politik sering bertanya, “Mengapa seseorang begitu ingin berkuasa?” Ya, begitulah kekuasaan membuncah pesona magis dan menebar magnet ajaibnya, hingga banyak orang berlomba memeluknya.

Tak hanya di Indonesia, di seluruh negara di dunia, kekuasaan (politik) selalu menarik minat banyak orang. Hasrat untuk berkuasa—yang oleh Friedrich Nietzsche disebut der Wille zur Macht merupakan kekuatan pendorong utama manusia. Lantas, apa alasan seseorang begitu haus akan kekuasaan dan bagaimana perilaku mereka setelah berkuasa?

Dalam buku "Demokrasi Anti Nurani", Lusius Sinurat membentangkan alasan mendasar seseorang ingin berkuasa dan langkah apa saja yang ia ambil untuk memenuhi hasratnya itu. Andai saja politik dijalankan seturut peradaban dan keadaban lokal, maka kekuasaan akan sangat berguna bagi kepentingan publik. Sebaliknya, apabila seorang politisi meraih kekuasaan dengan Sistem Kebut Semalam (SKS), bahkan dengan cara yang curang, maka siapapun yang berkuasa sebagai presiden tak akan sempat memikirkan kepentingan rakyat. 

Misalnya seorang capres yang merasa cukup hanya menata kata sembari menebar fitnah dan ujaran kebencian kepada lawan politiknya, atau capres yang rela menjadi corong ketua partai demi hasrat menjadi presideh, atau caleg yang hanya bermodalkan uang untuk membayar calon pemilihnya sebagai anggota legislatif.

Agar dianggap sebagai Bapa Bangsa dan Tokoh Reformasi, seseorang cukup mengklasifikasikan partai-partai yang ada kedalam golongan partai Tuhan dan partai Setan sebagaimana dilakukan Amien Rais. Demi kekuasaan, seseorang tak peduli dengan cara. Baginya hasil akhir adalah hal terpenting. Ibarat seorang calon gubernur yang menang lewat cara SKS berjanji menghadiahi rakyatnya rumah DP 0%, namun setelah masa jabatan hasil ia hanya menyisakan 0% harapan warganya. 

Agar praktik SKS ini tak menjadi kebiasaan, kita harus banyak belajar dari para penulis. Sebelum menulis buku, mereka sudah terbiasa merancang outline terlebih dahulu. Outline tersebut akan menjadi langkah untuk tahapan sistematik dalam merangkai isi buku.
“Berapa banyak darah lagi yang harus ditumpahkan sampai akhirnya solusi politik dapat dicapai, dan seberapa berat lagi penderitaan harus disandang sampai solusi politik terhadap krisis itu ditemukan?” seru Paus Fransiskus dengan suara penuh perasaan kepada sekitar 250.000 orang yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus Vatikan dan sisiarkan lewat berbagai media oleh Paus Fransiskus (31/3 dalam Kompas, 2/4, hlm. 8).
Konteks seruan ini memang perang di Suriah yang telah menelan 70.000 jiwa. Namun seruan tulus ini juga berlaku bagi kita, di Indonesia. Banyak korban tak berdosa karena solusi politik yang diambil tidak tepat.

Pejabat, termasuk DPR, Presiden dan semua antek-anteknya sibuk berlomba menjual diri hingga merasa dirinya paling laku, bahkan ketika slogan "nobody is indispensable" (tak seorang pun yang tak tergantikan) samasekali tak berbunyi. Para jenderal juga sibuk menyembunyikan harta kekayaannya dari endusan KPK, para anggota DPR sibuk dengan RUU Santet, kumpul kebo - bahkan sampai harus berguru ke negara nun jauh di Utara sana. 

Presiden bersibuk ria menjual wajah memelasnya demi berebut kuasa di partainya, 4 narapidana tewas di penjara Cebongan Yogyakarta, rakyat menjadi beringas membantai kapolsek di Sumatera Utara, bahkan di Palopo-Sulsel massa membakar kantor pemkot dan fasilitas lainnya.

Inilah solusi politik yang berulang-ulang disampaikan “juruselamat” Partai Demokrat itu: “Tuntaskan (penyelidikan), pertanggungjawabkan kepada rakyat, transparan dan akuntabel, dengan profesionalisme penegak hukum.” 

SBY lupa kalau instruksi itu sangat basi dan bias. Disampaikan di ruang tertutup, di sidang kabinet, di antara orang-orang se-tipe dengannya. Entah siapa yang menuntaskan dan apa yang dipertanggung jawabkan kepada rakyat. Oleh POLRI atau TNI ? Bukankah mereka sedang berebut "lahan"? Para hakim? Bukankah para hakim dan para petinggi Pengadilan Tinggi sedang hobi "visitasi" ke gedung KPK ? Atau, para menteri ? Menteri yang mana? Apakah menteri yang sama-sama sibuk menjadi petinggi partainya sang pemberi instruksi? 

Di titik inilah seruan Paus Fransiskus mutlak diperhatikan, tak saja oleh Suriah atau negara-negar pencinta konflik dan perang, tetapi juga di Indonesia yang masyarakatnya telah menjadi Pasukan Rimba, sebagaimana juga dulu dan juga sekarang dicontohkan oleh para penegak keamanan kita di Papua, Aceh, Timor-Timor dan daerah-daerah konflik lainnya.

Mari kita sama-sama bertanya dan bertanya, entah kepada siapa yang masih punya hati di negeri ini. “Berapa banyak darah lagi yang harus ditumpahkan sampai akhirnya solusi politik dapat dicapai? Seberapa berat lagi penderitaan harus disandang sampai solusi politik terhadap krisis itu ditemukan?” 

Pertanyaan berikutnya, apakah dengan system pemilihan langsung Indonesia berjalan tanpa korupsi ? Praktik korupsi dan pungutan di lingkungan pemerintah itu sangat menyengsarakan pejabat, pegawai, dan masyarakat. Begitu menyengsarakan sehingga tak jarang masyarakat merasa putus asa, pesimis dan apatis terhadapa para pemimpinnya. Lantas sejauh mana praktik kejahatan ini bisa diakhiri? 

Mengapa praktik korupsi dan pungutan liar oleh penguasa ini harus dihentikan? Setidaknya ada 4 alasan mengapa pemerintah harus mengakhiri praktik korupsi dan pungutan “liar” oleh penguasa dan pemerintah tersebut, yakni: 
  1. Pertama, anak-anak dari rakyat miskin tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan anak-anak dari kalangan kaya karena mampu membayar pungutan sejumlah tertentu. Padahal bisa saja anak rakyat miskin ini jauh lebih pintar daripada anak rakyat yang mampu membayar pungutan tersebut. Ini menyangkut hak asasi manusia (HAM) di mana orang miskin tidak mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lain yang lebih mampu. Lebih jauh lagi fakta ini akan mengakibatkan anak miskin menjadi malas belajar karena ia sadar tak mampui membayar pungutan dalam jumlah tertentu yang diterapkan oleh penguasa.
  2. Kedua, ASN dari keluarga miskin tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan dengan pegawai lain yang mampu membayar pungutan dalam jumlah tertentu. Padahal, bisa saja terjadi bahwa pegawai yang miskin tadi ternyata lebih jujur, lebih berprestasi dan mempunyai kualifikasi dan kemampuan kerja yang lebih baik dibandingkan pegawai lain yang meraih jabatan itu lewat jalur membayar upeti kepada penguasa yang berwewenang. 
  3. Ketiga, pemilihan pejabat pada posisi tertentu hanya berdasarkan kemampuannya menyetor uang sejumlah tertentu kepada penguasa secara psikologis akan menekan bawahannya agar menyetor uang sejumlah tertentu kepadanya demi mengembalikan jumlah setoran yang diminta atau dituntut darinya oleh atasannya. Bawahan yang dipaksa dan terpaksa menyetor jumlah tertentu kepada atasannya secara otomatsi juga akan terpaksa melakukan hal yang sama kepada masyarakat yang membutuhkan pelayananannya. Mana ada jenis orang seperti ini yang mau rugi atau kehilangan pekerjaannya!
  4. Terakhir, pejabat tertentu yang terpaksa atau dipaksa untuk menyetor uang sejumlah tertentu kepada penguasa atau atasannya, secara otomatis juga akan melakukan tindakan yang sama kepada kontraktor dan konsultan yang melakukan pekerjaan di instansinya. Akibatnya, kontraktor yang mengerjakan sesuatu di lingkungan instansi itu terpaksa mengurangi mutu atau jumlah volume pekerjaan yang dilakukannya. Hal ini tentu saja akan merugikan masyarakat, sebab pekerjaan yang dikerjakan oleh si kontraktor (misalnya jalan raya atau bangunan fisik lainnya) akan cepat rusak alias tidak berkualitas. Ketika pegawai dan pejabat suatu instansi ditetapkan berdasarkan kemampuan memberikan setoran, dan sebaliknya, bukan berdasarkan kualifikasi dan keahliannya, maka tugas dari instansi tersebut tidak akan berjalan dengan baik dalam melayani masyarakat. Lagi dan lagi, masyarakatlah yang akan menjadi korban. Jam kerja pejabat dan pegawai yang menjadi korban dari praktik semacam ini akan habis untuk memikirkan pengembalian uang yang telah ia setor.
Selanjutnya ia tak sempat lagi berpikir untuk bekerja secara profesional dalam melayani masyarakat. Mereka bahkan akan segera melupakan satu hal penting dalam hidupnya, yakni bahwa mereka digaji dari pajak dan retribusi yang dibayarkan oleh rakyat. 

Mereka bahkan lupa bahwa korupsi dan pungutan liar adalah tindakan jahat dan kedua tindakan tersebut dilarang oleh agama mana pun. Mereka juga lupa bahwa korupsi dan pungutan liar adlaah tindakan yang melanggar hukum, merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. 

Pertanyaannya adalah dimanakah hati nurani kita? Apakah kita tidak takut kepada Tuhan? Apakah kita tidak kasihan kepada masyarakat miskin di sekitar kita? Apakah kita tidak takut pada "sumpah serapah" dari masyarakat kepada kita?

Pemikiran inilah yang menjadi tolok ukur bagi para kontestan pemilu 2024 di kabupaten Simalungun dengan motto Simalungun Baru: Simalungun Tanpa Korupsi dengan mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara lebih adil dan merata dengan menghadirkan pemerintahan yang bersih dan transparan berasaskan Habonaron do Bona (kebenaran adalah pohon kehidupan).


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.