iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Dana, Tahta, dan Isi Celana

ALT Text
Catatan Waktu

Akhirnya PSI meniru partai-partai lain seperti Golkar, PDIP dan Demokrat ketika menetapjan syarat utama menjadi ketua partai adalah "dia anak siapa".

Begitulah Soeharto mengambilalih Golkat dan membranding Tutut, Mega mempersiapkan PDIP untuk Puan, dan SBY menetapkan AHY sebagai nahkoda Partai Demokrat, Surya Paloh mewariskan partai Nasdem ke Ananda Paloh, dst.

Di negara ini, di akhir kekuasaan seorang presiden sangatlah wajar terjadi sindrom "kehilangan jabatan", sehingga si presiden, secara sadar ingin mewariskan tahtanya kepada orang lain.
Hari-hari ini, "rasa takut tak berkuasa lagi" dari Presiden Joko Widodo itu sungguh tampil telanjang.

Jokowi tak hanya cawe-cawe, tapi juga semakin berani melawan keputusan ratu mahakuasa di partainya. Walaupin tidak secara frontal.

Hanya di masa Jokowi, 2 putra dan 1 putri menikah disaat masih berkuasa, bahkan anak dan menantunya masih "diberi jatah di pemerintah daerah dan partai.

Gibran si penjual martabak jadi walikota Solo, Bobby sang pebisnis kopi jadi walikota Medan, dan si Kaesang sang pisang secara tiba-tiba dikarbit jadi ketum PSI.

Sekali lagi, hal-hal semacam ini wajar saja di Indonesia. Itu bukan nepotisme. Itu buah dari kerja keras. Ya, paling tidak itu yang jadi alasan Megawati dan SBY saat berkuasa mutlak di partainya, Surya Paloh yang rajin mempersiapkan anaknya sebagai pengurus Perindo.

Tak hanya itu, Haro Tanoe Soedibyio, pendiri partai Perindo mengamini pendapat di atas: ia lebih rela kehilangan keluarga dibanding keberhasilan hasil panennya. Para pendiri/ketum Partai sepertinya sengaja membangun partai untuk trah atau keluarganya.

Tak peduli latarbelakang pendidikan atau pekerjaan buah sperma dan sel telur mereka. Pokoknya berumur 18+ langsung caleg. Bahkan mereka langsung dijadikan caleg prioritas dan menggeser posisi krtua DPD/DPW, DPC, dst.

Untuk bisa memahami dan menerima konsep ini, kita harus meniru sikap pragmatis masyarakat Medan berikut ini..."Wajarlah Mega pilih Puan, SBY pilih AHY, Surya Paloh pilih Ananda Paloh, dst. Seandainya awak jadi ketum partai, kukira aku pun akan melakukan hal yang sama. Mana ada pula orang yang tidak suka kekuasaan dan uang?

Kita ini masih di dunia. Ya, namanya masih di dunia awak masih menomorsatukan harta, tahta dan isi celana. Tak usah munafiklah."


lusius-sinurat

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.