iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Ketidakmampuan Para Politisi

Ketidakmampuan Para Politisi

Tak mungkin Negara-negara eks-kolonial menutupi fanatismenya dengan fokus membahas perubahan iklim yang telah terjadi hingga merasa wajib berinvestasi untuk melawannya. 

Apa yang terjadi di Perancis bukanlah kebetulan. Perancis tidak sadar bahwa mereka adalah eks negara penjajah yang mengusir rakyat negara-negara lain dari tanah airnya. Namun di saat bersamaan mereka melimpahkan kegagalan negara mereka kepada para imigran. Para politisi fanatik itu lantas mengajak rakyatnya membenci imigran (yang setelah sekian lama keturunan mereka menjadi dokter, perawat, pengemudi truk, dst.) yang kini mereka butuhkan. 

Permasalahanini tentu membutuhkan solusi yang nyata, bukan pemikiran yang tidak masuk akal hingga memicu ketakutan dan kemarahan masyarakat. Ini berarti bahwa para politisi (baca: pemerintah) tidak mampu mengelola masyarakat. Mereka justru menutupi ketidakmampuannya dengan menyalahkan imigran. 

Di Finlandia juga membuncah kebencian kepada imigran Afrika. Sebelumnya terjadi juga kebencian terhadap orang Arab di Perancis dan Amerika Serikat. Jauh sebelumnya juga terjadi gelombang kebencian terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang memuncak pada peristiwa Mei 1998.

Negara-negara lain juga kurang lebih melakukan hal yang sama, terutama ketika mereka dipimpin oleh orang fanatik. Biasanya alasan ekonomi adalah alasan mendasar dari kekacauan ini. Bagaimana pun juga ketika pemimpin sebuah negara tidak memiliki rencana untuk ekonominya, maka negara itu hanya akan bergerak ke arah nihilisme dan kekacauan.

Seharusnya kita sudah mempelajari tentang kebodohan ini. Apalagi kebodohan ini tak hanya terjadi di Eropa, tapi juga negara lain di dunia, termasuk Indonesia. Kita, misalnya dapat melihat kebodohan ini terjadi dalam skala yang lebih suram, menggelikan, dan mengejutkan di Inggris yang malang. 

Atas nama fanatisme politis, pemerintah Inggri merayu bangsa lain keluar dari Uni Eropa. Istilah kerennya adalah Brexit. Kini Inggris tahu pilihan itu merupakan kesalahan besar yang bersejarah karena telah membawa Inggris ke ambang kehancuran. Layanan kesehatan tidak berfungsi, inflasi tidak terkendali, bahkan di era inflasi, ekonominya hancur dan runtuh. 

Lagi-lagi, kita mempelajari pelajaran yang sama: segala sesuatu yang disentuh oleh sayap kanan akan mati. Sayap kanan ialah para pemimpin yang dibangun berdasarkan fanatisme (SARA). Inilah yang terjadi di Inggris. Kaum fanatik dan gila justru menyalahkan semua orang atas kesalahan mereka sendiri. Setelah berkuasa, pemerintah sayap kanan itu baru memaksa rakyatnya melakukan penghematan. Standar hidup pun jatuh. Tapi kemudian Inggris justru berbalik menyalahkan orang Eropa.

Orang-orang Eropa yang bingung kemudian dipaksa keluar, dalam kemarahan dan xenofobia. Brexit pun terjadi. Dan di kemudian hari jumlah orang-orang fanatik pun bertambah dua kali lipat. Alih-alih mengakui kesalahan, mereka justru menyalahkan kesengsaraan Inggris pada semua orang, mulai dari pengungsi, anak muda, imigran, hingga dokter dan perawat. 

Ini adalah tindakan bunuh diri dari sebuah masyarakat melalui ketidakmampuan para politisi dalam mengelola pemerintahannya. Masyarakata lalu bertopeng dendam dan kebencian. Mereka lantas berteriak dengan lantang, perasaan bangga, dan disampaikan dengan penuh semangat, “Partai ini tidak kompeten, orang-orang ini tidak mampu, kelompok ini tidak kompeten, Ini gara-gara imigran, dst.!”

Mereka tidak tahu bagaimana cara menjalankan sistem sosial dasar yang berfungsi dengan baik, seperti layanan air bersih dan layanan kesehatan. Mereka bahkan tidak peduli. Bahkan ketikdakpedulian itu menjadi perspektif obyektivitas mereka. 

Perspektif objektivitas adalah bahwa mereka sangat tidak kompeten dalam pekerjaan dan tugas paling dasar yang harus mereka lakukan, seperti tata kelola pemerintahan, berfungsinya sistem, menurunkan standar hidup publik. Bagi para politisi yang tidak mampu itu, semua akan indah, hebat dan sempurna. Namun, bagi sudut pandang objektif yang samar-samar, ini justru merupakan ketidakmampuan yang menakjubkan. The Trumph of the Age of the Idiot adalah tentang semua itu. 

Dalam beberapa tingkatan, cara tokoh-tokoh politik yang sangat tidak kompeten justru menguasai tampuk kekuasaan di negaranya. Di Indonesia pun hal ini terjadi. Para politisi selalu berangkat dari uang, dan bukan dari kemampuan berpikir atau kompetensinya. Hanya para pengusaha, apalagi pengusaha hitam seperti preman dan debt-collector yang lebih berpotensi menjadi pejabat dibanding orang yang punya kualifikasi dan kompetensi tapi tidak punya banyak uang. 

Di negara-negara maju pun sering dipilih menteri ekonomi yang menawarkan solusi atas perubahan iklim tapi dengan cara membunuh orang-orang Afrika. Padahal sesungguhnya kebencian dan sakit hati itu justru untuk menegaskan bahwa mereka tidak memiliki gagasan nyata tentang apa yang harus dilakukan dengan ekonomi modern.

Pemerintah yang menyalahkan kesalahan mereka sendiri pada sekutu terdekat dan sahabat mereka, terus merayu penduduknya menjadi “maniak” pun akan hiruk-pikuk dalam kebencian. Padahal kebencian itu adalah cara mereka menutupi ketidakmampuannya. 

Demikianlah orang bodoh yang tak memahami hal yang telah disampaikan berulang-ulang, dan kita tidak tahu sampai kapan mereka akan mengerti. Mereka lalai, tidak bertanggung jawab, dan lebih buruk lagi, kebodohan itu malah dilegitimasi sebagai sesuatu yang mulia dan membanggakan. Misalnya, ketika mayoritas orang Indonesia yang pro-pemerintah justru bersorak-sorai karena pemerintah telah membebani mereka dengan hutang melimpah demi pembangunan infrastruktur yang sebagian besar tidak efektif dan tidak tepat sasaran.

Pada akhirnya, terbentuknya sebuah “sisi” politik dan wacana yang merayakan kehancuran sebagai semacam pembersihan, atau Hari Penghakiman untuk memilah antara orang yang berada dan orang yang tidak berada, antara orang yang superior dan inferior, kaum muda yang tak punya akses peerjaan dan para koruptor yang bersukacita. 

Saat ini, di Indonesia, partai-partai mulai membersihkan diri dari kasus korupsi yang dilakukan oleh para kadernya dengan cara membongkar korupsi yang dilakukan oleh partai lain. Partai-partai lalu sibuk mencalonkan orang-orang sebagai calon presiden, gubernur, bupati, walikota, DPR atau DPD dan mentahtakan mereka sebagai anak terbaik bangsa. Anehnya, tak sedikit yang percaya kepada pemimpin jenis ini. Mengapa? Karena rakyat Indonesia lebih suka 1 lembar uang Rp 100.000 daripada harus memilih dengan menggunakan nuraninya. 

Inilah yang kita sebut sebagai “pembusukan institusional”. Pembusukan itu bermula dari ketidakmampuan partai-partai menyeleksi kadernya menjadi pejabaat publik. Sebab akhirnya rakyat tahu bahwa ketidakmampuan mereka pasti akan terlihat jelas saat mereka berkuasa. Biasanya para politisi itu akan mengukuhkan dirinya sebagai penerima mahkota "NKRI Harga Mati!" dan menyebut dirinya sebagai politisi yang kompeten, punya visi, bahkan jenius. 

Sekali lagi, rumah pembusukan itu adalah Partai-partai yang sudah terlanjur merasa memiliki negeri ini dan menjadi outsourcher untuk pejabat di pemerintahan. Dan yang terjadi justru kebalikannya. 

Misalnya presiden Jokowi selalu mengatakan “Duit kita banyak dan  kekayaan alam kita melimpah!" sebagai alasan menambagh hutang negara demi membangun infrastruktur yang sebagian besar tak berfungsi maksimal. 

Begitu juga dengan menteri pilihan partai yang "membangun" perluasan jaringan internet di berbagai pelosok anah air, namun ia justru menelan anggarannya untuk membiaya Partainya. Atau, menteri yang seharusnya menyediakan vaksin di masa Covid-19 tapi ia justru tega “meminum darah para korban” dengan mengkorup anggaran yang tersedia. Ada juga menteri yang tidak tahu cara membelanjakan mega-anggaran kementerian pertahanan, sehingga ia lebih tertarik membeli pesawat bekas yang sudah jadi rongsokan di negara asalnya.

Kenyataannya kita mengaskan bahwa kita (sebagai bangsa) tak pernah belajar dari masa lalu, bahkan dari kegagalan yagn sama. Partai dengan para politisi yang dilahirkannya justru membawa negara ini ke tepi jurang maut. 

Kita tidak menyadari bahwa yang sedang bangkit di dunia saat ini adalah pergeseran dari nasionalisme menuju fasisme hingga otoritarianisme. Dan ini akan terjadi di Indonesia apabila rakyat salah memilih calon presiden dan wakil mereka di pemerintahan. Mari kita belajar dari kesalahan masa lalu: gunakan suara hati dan logika Anda saat memilih dalam Pemilu 2024 mendatang. .

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.