Politik adalah "apa yang terjadi sebelumnya"; dan pemilu adalah menaruh "apa yang kita yakini, harapkan, dan inginkan sebagai kebenaran"di masa mendatang" kepada calom peminpin yang kita pilih.
Hasil dari gawe politik bukanlah politik itu sendiri, melainkan realitas. Sementara realitas adalah hasil pemeriksaan kebenaran faktual minus janji-janji polituk yang tak ditepati oleh sang politisi.
Ada sebuah fenomena menarik saat ini. Di berbagai negara, orang-orang yang tadinya fanatik dengan apa yang mereka yakini, kini justru makin gencar mengambil alih kekuasaan.
Selama proses persiapan pemilihan mereka rela berbohong dan menipu rakyat dengan menampilkan diri sebagai pemimpin paling toleran. Semua itu ia lakukan demi meraih kekuasaan.
Bukankah semua politisi memang suka membuat janji-janji yang tak dapat mereka penuhi? Seakan-akan begini: begitu seseorang memasuki dunia politik, maka ia secara otomatis akan dibantu setan untuk berbhong.
Ini nyata. Fakta yang berbicara. Setelah berkuasa, para politisi incumbent atau newbie akan mendadak menjadi orang yang bodoh, gila, sinting, dan dungu tapi agresif. Mereka bahkan tidak tahu apa yang mereka lakukan sejak mencalonkan diri hingga menjabat selama 5 tahun.
Bukankah semua politisi memang suka membuat janji-janji yang tak dapat mereka penuhi? Seakan-akan begini: begitu seseorang memasuki dunia politik, maka ia secara otomatis akan dibantu setan untuk berbhong.
Ini nyata. Fakta yang berbicara. Setelah berkuasa, para politisi incumbent atau newbie akan mendadak menjadi orang yang bodoh, gila, sinting, dan dungu tapi agresif. Mereka bahkan tidak tahu apa yang mereka lakukan sejak mencalonkan diri hingga menjabat selama 5 tahun.
Kehancuran terus mereka ciptakan. Lalu mereka sibuk mengumpulkan momentumnya sendiri.
Kalau di negara-negara Barat telah mengubah demokrasi sebagai gerbang menuju kebebasan tanpa batas, maka di Indonesia, demokrasi telah mengubah orang yang tadinya jujur menjadi pembohong, tak lama setelah ia memenangkan kursi kekuasaan di Pemilu.
Ternyata, dari sudut pandang objektivitas, apa yang terjadi dalam demokrasi kita saat ini adalah masalah ketidakmampuan - dalam hal tata kelola, manajemen, pemikiran, perencanaan, menjaga agar sistem tetap berfungsi - dalam skala yang mengejutkan.
Ha ini berhubungan dengan cara para capres, cakada dan caleg memenangkan kontestasi politik di Pemilu. Demi mendapatkan dukungan, para calon-calon pejabat politis itu melakukan kampanya negatif.
Mereka menutupi hasratnya pada kekuasaan selama kampanye. Mereka mulia memoles diri sebagai sinterklas yang tiba-tiba baik dengan berbagai amplop dan bantuan-bantuan yang mendadak menjamur selama menjelang perhelatan demokrasi.
Berbagai cara, entah normal atau tidak normal dilakukan. Selama sosialisasi dan kampanye di hadapan rakyat calon pemilih ia mengumandangkan kebencian kepada calon lain yang merupakan kompetitornya.
Kebencian model ini bahkan dianggap sebagai kejeniusan yang visioner. Ketika cara-cara nista ini dilakukan, mereka yang memenangkan kontestasi akan bersorak atas penghancuran tersebut. Ini sudah terjadi di Jakarta pada Pilkada tahun 2017 silam.
Anehnya, teknik polarisasi dan SARA ini masih dipraktikkan hingga kini. Saya menyaksikan sendiri betapa caleg yang satu mengklaim umat agama X adalah miliknya. Begitu juga dengan calon Katolik dan Kristen yang mengklaim jemaat dari gereja tertentu adalah calon pemilihnya, dan caleg lain tak boleh masuk ke gereja itu.
Anehnya, teknik polarisasi dan SARA ini masih dipraktikkan hingga kini. Saya menyaksikan sendiri betapa caleg yang satu mengklaim umat agama X adalah miliknya. Begitu juga dengan calon Katolik dan Kristen yang mengklaim jemaat dari gereja tertentu adalah calon pemilihnya, dan caleg lain tak boleh masuk ke gereja itu.
Di sinilah kita hidup. Di era inilah kita menyaksikan dengan mata telanjang betapa pesta demokrasi tak lebih dari pestanya orang-orang bodoh, yang diramaikan oleh rakyat yang memberi diri diinaugurasi menjadi orang bodoh oleh para pejabat politis yang incumbet dan newbie.
Mungkin, inilah saatnya bagi rakyat Indonesia, terutam yang sudah memiliki hak untuk memilih pada Pemilu Serentak 2024 mendatang untuk mencoba dan merebut kembali kewarasan kita dari kegilaan para capres atau caleg yang akan berkonstasi melalui momen kecil, tindakan nyata, percakapan nyata atau percakapan virtual, yakni "Bersuaralah!"
Posting Komentar