"Mereka yang tidak malu bersaksi tentang Tuhan (2Tim 1:8) dan beriman seperti Abraham (Kej 12:4) akan merasakan kebahagiaan rohani dan melihat kemuliaan Allah (Mat 17:2.4) dalam hidupnya." |
Berimanlah seperti Abraham yang tanpa petingsing percaya pada Allah yang mengutusnya. Cara Abraham menanggapi panggilan Allah menjadi sangat penting di era ini, tepatnya ketika kita mempertuhankan "apa yang kita miliki" dan "apa yang sedang kita nikmati".
Teladan Abraham menjadi cahaya ditengah kegelapan dunia, di mana setiap orang beragama hanya fokus pada kesamaan ritual, dan bukan pada kedalaman spiritual.
Ajakan Rasul Paulus kepada Timotius, "Jangan malu bersaksi tentang Tuhan" seakan menyindir cara beragama kita saat ini, yakni ketika kita justru tidak malu memperjualbelikan iman kita hanya demi uang, tahta dan clickbyteml.
Ini jaman emang sungguh edan. Pengusaha jadi pengkotbah, pengkotbah jadi perampok persembahan, bahkan makin banyak ria dan wanita yang gagal dalam hidupannya justru menjual kegagalan itu dalam bungkus testimoni rohani.
Praktik jual-beli kesaksian palsu tetap jadi tren di podcasts para selebriti. Pelaku haram dipuja bak nabi saat berteriak lantang tentang cara menghalalkan yang haram.
Agama tanpa iman menjadi trend mashyur di era ini. Orang mencari Tuhan secara digital dan larut dalam produk kaum kapital. Orang lantas memperlakukan kenikmatan sebagai buah iman.
Kenyataannya, kita malu bersaksi tentang iman, tapi sangat pede menjual agama sebagai bungkus bisnis kita. Kita lantas berjibagu dengan kenikmatan orgasme spiritual selama ucapanmu masih layak tayang dan jual di media.
Rasul Petrus bahkan pernah melewati godaan ini (Mat 17:4): "Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia."
Bukankah di era ini otak kita dipenuhi oleh godaan untuk memiliki properti newah, hingga kita rela bekerja santai dan cukup menjual testimoni palsu, "kesaksian perjalanan iman akan Tuhan" untuk meraihnya?
Dusta apa lagi yang sedang kita mainkan? Donasi dan "persembahan Tuhan" mana lagi yang tidak kita investasikan?
Mari kita kembali pada iman Abraham yang berani keluar dari kenikmatan, bukan malah menyuap Tuhan dengan membangun properti mewah bernama rumah ibadah untukNya. Itu karena kita ingin agar Tuha tak mencampuri urusan kita.
lusius-sinurat
Posting Komentar