Pada Prapaskah diawali dengan upacara Rabu Abu. Sebagaimana abu (dari daun palma yang dibakar) adalah simbol pertobatan pribadi dan umum, demikian juga penyesalan/pertobatan adalah bukti kerendahan hati, kerapuhan jiwa, dan kefanaan hidup. Itulah spiritualitas dari upacara Abu.
Dasar biblisnya adalah Kej 3:19 (“Engkau adalah debu dan akan kembali menjadi debu”) dan Mrk 1:15 (“Bertobatlah dan percayalah kepada Injil”). Demikianlah Rabu Abu sebagai hari pertama sekaligus pembuka masa pantang dan puasa dengan atmosfir liturginya adalah perkabungan dan pertobatan.
Akar Tradisi
Praktik puasa bersumber dari agama kafir dan Yahudi, di mana para pendosa memakai pakaian yang terbuat dari karung dan disirami abu. Praktik ini bermakna penyesalan dan duka-cita.
Praktik ini di kemudian hari di-kristen-kan: “Celakalah engkau Khorazim! Celakalah engkau Betsaida! Karena jika di Tirus dan di Sidon terjadi mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama mereka bertobat dan berkabung” (Mat 11:21).
Pergeseran Simbol
Praktik memakai pakaian dari karung dan disirami abu diganti dengan penebusan dosa gerejawi yang dilakukan secara publik. Hingga akhir milenium pertama ritual ini tidak lagi dijalankan.
Pada tahun 1091 Paus Urbanus II menganjurkan agar semua umat melakukan praktik puasa dan tobat tersebut. Kepada para klerus (uskup, imam, diakon) dan awam laki-laki, abu ditaburkan di atas kepala. Sedangkan kepada wanita dibuat tanda salib di dahi.
Sekarang, pemberian abu, baik kepada laki-laki dan wanita sama-sama dilakukan dangan cara membuat tanda salib di dahi. Sementara abu yang terbuat dari daun palma itu sudah ada sejak abad ke-12.
Liturgi Rabu Abu
Ritus pemberkatan abu dilaksanakan sesudah injil. Terkadang juga dilakukan di luar Perayaan Ekaristi, misalnya dalam ibadat sabda. Liturgi Rabu Abu terjadi antara tanggal 4 Februari - 11 Maret [bdk. Pada tahun ini (2023) Rabu Abu jatuh pada tanggal 22 Februari 2023].
Upacara Abu biasanya dilakukan pada pagi hari; namun, dengan pertimbangan pastoral boleh dilakukan pada sore hari.
Sumber:
Lusius Sinurat, Gema Paroki(GEMPAR) St. Ignatius Cimahi, edisi 05/Minggu II/April/2011
Posting Komentar