"Ise do mangarang buku on?" (buku ini hasil karangan siapa?) adalah pertanyaan jamak saat seorang Batak sebelum membacai buku.
Ingat, kata yang digunakan bukan "manurat" (menulis), tapi mangarang (mengarang). Ini bukan soal keterbatasan vocabulary. Ada historisnya.
Orang Batak terlahir dan bertumbuh dari tradisi lisan yang kuat. Sepintas tampak bahwa orang Batak punya ingatan brilian, karena mitologi dan sejarah leluhurnya masih hafal.
Benarkah demikian? Jelas, tentang hak ini, tak sedikit orang Batak menyebut dirinya keturunan Yahudi (tapi minus tradisi membaca dan menulis, tentunya).
Itu sebabnya menulis sejarah dan tarombo sebuah marga jauh lebih sulit daripada memahamu hukum Newton atau relativitas-nya Einstein.
Why? Sebab, orang Batak tak berasal dari satu leluhur. Masuknya Islam dan Kristen lah yang "memaksa" orang Batak "mengarang" kisah penciptaan sendiri.
Semua dikarang, termasuk tarombo. Maka tidak mengherankan ketika orang Batak menyamakan penulis dengan pengarang: apapun yang ditulis seseorang tak lebih dari hasil karangan/rekayasa si penulis.
Bahkan hingga saat ini, mayoritas orang Batak, termasuk kaum intelektualnya masih lebih percaya pada kisah-kisah adiluhung yang dituturkan orang Batak daripada pergi ke pelosok dan meneliti fakta dibalik mitos itu.
Bisa kita bayangkan bagaimana seorang Batak "menyuapi" keturunannya dengan berbagi kisah sejarah yang juga ia dengarkan dari leluhurnya dengan teknik permainan neneruskan pesan?
Faktanya, baru tahun 1920-an tarombo jadi "topik" menarik. Beberapa marga digabungkan secata politis.
Ada 3 alibi yang mendasari kelompok marga (horong):
- kepentingan kolonial;
- hubungan darah; dan
- padan (kesepakatan) antar dua atau lebih marga diluar pertalian darah.
Selain karena tidak suka membaca, hal ini terkadi karena nilqi kebenaran kisah iti sangat "rawan".
Posting Komentar