Lihatlah, animo untuk sekedar "menemui keluarga di kampung asal" itu bisa mengalihkan perhatian publik dari beban hidup akibat kenaikan harga minyak goreng, BBM, dan kebutuhan pokok lainnya: "Pokoknya saya harus mudik setelah 3 tahun pandemi gak mudik!"
Pemudik ingin pulang, pemerintah memfasilitasi, pengusaha banjir customer, dan politisi mengambil kesempatan "menjual kebaikan" demi kemenangan di Pilkada 2 tahun lagi. Begitulah mudik sebagai momentum penting bagi penguasa, pengusaha dan politisi.
Pejabat publik akan menyediakan "tiket-tiket gratis" untuk warganya; sementara pengusaha dan politisi akan menyediakan bus gratis untuk calon "pelanggannya".
Bagi penguasa dan politisi, selama warga asyik mudik, isu-isu pembungkaman kebebasan publik, upaya-upaya pemulusan jabatan 3 periode, isu radikalisme, kenaikan utang luar negeri yang makin tak terkontrol, pembangunan IKN, dst. akan dilupakan publik barang sejenak.
Paling tidak, selama masa liburan panjang ini, pendapatan pemerintah dan pengusaha akan meningkat: infrastruktur terpakai maksimal, konsumsi dan belanja akan meningkat. Bahwa pasca mudik selalu lahir masalah baru, itu tak jadi soal. Sebuta saja bahwa tak semua warga yang mudik akan balik, atau warga yang mudik akan membawa saudaranya saat balik sehingga akan terjadi kepadatan penduduk di kota.
Masalahnua mudik itu bisnis, di mana publik sebagai customer dikondisikan untuk membrlanjakan sebagian besar pendapatannya demi memuaskan rasa rindu akan kampung halamannya. Di titik ini, pemerintah merasa bertanggung jawab mengendalikan pasar, tepatnya ketika terjadi transaksi atara pemudik dan pedagang: "Anda ingin mudik, kami akan sediakan alat transportasi. Kalau mau bawa oleh-oleh, kami siap memfasilitasi!", dst
Demikianlah mudik sebagai bisnis, soal Pemasukan dan Pengeluaran untuk semua pelaku ekonomi. Itu sebabnya negara rela melibatkan seluruh elemen untuk mengurusi orang mudik.
Posting Komentar