SUATU WAKTU RAJA SILAHISABUNGAN SEDANG MEMBUAT TEMPAT TIDUR DARI KAYU BULAT (SONDI) UNTUK CALON BAYI ANAK KETIGANYA. TIBALAH WAKTUNYA BAGI PINGGANMATIO MELAHIRKAN PUTRA KETIGANYA. SILAHISABUNGAN MEMBERINYA NAMA SONDI RAJA. SONDI RAJA MEMILIKI 3 ANAK, YAKNI RUMABOLON, RUMASINGAP DAN RAJA BUNGABUNGA GELAR RAJA PARMAHAN. RAJA BUNGABUNGA GELAR PARMAHAN MEMILIKI EMPAT ORANG ANAK, YAITU SINALOHO, SINAGIRO, SINABANG DAN SINABUTAR. KETURUNAN KEEMPAT ANAKNYA MEMAKAI MARGA SILALAHI DARI HINALANG, BALIGE RAJA.
Silahisabungan dan keturunannya sejak awal bermukim di Huta Silahi (kini: desa Silalahi Nabolak, kecamatan Silahisabungan, kabupaten Dairi). Hanya satu cucu dari Raja Silahisabungan yang keluar dari bonapasogit, yakni si Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan (anak ketiga dari Sondi Raja).
Namun mengingat larangan pernikahan semarga, cucu dan cicit Raja Silahisabungan pun harus mencari istri diluar Huta Silahi. Setelah menikahi gadis dari luar Huta Silahi, sebagian besar dari mereka memilih untuk kembali ke Huta Silahi. Namun sebagian kecil justru memilih untuk menetap di luar Huta Silahi.
Mereka yang tinggal diluar Huta Silahi inilah yang mengakibatkan banyaknya keturunan Raja Silahisabungan yang tinggal di Samosir, Simalungun, Balige, Angkola, Karo, Sibolga, Tapanuli Tengah, Singkil, Kutacane, Nias, dan daerah lain diluar Silalahi Nabolak.
Mereka yang tinggal diluar Huta Silahi inilah yang mengakibatkan banyaknya keturunan Raja Silahisabungan yang tinggal di Samosir, Simalungun, Balige, Angkola, Karo, Sibolga, Tapanuli Tengah, Singkil, Kutacane, Nias, dan daerah lain diluar Silalahi Nabolak.
Bagaimana tidak, mereka membuka parhutaan (perkampungan) baru diluar Huta Silahi. Bahkan tak sedikit dari mereka justru memperoleh tanah dan tempat tinggal dari mertua atau hulahula-nya (sonduk hela).
Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan adalah salah seorang cucu Raja Silahisabungan dari anak ketiganya, Sondi Raja (Ruma-sondi) yang memutuskan keluar dari Huta Silahi dan merintis huta-nya di Silalahi, Balige Raja. Di Balige-Raja pulalah lahir empat anaknya.
Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan adalah salah seorang cucu Raja Silahisabungan dari anak ketiganya, Sondi Raja (Ruma-sondi) yang memutuskan keluar dari Huta Silahi dan merintis huta-nya di Silalahi, Balige Raja. Di Balige-Raja pulalah lahir empat anaknya.
Singkat kata, Raja Bungabunga adalah ayah dari Sinabutar Raja Parmahan atau Sinabutar II atau Sinamutar untuk membedakannya dari Butar Raja / Sidabutar anak Silahisabungan) memiliki 3 anak, yakni Sinurat, Nadapdap dan Dolok Saribu.
Keturunan Raja Silahisabungan
Silahisabungan bermukim di Huta Lahi. Dari 8 anak Raja Silahisabungan tidak ada yang meninggalkan huta Silalahi Nabolak, kecuali Si Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan atau Ompu Simargunaguna. Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan merantau keluar dari Huta Lahi.
Sebagian besar anak, cucu dan cicit Raja Silahisabungan memang mencari istri dari luar, tetapi biasanya mereka membawa istri mereka ke Huta Lahi. Walaupun ada saja yang menetap di tanah rantau (biasanya di huta mertua).
Biasanya mereka menetap di perantauan karena keinginan membuka Huta Lahi di tanah rantau, dan tentu saja karena mereka mendapat tanah dari mertuanya (disebut sonduk hela dalam ikatan kekerabatan dalam Dalihan Natolu).
Biasanya mereka menetap di perantauan karena keinginan membuka Huta Lahi di tanah rantau, dan tentu saja karena mereka mendapat tanah dari mertuanya (disebut sonduk hela dalam ikatan kekerabatan dalam Dalihan Natolu).
Dalam kehidupan sehari-hari keturunan Silahisabungan, termasuk Sinurat, tidak mengenal istilah penomoran dalam tarombo-nya. Kendati demikian kedudukan dan posisi generasi tidak hilang: siakangan/siabangan (kakak) dan sianggian (adik) tetap terlihat pada saat Ulaon Adat (posisi duduk dan penerimaan jambar), tepatnya dari yang paling tua hingga ke yang paling muda.
Silahisabungan mempunyai dua isteri. Isteri pertama adalah Pinggan Matio boru Padang Batanghari yang bermukim di Huta Lahi atau Silalahi Nabolak, dan Boru Similingiling yang menetap di Sibisa, Toba.
Silahisabungan mempunyai dua isteri. Isteri pertama adalah Pinggan Matio boru Padang Batanghari yang bermukim di Huta Lahi atau Silalahi Nabolak, dan Boru Similingiling yang menetap di Sibisa, Toba.
Dari Pinggan Matio boru Padang Batanghari, Silahisabungan memiliki 7 anak dan 1 boru; sementara dari Milingiling boru Mangareak, Silahisabungan memiliki 1 anak bernama Tambun Raja. Dengan demikian Silahisabungan memiliki 8 anak dan 1 boru. Berikut ini nama, arti dan tempat tinggal keturunan Raja Silahisabungan.
1. Loho Raja (Sihaloho)
Melihat kondisi kehamilan Pinggan Matio Boru Padang Batangari, Raja Parultep (ayah Pinggan Matio) lalu menyarankan supaya putrinya tinggal di Balla sampai kelahiran anaknya. Di huta Balla inilah Pinggan Matio melahirkan seorang anak Laki-laki.
1. Loho Raja (Sihaloho)
Melihat kondisi kehamilan Pinggan Matio Boru Padang Batangari, Raja Parultep (ayah Pinggan Matio) lalu menyarankan supaya putrinya tinggal di Balla sampai kelahiran anaknya. Di huta Balla inilah Pinggan Matio melahirkan seorang anak Laki-laki.
Silahisabungan merasa gembira dan bersyukur karena dia sudah menjadi seorang ayah. Begitu juga Raja Parultep merasa berbahagia karena kelahiran cucu dari putrinya Pinggan Matio.
Sebagai ungkapan syukur, Raja Parultep mengun-dang raja-raja dan warga kampung Balla dan sekitarnya untuk merayakan kelahiran cucunya. Raja Parultep memberi nama cucunya si Loho, artinya lega. Kemudian dikenal dengan Loho Raja, putra sulung Raja Silahisabungan.
Loho Raja menikahi pariban-nya Rumbani boru Padang Batangari dan bermukim di Silalahi Nabolak, dan memiliki tiga anak, yakni Sinabarno, Sinapuran dan Sinapitu. Sebagian dari keturunan Haloho bermigrasi ke Paropo, Tolping, Pangururan dan Parbaba. Pada umumnya keturunan Haloho memakai marga Sihaloho dan Silalahi.
2. Tungkir Raja (Situngkir)
Suatu ketika, Raja Parultep merasa rindu dengan putri dan cucunya. Raja Parultep kemudian pergi ke Huta Lahi (Silalahi Nabolak) untuk melihat (maningkir). Dalam bahasa Batak maningkir berasal dari kata kerja dasar “tingkir” atau “tungkir”. Setibanya disana, istrinya Pinggan Matio sedang melahirkan anak keduanya. Raja Parultep kemudian memberi nama Tungkir Raja untuk cucunya itu.
Tungkir Raja menikah dengan Pinggan Haomasan boru Situmorang dan tetap tinggal di Silalahi Nabolak bersama ketiga anaknya, yakni Sibagasan (yang melahirkan marga Sembiring, Sinupangkar dan Sipayung), Sipakpahan dan Sipangkar.
Di Silalahi Nabolak, keturunan Tungkir Raja kemudian memakai marga Situngkir. Namun keturunan Situngkir di Parbaba Samosir kemudian menurun-kan marga keturunannya, yaitu marga Sipangkar dan Sipayung.
Keturunan Tungkir, Sibagasan dan Sipakpahan tetap memakai marga Situngkir dan Silalahi, tetapi keturunan Sipangkar memakai Sipangkar dan Silalahi. Keturunan Sipayung yang merantau ke Simalu-ngun tepa memakai marga Sipayung.
Sebagai ungkapan syukur, Raja Parultep mengun-dang raja-raja dan warga kampung Balla dan sekitarnya untuk merayakan kelahiran cucunya. Raja Parultep memberi nama cucunya si Loho, artinya lega. Kemudian dikenal dengan Loho Raja, putra sulung Raja Silahisabungan.
Loho Raja menikahi pariban-nya Rumbani boru Padang Batangari dan bermukim di Silalahi Nabolak, dan memiliki tiga anak, yakni Sinabarno, Sinapuran dan Sinapitu. Sebagian dari keturunan Haloho bermigrasi ke Paropo, Tolping, Pangururan dan Parbaba. Pada umumnya keturunan Haloho memakai marga Sihaloho dan Silalahi.
2. Tungkir Raja (Situngkir)
Suatu ketika, Raja Parultep merasa rindu dengan putri dan cucunya. Raja Parultep kemudian pergi ke Huta Lahi (Silalahi Nabolak) untuk melihat (maningkir). Dalam bahasa Batak maningkir berasal dari kata kerja dasar “tingkir” atau “tungkir”. Setibanya disana, istrinya Pinggan Matio sedang melahirkan anak keduanya. Raja Parultep kemudian memberi nama Tungkir Raja untuk cucunya itu.
Tungkir Raja menikah dengan Pinggan Haomasan boru Situmorang dan tetap tinggal di Silalahi Nabolak bersama ketiga anaknya, yakni Sibagasan (yang melahirkan marga Sembiring, Sinupangkar dan Sipayung), Sipakpahan dan Sipangkar.
Di Silalahi Nabolak, keturunan Tungkir Raja kemudian memakai marga Situngkir. Namun keturunan Situngkir di Parbaba Samosir kemudian menurun-kan marga keturunannya, yaitu marga Sipangkar dan Sipayung.
Keturunan Tungkir, Sibagasan dan Sipakpahan tetap memakai marga Situngkir dan Silalahi, tetapi keturunan Sipangkar memakai Sipangkar dan Silalahi. Keturunan Sipayung yang merantau ke Simalu-ngun tepa memakai marga Sipayung.
Tetapi mereka yang merantau ke tanah Karo, yakni keturunan Sipangkar dan Sipayung justru memakai merga Sembiring Sinupangkar dan Sembiring Sinupayung). Tapi belakangan ada juga keturunan Silalahi dan Sihaloho yang kemudian menjadi Sembiring Sinulaki dan Sembiring Keloko.
3. Sondi Raja (lih. Lusius Sinurat, Sejarah dan Tarombo Sinurat. Yogyakarta: Nasmedia, 2022 hlm. 60)
4. Deang Namora (boru)
Hati Pinggan Matio boru Batanghari yang sedang gundah gulana akibat tidak memiliki seorang putri mendapat perhatian dari Raja Silahisabungan. Raja Silahisabungan pun pergi bersemedi ke gua Batu di atas Huta Lahi.
Dia memohon kepada Mulajadi Nabolon agar mereka diberikan seorang anak perempuan. Permohonan Raja Silahisabungan pun dikabulkan. Tak lama kemudian sang istri, Pinggan Matio merasakan sukacita penuh karena ia sedang mengandung seorang anak perempuan.
Kehadiran seorang bayi perempuan nan cantik itu tak ayal membuat Pinggan Matio melupakan sakita persalinannya, dan secara spontan berkata lembut kepada sang suami, “Nunga Gabe jala mamora ahu, hubahen ma goar ni borunta on Deang Namora” (alangkah bahagia dan kayanya aku saat ini, ijinkan aku memberi nama putri kita ini dengan Deang Namora atau puteri nan kaya).
Deang Namora merupakan satu-satunya anak perempuan dari Silahi-sabungan dari Pingggan Matio Padang Batanghari. Sayangnya kebahagiaan mereka tak bertahan lama. Sang putri Deang Namora justru meninggal saat usianya masih muda, dan tidak sempat menikah dan memiliki keturunan.
Hati Pinggan Matio boru Batanghari yang sedang gundah gulana akibat tidak memiliki seorang putri mendapat perhatian dari Raja Silahisabungan. Raja Silahisabungan pun pergi bersemedi ke gua Batu di atas Huta Lahi.
Dia memohon kepada Mulajadi Nabolon agar mereka diberikan seorang anak perempuan. Permohonan Raja Silahisabungan pun dikabulkan. Tak lama kemudian sang istri, Pinggan Matio merasakan sukacita penuh karena ia sedang mengandung seorang anak perempuan.
Kehadiran seorang bayi perempuan nan cantik itu tak ayal membuat Pinggan Matio melupakan sakita persalinannya, dan secara spontan berkata lembut kepada sang suami, “Nunga Gabe jala mamora ahu, hubahen ma goar ni borunta on Deang Namora” (alangkah bahagia dan kayanya aku saat ini, ijinkan aku memberi nama putri kita ini dengan Deang Namora atau puteri nan kaya).
Deang Namora merupakan satu-satunya anak perempuan dari Silahi-sabungan dari Pingggan Matio Padang Batanghari. Sayangnya kebahagiaan mereka tak bertahan lama. Sang putri Deang Namora justru meninggal saat usianya masih muda, dan tidak sempat menikah dan memiliki keturunan.
5. Butar Raja (Sinabutar)
Raja Silahisabungan dan Pinggan Matio selanjutnya dianugerai seorang anak laki-laki. Pada saat kelahiran anak kelimanya ini, Raja Silahisabungan baru sedang mengganti atap rumah yang terbuat dari kayu butar. Oleh karena itu mereka membuat nama anak kelima ini Butar Raja.
Setelah beranjak dewasa, Dabutar menikah dengan Lagumora boru Sagala dan bermukim di Silalahi Nabolak. Dabutar mempunyai tiga anak, yaitu Ruma Bolon, Ruma Biak dan Ruma Tungkup.
Keturunan Dabutar pada umumnya memakai marga Sinabutar atau Sinamutar atau Sidabutar dan Silalahi.
6. Bariba Raja (Sidabariba)
Keturunan Dabutar pada umumnya memakai marga Sinabutar atau Sinamutar atau Sidabutar dan Silalahi.
6. Bariba Raja (Sidabariba)
Pada waktu kelahiran anak keenam, Silahisabungan sedang berada di Parbaba, Samosir untuk mencari tanah kosong. Sepulangnya dari dari bariba (seberang, Pulau Samosir berada di seberang Silahi Nabolak, karena dibatasi Danau Toba) istrinya telah melahirkan seorang anak laki-laki. Karena ia baru tiba dari bariba (seberang), maka Silahisabungan pun menamai anak laki-lakinya dengan Bariba Raja.
Setelah merasa telah cukup umur Bariba Raja menikahi Sahat Uli boru Sagala dan tetap bermukim di Silalahi Nabolak. Bariba Raja (Sidabariba) memiliki tiga anak, yakni Lumban Toruan, Lumban Tongatonga dan Lumban Dolok. Keturunan Dabariba umumnya memakai marga Sidabariba atau Sinabariba dan Silalahi.
Setelah merasa telah cukup umur Bariba Raja menikahi Sahat Uli boru Sagala dan tetap bermukim di Silalahi Nabolak. Bariba Raja (Sidabariba) memiliki tiga anak, yakni Lumban Toruan, Lumban Tongatonga dan Lumban Dolok. Keturunan Dabariba umumnya memakai marga Sidabariba atau Sinabariba dan Silalahi.
7. Debang Raja (Sidebang)
Kelahiran Debang Raja ditandai dengan terjadinya peristiwa alam. Pada saat Pinggan Matio melahir-kan anak ketujuhnya, hujan sedang turun lebat hingga terjadi tanah longsor (tano bongbong) di Silalahi Nabolak. Karena tano bongbong (tanah longsor) tersebut sangat mengejutkan Raja Silahisabungan dan Pinggan Matio, maka mereka membuat nama anak laki-laki yang baru lahir itu Debong Raja atau Debang Raja.
Debang Raja menikah dengan Panamean boru Sagala dan bermukim di Silalahi Nabolak dan sebagian menyebar ke daerah Paropo. Debang memiliki tiga anak, yakni Sisidung, Siari dan Sitao. Pada umumnya keturunan Debang Raja memakai marga Sidebang atau Sinabang dan Silalahi.
Kelahiran Debang Raja ditandai dengan terjadinya peristiwa alam. Pada saat Pinggan Matio melahir-kan anak ketujuhnya, hujan sedang turun lebat hingga terjadi tanah longsor (tano bongbong) di Silalahi Nabolak. Karena tano bongbong (tanah longsor) tersebut sangat mengejutkan Raja Silahisabungan dan Pinggan Matio, maka mereka membuat nama anak laki-laki yang baru lahir itu Debong Raja atau Debang Raja.
Debang Raja menikah dengan Panamean boru Sagala dan bermukim di Silalahi Nabolak dan sebagian menyebar ke daerah Paropo. Debang memiliki tiga anak, yakni Sisidung, Siari dan Sitao. Pada umumnya keturunan Debang Raja memakai marga Sidebang atau Sinabang dan Silalahi.
8. Batu Raja (Pintu Batu)
Anak Raja Silahisabungan yang kedelapan bernama Batu Raja atau Pintu Batu. Anak kedelapan Silahisabungan ini lahir saat ia sedang bersemedi di Gua batu di lereng bukit Silalahi. Saat melahirkan Pinggan Matio merasa lelah karena faktor usia, sehingga ia mengerang minta bantuan.
Loho Raja yang melihat ibunya mengerang ia berlari memanggil ayahnya yang sedang bermeditasi. Begitu tiba di rumah, Raja Silahisabungan langsung meracik obat salusu atau obat penambah tenaga untuk sang istri agar proses kelahiran anaknya berjalan lancar. Karena proses kelahiran anak kedepalan ini terjadi saat Silahisabungan dipanggil dari Gua Batu, maka diberilah nama anak itu Batu Raja atau Pintu Batu.
Setelah dewasa Pintu Batu menikah dengan Bunga Pandan boru Sinaga dan tetap tinggal di Silalahi Nabolak dan memiliki tiga anak, yaitu Huta Balian, Lumban Pea dan Sigiro.
Keturunan Batu Raja umumnya memakai marga Pintu Batu, tetapi keturunan Sigiro sebagian memakai marga Sigiro dan Silalahi. Dengan kelahiran Batu Raja, maka anak Raja Silahisabungan dari Pinggan Matio boru Padang Batanghari adalah 8 orang (7 anak dan 1 boru).
Setelah dewasa Pintu Batu menikah dengan Bunga Pandan boru Sinaga dan tetap tinggal di Silalahi Nabolak dan memiliki tiga anak, yaitu Huta Balian, Lumban Pea dan Sigiro.
Keturunan Batu Raja umumnya memakai marga Pintu Batu, tetapi keturunan Sigiro sebagian memakai marga Sigiro dan Silalahi. Dengan kelahiran Batu Raja, maka anak Raja Silahisabungan dari Pinggan Matio boru Padang Batanghari adalah 8 orang (7 anak dan 1 boru).
9. Tambun Raja (Tambunan)
Saat diundang ke negeri Sibisa oleh Raja Magarerak, Raja Silahisabungan berhasil menyembuhkan penyakit puteri Raja . Namanya Boru Milingiling atau Similingiling. Sebelumnya ada kesepakatan antara Raja Silahisabungan dengan Raja Mangatur yang isinya bahwa apabila Similingiling sembuh maka Raja Silahisabungan akan memperistri Sang Putri.
Saat itu usia keduanya telah terpaut sanga jauh. Konon Similililing bahkan sudah terbiasa memang-gil amangboru (oom) kepada Raja Silahisabungan.
Ketika Sang Putri tengah mengandung, terjadi prahara lain. Raja Mangarerak meminta Raja Silahi-sabungan segera meninggalkan negeri Sibisa. Dengan berat hati, Raja Silahisabungan sepakat, tetapi ia meminta diberi waktu hingga Boru Milingiling melahirkan. Setelah Similingiling mela-hirkan, Raja Silahisabungan langsung memboyong sang bayi ke Huta Lahi.
Di Huta Lahi sang anak kemudian diberi nama Tambun Raja. Setelah beranjak dewasa, Tambun Raja kemudian kembali menemui sang Ibu yang melahirkannya dan Tulang-nya di Sibisa. Tambun Raja kemudian menetap dan tinggal di Sigotom, Sibisa dan menikahi pariban-nya Pinta Omas Boru Manurung. Oleh keturunannya Tambun Raja kemudian dipanggil dengan sebutan Si Raja Tambun. Keturunannya kemudian memakai marga Tambun.
Tambun memiliki tiga anak, yaitu Tambun Mulia, Tambun Saribu dan Tambun Marbun. Pada generasi ini, baik keturunan Tambun Mulia, Tambun Saribu, Tambun Marbun, keturunan mereka memakai marga Tambun sampai hari ini. Tambun Mulia memiliki dua anak, yaitu Tambun Uluan and Tambun Holing. Disebut Tambun Uluan karena ia tinggal di Uluan. Keturunannya sampai hari ini tetap memakai Tambun. Tambun Holing kemudian membuka lahan pemukiman untuk didiami dan menamakannya Huta Tambunan. Di huta Tambunan inilah Tambun Holing memiliki 3 anak, yaitu Raja Pangaraji, Tuan Ujung Sunge dan Datu Tambunan Toba.
Kini tempat tinggal Tambunan terbagi dalam tiga Wilayah , yaitu desa Tambunan Lumban Pea, desa Tambunan Lumban Gaol dan Desa Tambunan Baruara. Ketiga desa inilah Desa Tambunan, di tepi Danau Toba. Masing-masing keturunan mereka tetap menggunakan marga Tambunan. Konon, salah satu keturunan Tambunan Raja Pagar Aji – bernama Mata Sopiak- kemudian merantau ke Angkola-Mandailing dan berganti marga menjadi Daulay di sana. Datu Tambunan Toba juga memiliki 3 orang anak, yaitu Raja Baruara , Lumban Pea and Lumban Gaol. Dari keturunan ketiga anak Datu Tambu-nan Toba inilah kemudian terlahir 3 anak yang hingga kini masih memakai marga Tambunan, yatu Tambunan Baruara, Tambunan Lumban-pea dan Tambunan Lumbangaol. Jadi sangat jelas diketahui bahwa marga Tambunan adalah merupakan marga turunan dari marga Tambun.
Dari Sibisa keturunan Tambun menyebar ke Huta Silombu, Huta Tambunan dan Sigotom Pangaribuan. Pada umumnya keturunan marga Tambun atau Tambun Raja memakai marga Tambun dan Tambunan.
Kedelapan anak Raja Silahisabungan disebut Ualu Raja Turpuk. Disebut Raja Turpuk karena masing-masing telah memiliki cabang marga-marga keturunannya. Raja Silahisabungan kemudian mengikat kedelapan anaknya dengan sebuah padan (sumpah) yang dikenal dengan sebutan Pada Sagu-sagu Marlangan (PSSM) sampai hari ini. PSSM diwariskan kepada semua keturunan Raja Silahi-sabungan hingga kini. Anak-anak Raja Silahisabungan dari Pinggan Matio boru Padang Batanghari memakai marga Silalahi; sedangkan satu-satunya anak Raja Silahisabungan dari Similingiling boru Mangareak tetap menggunakan marga Tambun dan Tambunan.
Dalam kehidupan sehari-hari, keturunan Silahisabungan, termasuk Sinurat, tidak mengenal istilah penomoran dalam silsilah marga mereka. Kendati demikian, kedudukan dan posisi generasi tidak hilang: siakangan/siabangan (abang) dan sianggian (adik) akan terlihat saat ulaon adat (posisi duduk dan penerimaan jambar), tepatnya dari yang paling tua hingga ke yang paling muda.
3. Sondi Raja (Rumasondi)
Sondi Raja atau Rumasondi merupakan anak ketiga Silahisabungan. Kelahiran terjadi ketika suatu hari Raja Silahi-sabungan sedang membuat tempat tidur dari kayu bulat (sondi) untuk calon bayi anak ketiganya itu. Tibalah waktunya bagi PingganMatio melahirkan putra ketiganya. Silahisabungan memberinya nama Sondi Raja.
Sondi Raja (Rumasondi) menikah dengan Nagok Boru Purba Siboro dan menetap di Huta Lahi atau Silalahi Nabolak. Ia memiliki 3 anak, yakni (1) Rumasondi (menikah dengan boru Siboro; tinggal di Huta Lahi) dan (2) Rumasingap (tinggal di Huta Lahi). Rumasondi memiliki 2 anak, yakni Ruma Bolon dan Raja Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan. Keturunan Raja Parmahan kelak memakai marga Silalahi dan bermukim di Hinalang, Balige Raja. Raja Parmahan memiliki 4 anak, yakni Sinaloho, Sinagiro, Sinabang dan Sinabutar. Umumnya keturunan Sondir Raja memakai marga Rumasondi, Silalahi (di Balige Raja), Rumasingap, dan marga kecil merka, seperti Sinurat, Nadapdap, Doloksaribu, Naiborhu, dst.
Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan
Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan (selanjutnya disingkat Raja Parmahan) memiliki 4 anak dan 1 putri. Keempat anaknya dinamai seturut nama leluhur mereka:
Sihaloho (menikah dengan boru Pasaribu);
Sinagiro (menikah dengan boru Siregar);
Sinabang (menikah dengan boru Manurung);
Sinabutar (menikah dengan boru Manurung);
dan 1 boru:
Tiurma Uli (dinikahi oleh marga Panjaitan dan tinggal di Pintu Batu Sitorang).
Pemberian nama ini mengingatkan kita pada nama-nama anak Raja Silahisabungan. Pemberian nama-nama ompung-nya kepada empat anaknya sengaja dilakukan oleh Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan. Hal itu dimaksud agar ia dan keturunannya tetap mengingat dan mengenang leluhurnya di bonapasogit Silalahi Nabolak. Dalam Tarombo Silahisabungan dikisahkan bahwa Sinabutar memiliki seorang “anak angkat” bernama Doloksaribu. Itu berarti ia memiliki 2 anak kandung (Sinurat dan Nadapdap) dan satu anak angkat (Doloksaribu).
Raja Parmahan di sini bukan berarti raja gembala (parmahan) atau penggembala. Kata “mahan” secara etimologis justru berasal dari kata dasar “mahan” (makanan). Jadi, Raja Parmahan berarti penjaga gudang makanan. Raja Parmahan bertanggung jawab atas persediaan makanan untuk warga Balige raja tak lama setelah letusan gunung Toba (wawancara dengan Dr. S.W.H. Sianipar, 7/1/21).
Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan (Laki Paraz (India) berarti lelaki petualang) adalah anak kedua dari Rumasondi atau cucu dari Sondiraja. Kepindahan Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan dari Silalahi Nabolak ke Silalahi Dolok Balige Raja terjadi lewat penculikan dirinya oleh Tuan Sihubil. Kisahnya berawal dari perselisihan antara Bagotnipohan dan 3 adik kandungnya, yakni Silahisabungan, Si Paet Tua dan Oloan. Perselisihan itu di kemudian hari menjadi alasan Silahisabungan pergi dan meninggalkan Lumban Gorat Balige.
Untuk mengakhiri perselisihan antara keempat saudara kandung itu diadakanlah ritual perdamaian seturut adat Batak Toba. Ritual adat ini dinamai Horja Santi mangaliat Horbo Sitio-tio. Namun, untuk melakukan Horja Santi tersebut, keturunan Silahisabungan, keturunan Si Paet Tua dan keturunan Oloan harus didatangkan ke Hinalang Silalahi (kini bernama Dolok Silalahi, Hinalang, Balige Raja) untuk diulosi dan dipatortor. Untuk itu keturunan Bagotnipohan mengirim utusannya untuk menjumpai dan menjemput keturunan dari ketiga adiknya.
Utusan itu pun pergi ke Laguboti untuk menemui keturunan Paet Tua. Setibanya di Laguboti, keturunan Paet Tua menolak dengan dalih mereka harus meminta izin terlebih dahulu dari keturunan Silahisabungan. Selanjutnya mereka pergi ke Bakkara menemui keturunan Oloan. Ternyata keturunan Oloan juga menolak berdamai dengan dalih bahwa ia harus lebih dahulu meminta persetujuan dari abangnya Paettua. Akhirnya, utusan Bagotni Pohan pun pergi ke Silalahi Nabolak menemui keturunan Silahisabungan. Lagi-lagi permintaan Bagotnipohan ditolak. Keturunan Silahisabungan menolak untuk berdamai dengan keturunan Sibagotnipohan dan melarang keturunan Silahisabungan dibawa ke Balige Raja. Akibat penolakan dari ketiga adik-adiknya, Bagotnipohan sangat kecewa dan kuatir kalau ia tidak bisa membawa seorang pun dari keturunan Silahisabungan, Sipaettua dan Oloan untuk menerima ulos perdamaian yang ia tawarkan. Belum lagi, dibalik upaya perdamaian itu termaktub tujuan lain. Tujuan itu adalah untuk mengakhiri kemarau berkepanjangan yang melanda Balige Raja kala itu. Setelah utusannya gagal menemui Paettua di Laguboti, Oloan di Bakkara dan Silahisabungan di Silahi Nabolak, Bagotnipohan tak menyerah.
Ia kemudian mengirimkan utusannya untuk membawa keturunan Silahisabungan. Bagotnipohan keukeuh ingin mendatangkan salah satu keturunan Silahisabungan ke Balige Raja, karena ia percaya kalau kemarau itu hanya bisa dihentikan oleh kesaktian dan kebijaksanaan dari keturunan Silaisabungan. Bagotnipohan sadar betapa sulitnya mendatangkan keturunan Silahisabungan ke Balige Raja pasca penolakan dari ketiga adik-adiknya. Akhirnya utusan Bagotnipohan pun membawa paksa atau menculik 3 orang keturunan Silahisabungan yang sedang mengembalakan kerbau di kaki bukit, yang oleh keturunan Silahisabungan dinamai Dolok Simartaja.
Ketiga keturunan Silahisabungan yang dicukuik itu adalah keturunan Haloho yang bernama Hatoguan; keturunan Sondi yang bernama Raja Bungabunga; dan keturunan Pintu Batu yang bernama Silossing. Dari tiga keturunan Silahisabungan yang diculik Bagotnipohan, hanya Raja Bungabunga yang berhasil dibawa ke Balige Raja. Dua anak lain, Hatoguan dan Silossing berhasil melarikan diri. Awalnya ketiga anak yang diculik itu berupaya untuk kabur dengan menggunakan solu (sampan) saat berada di Tano Pinonggol, Pangururan. Utusan Bagotnipohan berupaya mengejar dan menangkap mereka. Sayangnya hanya anak yang badannya kecil yang berhasil ditangkap dan dibawa ke Balige Raja. Dialah Raja Bunga-Bunga yang di kemudian hari digelari Raja Parmahan.
Tuan Sihubil, anak tertua dari Bagotnipohan, adalah orang paling bahagia dalam keberhasilan utusan ayahnya menghadirkan salah seorang anak Silahisabungan untuk di paraja. Begitu Raja Bungabunga tiba, ia langsung diulosi dalam ritual adat Mangaliat ‘ Horbo Sitio-tio”. Bagi Tuan Sihubil, anak kecil berumur ssekitar 10 tahun dengan nama Raja Bunga-Bunga itu memiliki kharisma dari ompung-nya Raja Silahisabungan.
Untuk itu Tuan Sihubil berencana utuk menjadikan Raja Bunga-Bunga menjadi anak hasudungan. Tuan Sihubil pun mengungkapkan isi hatinya kepada adek-adeknya, yakni Tuan Somanimbil, Tuan Dibangarna dan Sonak Malela. Ketiga adiknya pun setuju, mengingat Tuan Sihubil tidak mempunyai keturunan. Demikianlah Tuan Sihubil akhirnya mengangkat dan menetapkan dan menganggap Raja Bunga-Bunga sebagai anak hasudungan-nya. Dan untuk mensahkan Raja Bunga-Bunga menjadi anak hasudungan, Tuan Sihubil menyelenggarakan sebuah acara adat. Ia mengundang semua keturunan Bagotnipohan, Tulang dan hulahula-nya, boru serta raja huta. Setelah Tuan Sihubil menetapkan Raja Bunga-Bunga menjadi anak hasudungan-nya yang sah, ia pun mengganti nama Raja Bunga-Bunga menjadi Raja Parmahan dengan harapan ia pembawa tuah bagi Tuan Sihubil. Benar saja, kehadiran Raja Bungabunga membawa berkat bagi Tuan Sihubil. Buktinya, Tuan Sihubil akhirnya dianugeri seorang anak yang diberi nama Sapalatua Tampuk Nabolon.
Setelah dewasa, Tuan Sihubil menikahkan Raja Parmahan dengan Antarmangatur Boru Pasaribu dari Haunatas Laguboti. Sebagai hadiah perkawinannya, Raja Parmahan mendapatkan sebidang tanah dari mertuanya. Tanah itulah yang kelak menjadi huta-nya Raja Parmahan dan keturunanannya. Huta itu dinamai Hinalang Silalahi (kini bernama Dolok Silalahi, Hinalang, Balige). Dari perkawinannya dengan Antarmangatur Boru Pasaribu, Raja Parmahan memiliki 4 anak dan 1 boru. Mereka adalah (1) Sinaloho; (2) Sinagiro; (3) Sinabang; (4) Sinabutar; dan 1 boru bernama (5) Tiurma Uli Istri (dinikahi oleh marga Panjaitan dan tinggal di Pintu Batu Sitorang). Kita akan lihat satu per satu profil ringkas anak dari Raja Parmahan dan Antarmangatur Boru Pasaribu.
Sinaloho—menikah dengan Pinta Harunguan br. Pasaribu dari Balige dan memiliki tiga anak, yakni Raja Harbangan (menetap di Barus); Guru Mangaloksa (sebagian menetap di Silindung dan sebagian lagi di Silalahi Nabolak); danPatar Uluan (menetap di Sihubakhubak, Uluan, Porsea.
3. Sinagiro—menikah dengan Pintaomas br. Siregar dan memiliki tiga anak, yakni:Sangga Raja (sebagian menetap tinggal di Silalahi Nabolak dan sebagian lagi migrasi ke Samosir dan Simalungun, namun tetap memakai marga Silalahi), Ompu Runggu (memiliki 4: Raja Hutasada, Tuan Sampur, Raja Parhoda dan Raja Pangindingan dan mereka tetap memakai marga Silalahi.); dan Naiborhu (bermukim di daerah Bonatua Lunasi. Keturunannya menggunakan marga Naiborhu.
Sinabang—menikah dengan Pinta Haomasan br. Pasaribu dan memiliki 3 anak, yakni Raja Mual—bermukim di bonapasogit Pagarbatu, Pangarisan.
Datu Naboratan—awalnya bermukim di bonapasogit Pagarbatu, namun selanjutnya melanglangbuana ke banyak daerah dalam rangka mengamalkan ilmu dan kepandaiannya, mulai dari Samosir hingga Tukka, Barus. Ia memiliki banyak keturunan yang tersebar di tiap daerah yang pernah dia kunjungi dan tinggal sejenak di sana. Datu Naboratan memiliki 11 istri dan 9 diantaranya melahirkan keturunan, yakni
Toga Panaluan (dari boru Nainggolan; bermukim di Sitatar/ Lumban Sidagal, Nainggolan);
Datu Balemun (dari boru Manurung; bermukim di Sibisa, Balige);
Datu Ari (dari boru Panjaitan; bermukim di Sitoran, Tobasa);
Toga Muara (dari boru Sianturi; bermukim di Muara, Tobasa);
Toga Sampinur (dari boru Simamora; bermukim di Humbang);
Toga Pahae (dari boru Hasibuan; bermukim di Silindung);
Toga Silindung (dari boru Hasibuan; bermukim di Silindung);
Toga Pansur Napitu (dari boru Hasibuan; bermukim di Silindung); dan
Toga Barus (dari boru Pasaribu; bermukim di Barus).
Raja Tumali—bermukim di Laguboti.
4. Sinabutar (lih. bagian berikutnya)
Sinabutar Raja Parmahan
Sebagaimana telah disinggung di atas, Sinabutar Raja Parmahan menikah dengan Pinta Omas Boru Manurung dari Sionggang. Ia memutuskan untuk tinggal di Harangan Parik, walaupun dalam kurun waktu tertentu Sinabutar penrnah tinggal di Sibisa bersama anaknya Nadapdap (Lih. Arsip P. Sinurat/1985). Konon kabarnya, Sinabutar bekerja sebagai pedagang keliling, dari pasar ke pasar.
Suatu waktu saat berdagang ke Onan Hampir, Porsea, ia bertemu dengan seorang anak yatim-piatu dari keturunan Tambun Saribu. Di kemudian hari Sinabutar mengangkat anak itu dan diberi nama Dolok Saribu (Siahaan 1962:31). Kehadiran Doloksaribu menambah anak dari Sinabutar dan Pinta Omas Boru Manurung menjadi tiga, karena sebelumnya ia sudah memiliki dua anak kandung yang lahir di Harangan Parik, Sionggang, yakni Sinurat dan Nadapdap.
Pertanyaannya, dimana posisi Dolok Saribu diantara Sinurat dan Nadapdap, dua anak kandung Sinabutar Raja Parmahan? Hal ini penting, mengingat beberapa tahun terakhir, status siahaan (anak sulung) sering dipersoalan keturunan Dolok Saribu dan keturunan Sinurat. Untuk mengetahui posisi anak sulung ungkapan berikut dapat dijadikan pegangan:
“Molo hajolmaon Dolok Saribu Siakkangan; alai molo di Habatahon dohot di uhum Sinurat ma siakkangan. Molo dijou pe haha jalo ma, molo dijou pe anggi jalo ma. Molo di Habatahon dohot di uhum, Sinurat ma si akkangan. Hata do siboraan (yang membuat kebenaran), hata do mamaben hasintongan, hata do mambaen hasalahan.”
Pernyataan ini adalah jalan tengah dalam menuntas-kan perdebatan status siahaan (anak sulung) antara Sinurat dan Doloksaribu. Permasalahan ini juga telah tersimpul indah dalam bahasa puitis umpama “Surathonma, di hau dapdap, na didolok adui” yang mengacu pada urutan anak-anak Sinabutar, yakni Sinurat, Nadapdap dan Doloksaribu.
Tulang Manurung dari pomparan Ompuni Unggul dari Sionggang bahkan menegaskan pernyataan di atas. Alasannya karena Si Dolok Maribur atau Doloksaribu adalah anak dari Tambun Saribu (Siahaan, 1964:35). Hanya saja di kemudian hari Doloksaribu diangkat menjadi anak oleh Sinabutar Raja Parmahan. Penegasan yang sama juga disampaikan oleh Kartius Sinurat, ketua penasehat Punguan Sinurat Dohot Boru se-Indonesia dan se-Jabodetabek (lih. youtube.com/watch?v=Cw-7f_DN0JI yang diupload pada tanggal 6 Agustus 2019) tentang Surat Keterangan Tulang Manurung dari Sionggang yang dibacakan pada saat peresmian Tugu Raja Parmahan Balige tanggal 12 Juli 2018.
Surat ini sebetulnya telah dibacakan sehari sebelum pesta Tugu Raja Parmahan tersebut:"Hami sian pomparan Ompuni Unggul Manurung sian huta sian Sionggang, simatuani Sinamutar mangalap boru, ima si Pintahaomasan Br. Manurung, patorangkon songon on ma tu bere nami, tubu ni Namboru nami: Sihahaan ma Sinurat, Paedua ma nadapdap, Mangihut ma Doloksaribu. On ma naung dihatindangkon hami di tingki pesta ni Raja Parmahan di Balige (Hinalang) tgl 12 Juli 2008. Nungga denggan be parhahamaranggion ni angka bere nami. - Utusan namangkatahon ima: Op. Diana Manurung. NB. Nunga pinabotohon tu Ketua Dr. Mangara Silalahi. Songon ima uratan ni anakni Sinamutar na di tugu i.”
Surat Keterangan ini juga telah ditembuskan kepada Ketua Umum Silahisabungan kala itu, Dr. Mangara Silalahi dan kini disimpan di rumah Dr. Edison Sinarta Sinurat di Lampung. Surat Keterangan ini yang disaksikan 26 orang marga Sinurat ini menegaskan bahwa marga Sinurat adalah identitas kita, pinompar ni Sinabutar Raja Parmahan Silalahi, “Hotang inna ragian, bahul-bahul tu passanongan. Siahaan gabe sianggian, ala hurang parbotoan.” Sinurat bukanlah marga yang diundi. Sinurat adalah anak Sinabutar, sebagaimana ditegaskan oleh Tulang Manurung pada Peresmian Pesta Tugu Raja Parmahan pada tanggal 12 Juli 2018 di Silalahi Dolok, Hinalang, Balige: “Naparjolo, sihahaan ma Sinurat,sipaedua ma sinadapdap, mangihut ma Doloksaribu.” Sinurat dan Nadapdap adalah buah cinta Sinabutar dan Pinta Omas Boru Manurung, dan bonapasogit Sinurat adalah Harangan Parik, dan dari sinilah keempat anak Sinurat lahir dan bertumbuh dewasa hingga merantau ke Lumban Pea (Raja Tano), Lumban Lobu (Raja Pagi), Samosir (ompu Gumbok Nabolon) dan Simalungun (Raja Muha).
Surat Keterangan di atas juga dikirim sebagai tembusan kepada anggidoli Sinurat, yakni pomparan Toga Nadapdap. Itu sebabnya, atas nama Toga Nadapdap, AM. Nadapdap membalas surat Tulang Manurung dari Ompuni Unggul tersebut.
“Mandapothon Napinasangapan
Tulang Manurung di Sionggang Nunga hujaha surat ni Tulang I.boi nian asa adong angka Tulang i mendukung suratmuna menghindari unang gabe surat pernyataan perorangan. Maulitae ma Tulang di haradean muna tu hami bere-mu. - Medan, 20 Juli 2008. Toga Nadapdap (A.M. Nadapdap (Op. Christian)”
Itu sebabnya 11 orang dari pomparan ni Ompuni Unggul Manurung kemudian mempertegas Surat Keterangan Op. Diana Manurung di atas dengan Surat Keterangan / Surat Penegasan yang ditandatangani oleh pada tanggal 16 Agustus 2019:
“Hami sian pomparan ni Manurung Op. Niunggul sian huta Sionggang, simatuani Sinamutar mangalap boru, ima si Pintahaomasan boru Manurung, patorangkon satikkosna SURAT HATORANGAN ni Ama namI OP. SI DIANA MANURUNG di pesta tugu Raja Parmahan Silalahi di Hinalang, Balige: 12 Juli 2008 manegashon: SINTONG DO HATORANGAN NI AMAN ANMI OP. SI DIANA MANURUNG ima:
Sihahaan ma SINURAT,
Paedua ma nadapdap,
Mangihut ma Doloksaribu.
Songon ima parhahamaranggion ni bere nami anakni hela nami Sinabutar namangalap namboru nami Pitta Omas Br Manurung.
Sionggang, 16 Agus. 2019
Hami napatorangkon:(1) Rophonsai Manurung; (2) Mangasa Manurung; (3) Arlen Manurung; (4) Manundal Manurung; (5) Ramses Manurung; (6) Marsakkap Manurung; (7) Kimron Manurung; (8) Erihon Manurung; (9) Marolop Manurung; (10) Wasdon Manurung ; (11) Lisbon Manurung.- Tandatangan dan Materai 6000.”
Semoga marga Sinurat gabe ma horas, jala sai marbungaran ma pinomparna." (sehat, sukses dan makmur). Saring-saring (tulang belulang) Raja Sinabutar digali dan diangkat dari makamnya di Sosor Pea, Sibisa, Lumban Nadapdap. Saring-saringnya itu kemudian ditempatkan di Tugu Raja Parmahan Silalahi di Balige pada saat Pesta Pomparan Raja Parmahan Silalahi tahun 2008.
Ketika Sang Putri tengah mengandung, terjadi prahara lain. Raja Mangarerak meminta Raja Silahi-sabungan segera meninggalkan negeri Sibisa. Dengan berat hati, Raja Silahisabungan sepakat, tetapi ia meminta diberi waktu hingga Boru Milingiling melahirkan. Setelah Similingiling mela-hirkan, Raja Silahisabungan langsung memboyong sang bayi ke Huta Lahi.
Di Huta Lahi sang anak kemudian diberi nama Tambun Raja. Setelah beranjak dewasa, Tambun Raja kemudian kembali menemui sang Ibu yang melahirkannya dan Tulang-nya di Sibisa. Tambun Raja kemudian menetap dan tinggal di Sigotom, Sibisa dan menikahi pariban-nya Pinta Omas Boru Manurung. Oleh keturunannya Tambun Raja kemudian dipanggil dengan sebutan Si Raja Tambun. Keturunannya kemudian memakai marga Tambun.
Tambun memiliki tiga anak, yaitu Tambun Mulia, Tambun Saribu dan Tambun Marbun. Pada generasi ini, baik keturunan Tambun Mulia, Tambun Saribu, Tambun Marbun, keturunan mereka memakai marga Tambun sampai hari ini. Tambun Mulia memiliki dua anak, yaitu Tambun Uluan and Tambun Holing. Disebut Tambun Uluan karena ia tinggal di Uluan. Keturunannya sampai hari ini tetap memakai Tambun. Tambun Holing kemudian membuka lahan pemukiman untuk didiami dan menamakannya Huta Tambunan. Di huta Tambunan inilah Tambun Holing memiliki 3 anak, yaitu Raja Pangaraji, Tuan Ujung Sunge dan Datu Tambunan Toba.
Kini tempat tinggal Tambunan terbagi dalam tiga Wilayah , yaitu desa Tambunan Lumban Pea, desa Tambunan Lumban Gaol dan Desa Tambunan Baruara. Ketiga desa inilah Desa Tambunan, di tepi Danau Toba. Masing-masing keturunan mereka tetap menggunakan marga Tambunan. Konon, salah satu keturunan Tambunan Raja Pagar Aji – bernama Mata Sopiak- kemudian merantau ke Angkola-Mandailing dan berganti marga menjadi Daulay di sana. Datu Tambunan Toba juga memiliki 3 orang anak, yaitu Raja Baruara , Lumban Pea and Lumban Gaol. Dari keturunan ketiga anak Datu Tambu-nan Toba inilah kemudian terlahir 3 anak yang hingga kini masih memakai marga Tambunan, yatu Tambunan Baruara, Tambunan Lumban-pea dan Tambunan Lumbangaol. Jadi sangat jelas diketahui bahwa marga Tambunan adalah merupakan marga turunan dari marga Tambun.
Dari Sibisa keturunan Tambun menyebar ke Huta Silombu, Huta Tambunan dan Sigotom Pangaribuan. Pada umumnya keturunan marga Tambun atau Tambun Raja memakai marga Tambun dan Tambunan.
Kedelapan anak Raja Silahisabungan disebut Ualu Raja Turpuk. Disebut Raja Turpuk karena masing-masing telah memiliki cabang marga-marga keturunannya. Raja Silahisabungan kemudian mengikat kedelapan anaknya dengan sebuah padan (sumpah) yang dikenal dengan sebutan Pada Sagu-sagu Marlangan (PSSM) sampai hari ini. PSSM diwariskan kepada semua keturunan Raja Silahi-sabungan hingga kini. Anak-anak Raja Silahisabungan dari Pinggan Matio boru Padang Batanghari memakai marga Silalahi; sedangkan satu-satunya anak Raja Silahisabungan dari Similingiling boru Mangareak tetap menggunakan marga Tambun dan Tambunan.
Dalam kehidupan sehari-hari, keturunan Silahisabungan, termasuk Sinurat, tidak mengenal istilah penomoran dalam silsilah marga mereka. Kendati demikian, kedudukan dan posisi generasi tidak hilang: siakangan/siabangan (abang) dan sianggian (adik) akan terlihat saat ulaon adat (posisi duduk dan penerimaan jambar), tepatnya dari yang paling tua hingga ke yang paling muda.
3. Sondi Raja (Rumasondi)
Sondi Raja atau Rumasondi merupakan anak ketiga Silahisabungan. Kelahiran terjadi ketika suatu hari Raja Silahi-sabungan sedang membuat tempat tidur dari kayu bulat (sondi) untuk calon bayi anak ketiganya itu. Tibalah waktunya bagi PingganMatio melahirkan putra ketiganya. Silahisabungan memberinya nama Sondi Raja.
Sondi Raja (Rumasondi) menikah dengan Nagok Boru Purba Siboro dan menetap di Huta Lahi atau Silalahi Nabolak. Ia memiliki 3 anak, yakni (1) Rumasondi (menikah dengan boru Siboro; tinggal di Huta Lahi) dan (2) Rumasingap (tinggal di Huta Lahi). Rumasondi memiliki 2 anak, yakni Ruma Bolon dan Raja Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan. Keturunan Raja Parmahan kelak memakai marga Silalahi dan bermukim di Hinalang, Balige Raja. Raja Parmahan memiliki 4 anak, yakni Sinaloho, Sinagiro, Sinabang dan Sinabutar. Umumnya keturunan Sondir Raja memakai marga Rumasondi, Silalahi (di Balige Raja), Rumasingap, dan marga kecil merka, seperti Sinurat, Nadapdap, Doloksaribu, Naiborhu, dst.
Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan
Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan (selanjutnya disingkat Raja Parmahan) memiliki 4 anak dan 1 putri. Keempat anaknya dinamai seturut nama leluhur mereka:
Sihaloho (menikah dengan boru Pasaribu);
Sinagiro (menikah dengan boru Siregar);
Sinabang (menikah dengan boru Manurung);
Sinabutar (menikah dengan boru Manurung);
dan 1 boru:
Tiurma Uli (dinikahi oleh marga Panjaitan dan tinggal di Pintu Batu Sitorang).
Pemberian nama ini mengingatkan kita pada nama-nama anak Raja Silahisabungan. Pemberian nama-nama ompung-nya kepada empat anaknya sengaja dilakukan oleh Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan. Hal itu dimaksud agar ia dan keturunannya tetap mengingat dan mengenang leluhurnya di bonapasogit Silalahi Nabolak. Dalam Tarombo Silahisabungan dikisahkan bahwa Sinabutar memiliki seorang “anak angkat” bernama Doloksaribu. Itu berarti ia memiliki 2 anak kandung (Sinurat dan Nadapdap) dan satu anak angkat (Doloksaribu).
Raja Parmahan di sini bukan berarti raja gembala (parmahan) atau penggembala. Kata “mahan” secara etimologis justru berasal dari kata dasar “mahan” (makanan). Jadi, Raja Parmahan berarti penjaga gudang makanan. Raja Parmahan bertanggung jawab atas persediaan makanan untuk warga Balige raja tak lama setelah letusan gunung Toba (wawancara dengan Dr. S.W.H. Sianipar, 7/1/21).
Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan (Laki Paraz (India) berarti lelaki petualang) adalah anak kedua dari Rumasondi atau cucu dari Sondiraja. Kepindahan Raja Bungabunga gelar Raja Parmahan dari Silalahi Nabolak ke Silalahi Dolok Balige Raja terjadi lewat penculikan dirinya oleh Tuan Sihubil. Kisahnya berawal dari perselisihan antara Bagotnipohan dan 3 adik kandungnya, yakni Silahisabungan, Si Paet Tua dan Oloan. Perselisihan itu di kemudian hari menjadi alasan Silahisabungan pergi dan meninggalkan Lumban Gorat Balige.
Untuk mengakhiri perselisihan antara keempat saudara kandung itu diadakanlah ritual perdamaian seturut adat Batak Toba. Ritual adat ini dinamai Horja Santi mangaliat Horbo Sitio-tio. Namun, untuk melakukan Horja Santi tersebut, keturunan Silahisabungan, keturunan Si Paet Tua dan keturunan Oloan harus didatangkan ke Hinalang Silalahi (kini bernama Dolok Silalahi, Hinalang, Balige Raja) untuk diulosi dan dipatortor. Untuk itu keturunan Bagotnipohan mengirim utusannya untuk menjumpai dan menjemput keturunan dari ketiga adiknya.
Utusan itu pun pergi ke Laguboti untuk menemui keturunan Paet Tua. Setibanya di Laguboti, keturunan Paet Tua menolak dengan dalih mereka harus meminta izin terlebih dahulu dari keturunan Silahisabungan. Selanjutnya mereka pergi ke Bakkara menemui keturunan Oloan. Ternyata keturunan Oloan juga menolak berdamai dengan dalih bahwa ia harus lebih dahulu meminta persetujuan dari abangnya Paettua. Akhirnya, utusan Bagotni Pohan pun pergi ke Silalahi Nabolak menemui keturunan Silahisabungan. Lagi-lagi permintaan Bagotnipohan ditolak. Keturunan Silahisabungan menolak untuk berdamai dengan keturunan Sibagotnipohan dan melarang keturunan Silahisabungan dibawa ke Balige Raja. Akibat penolakan dari ketiga adik-adiknya, Bagotnipohan sangat kecewa dan kuatir kalau ia tidak bisa membawa seorang pun dari keturunan Silahisabungan, Sipaettua dan Oloan untuk menerima ulos perdamaian yang ia tawarkan. Belum lagi, dibalik upaya perdamaian itu termaktub tujuan lain. Tujuan itu adalah untuk mengakhiri kemarau berkepanjangan yang melanda Balige Raja kala itu. Setelah utusannya gagal menemui Paettua di Laguboti, Oloan di Bakkara dan Silahisabungan di Silahi Nabolak, Bagotnipohan tak menyerah.
Ia kemudian mengirimkan utusannya untuk membawa keturunan Silahisabungan. Bagotnipohan keukeuh ingin mendatangkan salah satu keturunan Silahisabungan ke Balige Raja, karena ia percaya kalau kemarau itu hanya bisa dihentikan oleh kesaktian dan kebijaksanaan dari keturunan Silaisabungan. Bagotnipohan sadar betapa sulitnya mendatangkan keturunan Silahisabungan ke Balige Raja pasca penolakan dari ketiga adik-adiknya. Akhirnya utusan Bagotnipohan pun membawa paksa atau menculik 3 orang keturunan Silahisabungan yang sedang mengembalakan kerbau di kaki bukit, yang oleh keturunan Silahisabungan dinamai Dolok Simartaja.
Ketiga keturunan Silahisabungan yang dicukuik itu adalah keturunan Haloho yang bernama Hatoguan; keturunan Sondi yang bernama Raja Bungabunga; dan keturunan Pintu Batu yang bernama Silossing. Dari tiga keturunan Silahisabungan yang diculik Bagotnipohan, hanya Raja Bungabunga yang berhasil dibawa ke Balige Raja. Dua anak lain, Hatoguan dan Silossing berhasil melarikan diri. Awalnya ketiga anak yang diculik itu berupaya untuk kabur dengan menggunakan solu (sampan) saat berada di Tano Pinonggol, Pangururan. Utusan Bagotnipohan berupaya mengejar dan menangkap mereka. Sayangnya hanya anak yang badannya kecil yang berhasil ditangkap dan dibawa ke Balige Raja. Dialah Raja Bunga-Bunga yang di kemudian hari digelari Raja Parmahan.
Tuan Sihubil, anak tertua dari Bagotnipohan, adalah orang paling bahagia dalam keberhasilan utusan ayahnya menghadirkan salah seorang anak Silahisabungan untuk di paraja. Begitu Raja Bungabunga tiba, ia langsung diulosi dalam ritual adat Mangaliat ‘ Horbo Sitio-tio”. Bagi Tuan Sihubil, anak kecil berumur ssekitar 10 tahun dengan nama Raja Bunga-Bunga itu memiliki kharisma dari ompung-nya Raja Silahisabungan.
Untuk itu Tuan Sihubil berencana utuk menjadikan Raja Bunga-Bunga menjadi anak hasudungan. Tuan Sihubil pun mengungkapkan isi hatinya kepada adek-adeknya, yakni Tuan Somanimbil, Tuan Dibangarna dan Sonak Malela. Ketiga adiknya pun setuju, mengingat Tuan Sihubil tidak mempunyai keturunan. Demikianlah Tuan Sihubil akhirnya mengangkat dan menetapkan dan menganggap Raja Bunga-Bunga sebagai anak hasudungan-nya. Dan untuk mensahkan Raja Bunga-Bunga menjadi anak hasudungan, Tuan Sihubil menyelenggarakan sebuah acara adat. Ia mengundang semua keturunan Bagotnipohan, Tulang dan hulahula-nya, boru serta raja huta. Setelah Tuan Sihubil menetapkan Raja Bunga-Bunga menjadi anak hasudungan-nya yang sah, ia pun mengganti nama Raja Bunga-Bunga menjadi Raja Parmahan dengan harapan ia pembawa tuah bagi Tuan Sihubil. Benar saja, kehadiran Raja Bungabunga membawa berkat bagi Tuan Sihubil. Buktinya, Tuan Sihubil akhirnya dianugeri seorang anak yang diberi nama Sapalatua Tampuk Nabolon.
Setelah dewasa, Tuan Sihubil menikahkan Raja Parmahan dengan Antarmangatur Boru Pasaribu dari Haunatas Laguboti. Sebagai hadiah perkawinannya, Raja Parmahan mendapatkan sebidang tanah dari mertuanya. Tanah itulah yang kelak menjadi huta-nya Raja Parmahan dan keturunanannya. Huta itu dinamai Hinalang Silalahi (kini bernama Dolok Silalahi, Hinalang, Balige). Dari perkawinannya dengan Antarmangatur Boru Pasaribu, Raja Parmahan memiliki 4 anak dan 1 boru. Mereka adalah (1) Sinaloho; (2) Sinagiro; (3) Sinabang; (4) Sinabutar; dan 1 boru bernama (5) Tiurma Uli Istri (dinikahi oleh marga Panjaitan dan tinggal di Pintu Batu Sitorang). Kita akan lihat satu per satu profil ringkas anak dari Raja Parmahan dan Antarmangatur Boru Pasaribu.
Sinaloho—menikah dengan Pinta Harunguan br. Pasaribu dari Balige dan memiliki tiga anak, yakni Raja Harbangan (menetap di Barus); Guru Mangaloksa (sebagian menetap di Silindung dan sebagian lagi di Silalahi Nabolak); danPatar Uluan (menetap di Sihubakhubak, Uluan, Porsea.
3. Sinagiro—menikah dengan Pintaomas br. Siregar dan memiliki tiga anak, yakni:Sangga Raja (sebagian menetap tinggal di Silalahi Nabolak dan sebagian lagi migrasi ke Samosir dan Simalungun, namun tetap memakai marga Silalahi), Ompu Runggu (memiliki 4: Raja Hutasada, Tuan Sampur, Raja Parhoda dan Raja Pangindingan dan mereka tetap memakai marga Silalahi.); dan Naiborhu (bermukim di daerah Bonatua Lunasi. Keturunannya menggunakan marga Naiborhu.
Sinabang—menikah dengan Pinta Haomasan br. Pasaribu dan memiliki 3 anak, yakni Raja Mual—bermukim di bonapasogit Pagarbatu, Pangarisan.
Datu Naboratan—awalnya bermukim di bonapasogit Pagarbatu, namun selanjutnya melanglangbuana ke banyak daerah dalam rangka mengamalkan ilmu dan kepandaiannya, mulai dari Samosir hingga Tukka, Barus. Ia memiliki banyak keturunan yang tersebar di tiap daerah yang pernah dia kunjungi dan tinggal sejenak di sana. Datu Naboratan memiliki 11 istri dan 9 diantaranya melahirkan keturunan, yakni
Toga Panaluan (dari boru Nainggolan; bermukim di Sitatar/ Lumban Sidagal, Nainggolan);
Datu Balemun (dari boru Manurung; bermukim di Sibisa, Balige);
Datu Ari (dari boru Panjaitan; bermukim di Sitoran, Tobasa);
Toga Muara (dari boru Sianturi; bermukim di Muara, Tobasa);
Toga Sampinur (dari boru Simamora; bermukim di Humbang);
Toga Pahae (dari boru Hasibuan; bermukim di Silindung);
Toga Silindung (dari boru Hasibuan; bermukim di Silindung);
Toga Pansur Napitu (dari boru Hasibuan; bermukim di Silindung); dan
Toga Barus (dari boru Pasaribu; bermukim di Barus).
Raja Tumali—bermukim di Laguboti.
4. Sinabutar (lih. bagian berikutnya)
Sinabutar Raja Parmahan
Sebagaimana telah disinggung di atas, Sinabutar Raja Parmahan menikah dengan Pinta Omas Boru Manurung dari Sionggang. Ia memutuskan untuk tinggal di Harangan Parik, walaupun dalam kurun waktu tertentu Sinabutar penrnah tinggal di Sibisa bersama anaknya Nadapdap (Lih. Arsip P. Sinurat/1985). Konon kabarnya, Sinabutar bekerja sebagai pedagang keliling, dari pasar ke pasar.
Suatu waktu saat berdagang ke Onan Hampir, Porsea, ia bertemu dengan seorang anak yatim-piatu dari keturunan Tambun Saribu. Di kemudian hari Sinabutar mengangkat anak itu dan diberi nama Dolok Saribu (Siahaan 1962:31). Kehadiran Doloksaribu menambah anak dari Sinabutar dan Pinta Omas Boru Manurung menjadi tiga, karena sebelumnya ia sudah memiliki dua anak kandung yang lahir di Harangan Parik, Sionggang, yakni Sinurat dan Nadapdap.
Pertanyaannya, dimana posisi Dolok Saribu diantara Sinurat dan Nadapdap, dua anak kandung Sinabutar Raja Parmahan? Hal ini penting, mengingat beberapa tahun terakhir, status siahaan (anak sulung) sering dipersoalan keturunan Dolok Saribu dan keturunan Sinurat. Untuk mengetahui posisi anak sulung ungkapan berikut dapat dijadikan pegangan:
“Molo hajolmaon Dolok Saribu Siakkangan; alai molo di Habatahon dohot di uhum Sinurat ma siakkangan. Molo dijou pe haha jalo ma, molo dijou pe anggi jalo ma. Molo di Habatahon dohot di uhum, Sinurat ma si akkangan. Hata do siboraan (yang membuat kebenaran), hata do mamaben hasintongan, hata do mambaen hasalahan.”
Pernyataan ini adalah jalan tengah dalam menuntas-kan perdebatan status siahaan (anak sulung) antara Sinurat dan Doloksaribu. Permasalahan ini juga telah tersimpul indah dalam bahasa puitis umpama “Surathonma, di hau dapdap, na didolok adui” yang mengacu pada urutan anak-anak Sinabutar, yakni Sinurat, Nadapdap dan Doloksaribu.
Tulang Manurung dari pomparan Ompuni Unggul dari Sionggang bahkan menegaskan pernyataan di atas. Alasannya karena Si Dolok Maribur atau Doloksaribu adalah anak dari Tambun Saribu (Siahaan, 1964:35). Hanya saja di kemudian hari Doloksaribu diangkat menjadi anak oleh Sinabutar Raja Parmahan. Penegasan yang sama juga disampaikan oleh Kartius Sinurat, ketua penasehat Punguan Sinurat Dohot Boru se-Indonesia dan se-Jabodetabek (lih. youtube.com/watch?v=Cw-7f_DN0JI yang diupload pada tanggal 6 Agustus 2019) tentang Surat Keterangan Tulang Manurung dari Sionggang yang dibacakan pada saat peresmian Tugu Raja Parmahan Balige tanggal 12 Juli 2018.
Surat ini sebetulnya telah dibacakan sehari sebelum pesta Tugu Raja Parmahan tersebut:"Hami sian pomparan Ompuni Unggul Manurung sian huta sian Sionggang, simatuani Sinamutar mangalap boru, ima si Pintahaomasan Br. Manurung, patorangkon songon on ma tu bere nami, tubu ni Namboru nami: Sihahaan ma Sinurat, Paedua ma nadapdap, Mangihut ma Doloksaribu. On ma naung dihatindangkon hami di tingki pesta ni Raja Parmahan di Balige (Hinalang) tgl 12 Juli 2008. Nungga denggan be parhahamaranggion ni angka bere nami. - Utusan namangkatahon ima: Op. Diana Manurung. NB. Nunga pinabotohon tu Ketua Dr. Mangara Silalahi. Songon ima uratan ni anakni Sinamutar na di tugu i.”
Surat Keterangan ini juga telah ditembuskan kepada Ketua Umum Silahisabungan kala itu, Dr. Mangara Silalahi dan kini disimpan di rumah Dr. Edison Sinarta Sinurat di Lampung. Surat Keterangan ini yang disaksikan 26 orang marga Sinurat ini menegaskan bahwa marga Sinurat adalah identitas kita, pinompar ni Sinabutar Raja Parmahan Silalahi, “Hotang inna ragian, bahul-bahul tu passanongan. Siahaan gabe sianggian, ala hurang parbotoan.” Sinurat bukanlah marga yang diundi. Sinurat adalah anak Sinabutar, sebagaimana ditegaskan oleh Tulang Manurung pada Peresmian Pesta Tugu Raja Parmahan pada tanggal 12 Juli 2018 di Silalahi Dolok, Hinalang, Balige: “Naparjolo, sihahaan ma Sinurat,sipaedua ma sinadapdap, mangihut ma Doloksaribu.” Sinurat dan Nadapdap adalah buah cinta Sinabutar dan Pinta Omas Boru Manurung, dan bonapasogit Sinurat adalah Harangan Parik, dan dari sinilah keempat anak Sinurat lahir dan bertumbuh dewasa hingga merantau ke Lumban Pea (Raja Tano), Lumban Lobu (Raja Pagi), Samosir (ompu Gumbok Nabolon) dan Simalungun (Raja Muha).
Surat Keterangan di atas juga dikirim sebagai tembusan kepada anggidoli Sinurat, yakni pomparan Toga Nadapdap. Itu sebabnya, atas nama Toga Nadapdap, AM. Nadapdap membalas surat Tulang Manurung dari Ompuni Unggul tersebut.
“Mandapothon Napinasangapan
Tulang Manurung di Sionggang Nunga hujaha surat ni Tulang I.boi nian asa adong angka Tulang i mendukung suratmuna menghindari unang gabe surat pernyataan perorangan. Maulitae ma Tulang di haradean muna tu hami bere-mu. - Medan, 20 Juli 2008. Toga Nadapdap (A.M. Nadapdap (Op. Christian)”
Itu sebabnya 11 orang dari pomparan ni Ompuni Unggul Manurung kemudian mempertegas Surat Keterangan Op. Diana Manurung di atas dengan Surat Keterangan / Surat Penegasan yang ditandatangani oleh pada tanggal 16 Agustus 2019:
“Hami sian pomparan ni Manurung Op. Niunggul sian huta Sionggang, simatuani Sinamutar mangalap boru, ima si Pintahaomasan boru Manurung, patorangkon satikkosna SURAT HATORANGAN ni Ama namI OP. SI DIANA MANURUNG di pesta tugu Raja Parmahan Silalahi di Hinalang, Balige: 12 Juli 2008 manegashon: SINTONG DO HATORANGAN NI AMAN ANMI OP. SI DIANA MANURUNG ima:
Sihahaan ma SINURAT,
Paedua ma nadapdap,
Mangihut ma Doloksaribu.
Songon ima parhahamaranggion ni bere nami anakni hela nami Sinabutar namangalap namboru nami Pitta Omas Br Manurung.
Sionggang, 16 Agus. 2019
Hami napatorangkon:(1) Rophonsai Manurung; (2) Mangasa Manurung; (3) Arlen Manurung; (4) Manundal Manurung; (5) Ramses Manurung; (6) Marsakkap Manurung; (7) Kimron Manurung; (8) Erihon Manurung; (9) Marolop Manurung; (10) Wasdon Manurung ; (11) Lisbon Manurung.- Tandatangan dan Materai 6000.”
Semoga marga Sinurat gabe ma horas, jala sai marbungaran ma pinomparna." (sehat, sukses dan makmur). Saring-saring (tulang belulang) Raja Sinabutar digali dan diangkat dari makamnya di Sosor Pea, Sibisa, Lumban Nadapdap. Saring-saringnya itu kemudian ditempatkan di Tugu Raja Parmahan Silalahi di Balige pada saat Pesta Pomparan Raja Parmahan Silalahi tahun 2008.
Posting Komentar