Orang Bandung suka bilang "Tong gagabah sia" (Jangan gegabah kau) kepada orang yang bicara sembarangan, mengambil kesimpulan terlalu cepat, atau mengambil langkah terburu-buru.
Nasihat "Anda jangan gegebah!" ini juga cocok kita alamatkan kepada pata pejabat publik di negeri ini. Bagaimana tidak, berhadapan dengan seorang Rizieq aja negara harus membuat beberapa keputusan dan kebijakan gegabah alias terburu-buru.
Boleh-boleh saja Jokowers macam Denny Siregar, Armando, Abujanda atau Jokowers lain berupaya menafsir kalau Presiden Jokowi sedang memainkan politik cerdik, nyatanya Rizieq Sihab justru semakin garang. Rizieq bahkan mengancam akan memenggal kepala penghina ulama dan rasul, tepatnya penghina dirinya.
Apa yang kita takutkan setelah Rizieq pulang sungguh terjadi. Pemerintah panik, hingga gegabah membuat keputusan. Ibarat memerangi rajanya tikus di dalam lumbung padi, polisi tak berani membunuh si raja tikus. Sebaliknya, polisi justru mengganti pangeran kucing yang bertugas mengutus pengawal dan penjaga keselamatan raja tikus.
Tikusnya itu seorang pengacau ketenteraman masyarakat dengan cara menjadikan agama sebagai pedang untuk menakuti masyarakat. Si kucing adalah pihak keamanan yang mestinya menindak si raja tikus agar tikis-tikis lain tidak gila seperti dia.
Tapi, boro-boro menangkap. Si pengacau justru semakin bebas, liar tak terkendali. Tentu. Dia punya donatur, juga punya kacung di pemerintahan, entah sebagai gubernur, anggota DPR, polisi, TNI, bahkan di PT Angsapura sekalipun.
Si pengacau bahkan punya tim hore, yang bertugas memuji apapun yang diucapkan si pengacau. Ada PKS, PAN dan Gerindra yang mengami penggunaan kata "lonte" dalam tausiyah Maulid Nabi. Oh iya, ada juga salesnya. Namanya Fadli Zon yang tugasnya memproklamirkan "Rizieq lebih besar dari Soekarno-Hatta."
Tentu saja Zonk benar, bila yang jadi tolok ukurnya adalah perusakan bandara Soekarno Hatta Cengkareng saat HR pulang. Sebab Soekarno tak pernah merusak, bahkan tak pernah mampir ke rumah Rizieq.
Nah, percaya atau tidak, semua permainan ini hanyalah persoalan dendam, karena "pemasukan" mereka terganggu. Fakta ini menjelaskan mengapa ada semacam "idolatri" alias pemujaan dari pejabat publik tertentu kepada mantan penjual obat itu.
Bisa jadi Jokowi bingung: siapa bawahannya yang pro Indonesia dan siapa pro Rizieq. Buktinya pemerintah pusat ikutan panik. Ucapan Menkopolhukam, Mhafud MD yang awalnya meremehkan Rizieq pun justru kehilangan gaungnya.
Ajakan Kapolri, juga ketua gugus Covid-19 agar tegas dan tebang pilih dalam melaksanakan prokes malah baru terdengar setelah Polri mengganti dua kapolda, dan ketua Gugus Tugas kehilangan 60jt dalam bentuk 20jt masker gratis untuk raja tikus.
Jokowi terjepit. Rizieq berulangkali menuduhnya sebagai presiden bodoh, bahkan didoakan agar umurnya pendek. Syukurlah Tuhan tak memganggap Rizieq.
Ngeri.
Sadis.
Sangat keji.
Saat gugus tugas diminta tegas dan menindak Rizieq dan FPInya, eh si Rizieqnya malah menuntut agara pendaftaran Gibran sebagai cawalkot Solo juga ditindak, karena saat itu (kata Rizieq) banyak juga orang hadir. Lantas bagaimana Kemedgri menanggapi hal ini?
Mendagri langsung mengeluarkan surat kepada para (calon) kepala daerah. Isinya, (calon) kepala daerah yang melanggar prokes akan dipecat.
Lalu, bagaimana dengan surat penangkapan Rizieq? Gak ada blassss! Hukuman untuk Rizieq seberat apa, kita juga tak pernah sungguh tahu. Jelas, hari ini dia dikabarkan jubirnya sedang kelelahan (menghina orang).
Publik memgatakan kalau Rizieq merugikan orang banyak. Benar, tapi "Hal itu terjadi berkat kesalaham Kapolda DKI dan Kapolda Jabar. Bukan salah Rizieq. Jadi, kita ganti saja Kapoldanya," kata kapolri.
Melalui kasus ini, standar keberhasilan seorang kapolda sudah bergeser, yakni mampu menjinakkan Rizieq. Selama Rizieq tidak jinak, maka bersiaplah untuk dimutasi.
Inilah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menangani seorang Rizieq yang oleh media australia disebut pelaku pronografi itu. Ada kesan mendalam bahwa apa pun yang dilakukan pemerintah dalam meredam congornya Rizieq dan FPInya, itu hanya sekedar meredam amarah mayoritas rakyat Indonesia. Tak lebih daripada itu.
Makanya tong gagabah atuh, kang!
Posting Komentar