Penghujung tahun ini adalah masa bakti terakhir seorang teman. Sebut saja namanya Jonaha. Jonaha akan pensiun tahun ini, tepat setelah usianya menginjak angka 60 tahun pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang.
Selama kurang lebih 35 tahun ia mengabdi sebagai pegawai negeri sipil. Ya, dia beruntung saat berumur 25 tahun dia sudah diterima sebagai PNS.
Selama 35 tahun itu pula hidupnya sudah terpola bak mesin. Hidupnya sangat teratur, dan siklus kegiatannya jelas. Sebagai pegawai yang sangat disiplin, saban hari Jonaha selalu datang lebih awal dari pegawai lainnya.
Paling tidak, fingerprint menjadi bukti mengenai kedisiplinannya. Sembari menunggu jam kantor pada pukul 07.00, ia selalu membaca koran langganannya terlebih dahulu.
Tak hanya itu, saat libur hari Sabtu dan Minggu pun Jonaha sering lupa kalau ia sedang libur. Ia selalu bangun pukul 05.00 wib, sarapan pukul 06.00 wib dan berangkat kerja pukul 06.20 wib.
Itu sebabnya, menjelang masa pensiunnya, Jonaha justru merasa takut menjalani hidupnya. Tak dapat ia bayangkan bagaimana hari-harinya tanpa pergi ke kantor dan melakukan pekerjaannya.
Seperti Jonaha, kebanyakan orang tak siap menjalani masa pensiun. Ada saja yang mengalami post power Syndrom karena kehilangan kekuasaannya, bahkan mengalami stroke karena tubuhnya tiba-tiba kaku.
Masa post power syndrom di masa pensiun atau purnabakti mestinya hanya dialami oleh mereka yang bekerja. Nyatanya ada saja presiden, gubernur, bupati, walikota, dan sejenianya melihat akhir kekuasaannya sebagai masa pensiun yang menakutkan.
Itu sebabnya seorang pejabat publik selalu ngotot mempertahankan kekuasaannya. Mereka yang sudah menjabat lima tahun, masih ingin lima tahun lagi. Bahkan, andai UU mengizinkan jabatan seumur hidup, seorang pemimpin politik di atas akan ngotot mempertahankannya.
Lebih ganjil lagi, setelah 10 tahun menjabat dan UU mengharuskannya berhenti, si penguasa akan mencari segala cara supaya ia tetap punya akses pada kekuasaan.
Lihatlah apa yang terjadi pada #PilkadaSerentak2020 ini. Begitu banyak kepala daerah yang masih ngotot memperpanjang kekuasaannya 4 atau 5 tahun lagi. Bahkan saat masa 10 tahun sudah berkuasa, ada juga kepala daerah yang mencalonkan saudara atau kroninya.
Presiden, wapres, menhan, menpan, gubernur, bupati, dan pejabat tinggi lain bahkan telah mencalonkan sanak familinya sebagai kepala daerah. Artinya, kalau mereka sudah pensiun sebaga menteri, minimal mereka masih punya akses langaung pada kekuasaan.
Fakta-fakta ini seakan menegaskan bahwa bukan hanya pekerja yang takut pensiun. Sebaliknya justru para pejabat politik jauh lebuh takut kemmbali sebagai warga biasa.
Partai-partai bahkan sudah memberi contoh. Dari Fungsionaris hingga kader boleh saja berteriak tentang demokrasi.Tapi saat munas, PDIP pasti memilih Megawati sebagai ketua umum (ketum), Nasdem akan memilih Surya Paloh jadi ketum, Gerindra akan memilih Parabowo sebagai ketum, Demokrat akan memilih SBY atau keluarganya sebahai ketum, dst.
Syukurlah, Golkar sudah bisa keluar dari cengkeraman keluarga Cendana, dan memaksa Tommy Soeharto dan Tutut mendirikan partai Berkarya. Tampaknya, bukan hanya perwira TNI, Polri, PNS/ASN, pegawai swasta dst yang lebih takut menjalani masa pensiun.
Butkinya, banyak ejabat politik yang menjabat secara periodik jauh lebih takut kehilangan jabatan mereka. Padahal masih tersisa kesempatan lain bagi mereka untuk melayani. Itupun kalau para pejabat publik itu menyadari dan tahu ber-terimakasih kepada masyarakat yang telah memberinya waktu 5 tahun menjadi pelayan mereka.
Tapi, sudahlah, demokrasi melegalkan model begituan kok. Yang penting, andai menang, mereka tidak mengulang kesalahan yang sama seperti pada periode sebelumnya. Atau, minimal tidak lebih buruk deh.
Posting Komentar