Misa Paskah yang dipimpin Paus Fransiskus di Lapangan St. Petrus Vatikan, 1 April 2020. (Foto: VATICAN MEDIA HANDOUT / REUTERS) |
Pandemi Covid-19 telah Mengunci Dunia
Pandemi ini telah menghentikan seluruh aktivitas normal kita, terutama bila aktivitas itu berdekatan dengan orang lain.
Kita harus menghentikan kehidupan normal kita sampai para ilmuwan menemukan vaksin COVID-19. Kalau tidak, ada risiko bahwa ratusan ribu atau bahkan jutaan orang akan mati.
Saat saya menulis (29/4), penyakit ini telah membunuh 218.371 orang di dunia; 59.266 kematian itu terjadi Amerika Serikat.
Lockdown, Mengunci Dunia
Amerika Serikat dan Inggris belum melakukan lockdown. Demikian juga dengan Indonesia yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerahnya.
Banyak warga Amerika, setelah beberapa minggu dikurung di rumah, merasa gatal untuk hidup normal kembali seperti sebelum virus sialan ini tiba-tiba menghentikan mereka. Ini pengakuan Donald Trump, Presiden Amerika.
Bicara Perang
Kini, para pemimpin dunia seolah-olah sedang mengobarkan perang melawan musuh yang tak terlihat. Bagaimana tidak, tak satu pun negara di dunia ini yang mampu menghentikan virus mematikan ini.
Satu-satunya situasi yang tepat untuk metafora perang ini adalah ketika populasi manusia yang tidak bersenjata terus-menerus dibom, dan satu-satunya respons mereka hanyalah dengan menghindar dan berlindung.
Lockdown, Mengunci Dunia
Di Italia, di mana dari 27.359 orang telah meninggal karena virus corona, telah diterapkan lockdown. Jalanan sepi dari mobil yang biasanya penuh sesak. Hampir tak ada orang yang terlihat di luar, dan hampir semua toko dan bisnis ditutup. Begitu juga dengan Prancis dan Spanyol telah melakukan hal yang sama.
Amerika Serikat dan Inggris belum melakukan lockdown. Demikian juga dengan Indonesia yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerahnya.
Banyak warga Amerika, setelah beberapa minggu dikurung di rumah, merasa gatal untuk hidup normal kembali seperti sebelum virus sialan ini tiba-tiba menghentikan mereka. Ini pengakuan Donald Trump, Presiden Amerika.
Bicara Perang
Kini, para pemimpin dunia seolah-olah sedang mengobarkan perang melawan musuh yang tak terlihat. Bagaimana tidak, tak satu pun negara di dunia ini yang mampu menghentikan virus mematikan ini.
Satu-satunya situasi yang tepat untuk metafora perang ini adalah ketika populasi manusia yang tidak bersenjata terus-menerus dibom, dan satu-satunya respons mereka hanyalah dengan menghindar dan berlindung.
Jelas, kita tak bisa melawannya. Buktinya, saat ini, tak satu pun dari kita yang dapat menjalani kehidupan normal sehari-hari. Jika Anda mencoba melawannya, maka semakin banyak orang akan mati di sekitar Anda.
Memang beberapa pemimpin dunia dan politisi lokal mencoba melawannya. Walikota Las Vegas, misalnya, ingin membuka kembali semua kasino dan tempat hiburan dewasanya.
Bepergian ke Negara yang Menolak Kedatangan Kita
Jutaan orang harus membatalkan perjalanan ke negara-negara sebagaimana telah mereka jadwalkan di musim semi dan musim panas ini. Saat ini, hampir tidak ada maskapai yang melakukan reservasi.
Beberapa orang berharap untuk menjadwalkan ulang perjalanan mereka di bulan Oktober atau November, dengan catatan pandemi berakhir. Mereka tetap bertekad untuk melanjutkan hidup seperti biasa.
Inilah yang disebut sebagai penolakan. Kita tidak bisa melanjutkan hidup sekarang, seperti sebelum pandemi; dan bisa saja untuk waktu yang lebih lama. Andai saja perjalan itu kelak terwudud, pasti situasinya akan berbeda.
Pendeknya, pandemi Covid-19 telah memaksa kita semua untuk berhenti.
Mereka malah mencoba melakukan segala pekerjaan yang mereka tidak bisa hentikan. Mereka justru menggandakan aktivisme klerikal.
Satu-satunya hal yang lebih mengejutkan tentang perilaku imamnya ini adalah reaksi banyak umat Katolik yang justru tidak terkejut menyaksikan tingkah imam mereka.
Mayoritas umat justru merespons tindakan para imam mereka dengan cara yang sama, yakni menjaga semua hal berjalan seperti sebelumnya, kendati dalam realitas maya dari cyber-church.
Padahal, jauh sebelum pandemi datang, para imam itu selalu memperingatkan umatnya tentang bahaya gaya hidup konsumeris. Dari mimbarnya, para imam itu meyakinkan umatnya betapa “menjadi” jauh lebih penting daripada “melakukan” atau “memiliki”.
Tetapi cara banyak imam kita menanggapi pandemi Covid-19 ini sungguh mengejutkan. Mereka justru menampilkan dirinya tak lebih dari seorang psikolog pop yang mengubah kebenaran penting menjadi slogan-slogan yang terdengar konyol:
Kotbah "Kamu adalah dirimu, bukan apa yang kamu lakukan" justru dilanggar oleh para uskup dan para imam kita.
Lockdown atau PSBB semestinya menjadi momen penting bagi mereka untuk berdiri dengan tenang, dan dengan tegas mengingatkan umatnya bahwa tinggal di rumah adalah kesempatan atau panggilan untuk berhenti “melakukan” (sesuatu).
Saat yang Tepati mempraktikkan Isi Kotbah
Artinya saat inilah kesempatan penting bagi mereka untuk mempraktekkan apa yang telah mereka khotbahkan. Sayangnya, banyak uskup dan imam kita justru berusaha mencari cara untuk “tidak berhenti”.
Mereka terus melakukan "misa online" dan memanfaatkan kesempatan itu untuk berkhotbah, mengajar, memberi tahu orang-orang bagaimana menjalankan kehidupan spiritual mereka, bahkan ketika hal itu hanya bisa mereka lakukan lewat TV atau monitor komputer atau smartphone.
Seharusnya, masa pandemi ini adalah kesempatan bagi para pemimpin rohani kita untuk membantu umatnya menerima kenyataan tidak “melakukan” (pekerjaan mereka) saat ini.
Umat berharap bahwa para imam telah memberikan formasi spiritual untuk membantu mereka menemukan cara mengontrol diri saat tidak "melakukan" (pekerjaan mereka).
Beberapa hal menuntut kehadiran nyata, terutama perayaan Ekaristi. Sungguh aneh ketika banyak imam Katolik dan umat yang telah melupakan hal ini.
Orang Kristen Masa Depan Akan Menjadi Mistikus
Karl Rahner SJ, salah satu teolog paling penting setelah Konsili Vatikan II (1962-1965), memiliki pengertian yang jelas tentang “apa artinya menjadi seorang percaya di zaman pasca-pengakuan dosa.”
"Orang Kristen di masa mendatang akan menjadi mistikus, atau tidak akan ada samasekali," kata Jesuit Jerman itu.
Atas pernyataan Rahner ini, banyak teolog lain berdebat tentang apakah Rahner benar atau sesat, dan apa sebetulnya yang dimaksud Rahner.
Maksud Rahner dengan pernyataan itu adalah bahwa orang-orang Kristen di dunia (yang sebagian besar sudah tidak di-Kristen-kan) harus menemukan persatuan mereka dengan Tuhan, bukan di tempat-tempat dan hal-hal yang oleh agama primitif dipandang “suci”, tetapi dalam hal yang dibenci "dunia".
Tampaknya, apa yang akan Rahner ini sangat penting disaat pandemi Covid-19 ini. Rahner mengatakan bahwa Allah yang menjelma harus "dialami" dalam kenyataan hidup di sekitar kita.
Alih-alih duniawi, realitas ciptaan itu dapat diresapi dengan transendensi, tepatnya karena Inkarnasi Allah dalam pribadi Yesus Kristus.
Tentu saja banyak umat Katolik, termasuk para imam yang tidak setuju dengan Rahner. Bagi golongan ini, "pemujaan kuil" adalah hal yang paling penting dan tugas-tugas keagamaan hanya hanya dapat dilakukan dalam batas-batas ruang sakral dan dengan hal-hal suci.
Tentu saja bukan itu yang dimaksud Rahner, dan memang kita tak tahu apa yang sesungguhnya dipikirkan Rahner mengenai cara umat Katolik menghadapi penutupan gereja saat ini.
Teolog yang meninggal pada tahun 1984 ini bisa jadi tidak akan menyetujui penutupa gereja. Namun, bagi mereka yang berpikiran lebih progresif, akan menyimpulkan bahwa Rahner akan menentang penyiaran Misa secar online.
Alasannya sudah diugnkapkan Rahner pada tahun 1950-an, "Keinginan untuk menjadi modern mungkin segera berubah menjadi sangat tidak modern,"
Apalagi saat ini, perangkat TV hanyalah furnitur biasa bagi orang kebanyakan. Toh selama ini mereka telah terbiasa menonton apapun yang telah dimangsa kamera.
Maka misa online itu mungkin akan menjadi hal yang luar biasa menarik bagi orang-orang yang menganggap masih ada hal-hal yang tidak bisa dilihat orang (di televisi) sambil duduk di kursi malas dan mengunyah burger.
Inspirasi: Robert Mickens | Twitter @robinrome
Satu-satunya hal yang lebih mengejutkan tentang perilaku imamnya ini adalah reaksi banyak umat Katolik yang justru tidak terkejut menyaksikan tingkah imam mereka.
Mayoritas umat justru merespons tindakan para imam mereka dengan cara yang sama, yakni menjaga semua hal berjalan seperti sebelumnya, kendati dalam realitas maya dari cyber-church.
Padahal, jauh sebelum pandemi datang, para imam itu selalu memperingatkan umatnya tentang bahaya gaya hidup konsumeris. Dari mimbarnya, para imam itu meyakinkan umatnya betapa “menjadi” jauh lebih penting daripada “melakukan” atau “memiliki”.
Tetapi cara banyak imam kita menanggapi pandemi Covid-19 ini sungguh mengejutkan. Mereka justru menampilkan dirinya tak lebih dari seorang psikolog pop yang mengubah kebenaran penting menjadi slogan-slogan yang terdengar konyol:
Kotbah "Kamu adalah dirimu, bukan apa yang kamu lakukan" justru dilanggar oleh para uskup dan para imam kita.
Lockdown atau PSBB semestinya menjadi momen penting bagi mereka untuk berdiri dengan tenang, dan dengan tegas mengingatkan umatnya bahwa tinggal di rumah adalah kesempatan atau panggilan untuk berhenti “melakukan” (sesuatu).
Saat yang Tepati mempraktikkan Isi Kotbah
Artinya saat inilah kesempatan penting bagi mereka untuk mempraktekkan apa yang telah mereka khotbahkan. Sayangnya, banyak uskup dan imam kita justru berusaha mencari cara untuk “tidak berhenti”.
Mereka terus melakukan "misa online" dan memanfaatkan kesempatan itu untuk berkhotbah, mengajar, memberi tahu orang-orang bagaimana menjalankan kehidupan spiritual mereka, bahkan ketika hal itu hanya bisa mereka lakukan lewat TV atau monitor komputer atau smartphone.
Seharusnya, masa pandemi ini adalah kesempatan bagi para pemimpin rohani kita untuk membantu umatnya menerima kenyataan tidak “melakukan” (pekerjaan mereka) saat ini.
Umat berharap bahwa para imam telah memberikan formasi spiritual untuk membantu mereka menemukan cara mengontrol diri saat tidak "melakukan" (pekerjaan mereka).
Mari kita perjelas: Kita tidak dapat benar-benar ‘berpartisipasi” dalam misa virtual seperti halnya kita dapat berbagi jabat tangan, pelukan, atau ciuman virtual.
Beberapa hal menuntut kehadiran nyata, terutama perayaan Ekaristi. Sungguh aneh ketika banyak imam Katolik dan umat yang telah melupakan hal ini.
Karl Rahner SJ, salah satu teolog paling penting setelah Konsili Vatikan II (1962-1965), memiliki pengertian yang jelas tentang “apa artinya menjadi seorang percaya di zaman pasca-pengakuan dosa.”
"Orang Kristen di masa mendatang akan menjadi mistikus, atau tidak akan ada samasekali," kata Jesuit Jerman itu.
Atas pernyataan Rahner ini, banyak teolog lain berdebat tentang apakah Rahner benar atau sesat, dan apa sebetulnya yang dimaksud Rahner.
Maksud Rahner dengan pernyataan itu adalah bahwa orang-orang Kristen di dunia (yang sebagian besar sudah tidak di-Kristen-kan) harus menemukan persatuan mereka dengan Tuhan, bukan di tempat-tempat dan hal-hal yang oleh agama primitif dipandang “suci”, tetapi dalam hal yang dibenci "dunia".
Tampaknya, apa yang akan Rahner ini sangat penting disaat pandemi Covid-19 ini. Rahner mengatakan bahwa Allah yang menjelma harus "dialami" dalam kenyataan hidup di sekitar kita.
Alih-alih duniawi, realitas ciptaan itu dapat diresapi dengan transendensi, tepatnya karena Inkarnasi Allah dalam pribadi Yesus Kristus.
Tentu saja banyak umat Katolik, termasuk para imam yang tidak setuju dengan Rahner. Bagi golongan ini, "pemujaan kuil" adalah hal yang paling penting dan tugas-tugas keagamaan hanya hanya dapat dilakukan dalam batas-batas ruang sakral dan dengan hal-hal suci.
Tentu saja bukan itu yang dimaksud Rahner, dan memang kita tak tahu apa yang sesungguhnya dipikirkan Rahner mengenai cara umat Katolik menghadapi penutupan gereja saat ini.
Teolog yang meninggal pada tahun 1984 ini bisa jadi tidak akan menyetujui penutupa gereja. Namun, bagi mereka yang berpikiran lebih progresif, akan menyimpulkan bahwa Rahner akan menentang penyiaran Misa secar online.
Alasannya sudah diugnkapkan Rahner pada tahun 1950-an, "Keinginan untuk menjadi modern mungkin segera berubah menjadi sangat tidak modern,"
Apalagi saat ini, perangkat TV hanyalah furnitur biasa bagi orang kebanyakan. Toh selama ini mereka telah terbiasa menonton apapun yang telah dimangsa kamera.
Maka misa online itu mungkin akan menjadi hal yang luar biasa menarik bagi orang-orang yang menganggap masih ada hal-hal yang tidak bisa dilihat orang (di televisi) sambil duduk di kursi malas dan mengunyah burger.
Inspirasi: Robert Mickens | Twitter @robinrome
Posting Komentar