iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Seminari Jantung Misi Gereja di Tanah Batak


Dalam homilinya pada Pesta Yubileum 75 tahun Katolik di Tanah Batak yang berlangsung di Lapangan Sisingamangaraja XII Balige Kabupaten Toba Samosir, Minggu, 13 Desember 2009, Dubes Vatikan saat itu, Mgr Leopoldo Girelli menegaskan,
“Masuknya Gereja Katolik ke daerah Tapanuli (Tanah Batak) merupakan momentum yang perlu disyukuri. Kiranya perjuangan para misionaris terdahulu yang datang dan membawa Katolik ke Tanah Batak dan juga membawa kabar kegembiraan untuk tetap diteruskan dan dipertahankan dalam hidup. Kita harus memiliki semangat misioner, di mana semangat ini tidak sempit tetapi secara integral mencakup ke dalam.“
Salah satu unsur terpenting dalam merawat semangat misioner itu adalah dengan mendirikan Seminari, tempat pembinaan hidup rohani para calon imam yang akan meneruskan misi yang telah ditanam oleh para misionaris sebelumnya. Kenyataannya kurangnya teanga imam menjadi problem klasik Gereja, termasuk di daerah misi, Tanah Batak.

Kekwatiran ini bahkan telah diungkapkan oleh Paus Pius XII pada tahun 1950 melalui Anjuran Apostolik Menti Nostrae yang ia terbitkan pada tanggal 23 September 1950:
“…jumlah imam, baik di daerah-daerah Katolik maupun di daerah-daerah misi, kebanyakan tidak mencukupi untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang bertubi-tubi.” Satu dekade berikutnya, Paus Yohanes XXIII dalam amanatnya kepada Kongres Internasional I tentang Panggilan Hidup Religius, 16 Desember 1961 menyebut kondisi ini sebagai “keprihatinan sehari-hari Paus; yang menjadi jeritan doanya, sekaligus aspirasi jiwanya yang membara”.
Melalui kurikulum yang khas dan cocok, para seminaris ini disiapkan untuk mengikuti Kristus Penebus dengan semangat rela berkorban dan hati yang jernih. Pendidikan di Seminari berada dibawah bimbingan para pemimpin yang penuh kebapaan, dibantu oleh para orang tua mereka.

Seminari Jantung Misi Gereja di Tanah Batak
Misionaris Kapusin pertama di Vikariat Apostolik Padang

Di Seminari, para seminaris menjalani hidup yang cocok dengan usia, mentalitas dan perkembangan kaum muda, serta sesuai dengan prinsip-prinsip psikologi yang sehat. Studi yang harus ditempuh oleh Seminaris diatur sedemikian rupa, sehingga mereka tanpa dirugikan dapat melanjutkannya di lain tempat, sekiranya kemudian memilih status hidup yang lain. (bkk. Dekrit Optatam Totius (OT) art. 3a)

OT artikel 2 menegaskan, “Pengembangan panggilan termasuk kewajiban seluruh jemaat kristen, yang harus menumbuhkannya terutama dengan perihidup kristen yang sepenuhnya. Dalam hal itu sangat besarlah sumbangan keluarga-keluarga, yang dijiwai semangat iman dan cinta kasih serta ditandai sikap bakti, menjadi bagaikan seminari pertama; begitu pula paroki-paroki, yang memungkinkan kaum remaja ikut mengalami kehidupan jemaat yang subur.

Para guru, dan semua saja yang dengan suatu cara lain ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak dan kaum muda, terutama himpunan-himpunan katolik, hendaknya:
  • para guru berusaha mendidik kaum remaja yang diserahkan kepada mereka sedemikian rupa, sehingga dapat menerima panggilan ilahi serta mengikutinya dengan sukarela.
  • semua imam sedapat mungkin menunjukkan semangat kerasulan mereka dalam menumbuhkan panggilan. Hendaknya mereka menarik minat kaum remaja terhadap imamat, dengan cara hidup mereka yang memancarkan kerendahan hati, ketekunan bekerja, kegembiraan hati, dan sikap saling mengasihi serta kerja sama persaudaraan antara mereka sendiri. Termasuk tugas para Uskup mendorong kawanan mereka untuk memajukan panggilan, dan mengusahakan perpaduan erta segala tenaga maupun daya-upaya.
  • para imam menjadi bapa sejati, tanpa menghemat pengorbanan, membantu para calon, yang menurut penilaian mereka dipanggil oleh Tuhan untuk ikut melaksanakan perutusan-Nya. Kerja sama aktif segenap Umat Allah untuk mengembangkan panggilan itu menanggapi karya penyelenggaraan ilahi, yang kepada mereka yang oleh Allah dipilih untuk ikut mengemban imamat hirarkis Kristus, menganugerahkan bakatbakat yang menunjang, serta dengan rahmat-Nya menolong mereka.

    Penyelenggaraan Allah itu jugalah, yang mempercayakan kepada para pelayan Gereja yang sah, supaya sesudah mengetahui kecakapan para calon, memanggil mereka yang sudah teruji, dan dengan maksud yang tulus serta kebebasan sepenuhnya memohon diperkenankan mengemban tugas seluhur itu, kemudian mentakdirkan mereka dengan meterai Roh Kudus bagi ibadat kepada Allah serta pengabdian kepada Gereja. “
Mgr. Mathias Leonardus Trudon Brans, OFM Cap 


Menjadi imam dan biarawan adalah pilihan sekaligus panggilan hidup kita sebagai orang Katolik. Khusus di Seminari hidup panggilan itu disemai dan dirawat hingga diharapkan bertumbuh dan berbuah. 

Di titik ini menjadi imam bukanlah prestasi. Sah-sah saja menyebutnya sebagai sebuah prestasi. Tetapi menjadi imam, biarawan dan biarawati itu adalah cara hidup khusus yang dikehendaki pertama-tama oleh Allah. Artinya, seorang imam bisa melakukan hal-hal yang mengagumkan bukanlah prestasi si imam, melainkan semata-mata karena kuasa dari Allah. “Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Aku yang memilih kamu ..” (Yoh 15, 16).

Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS) Pematang Siantar adalah salah satu buah karya Misi Katolik sejak era St. Fransiskus Xaverius di Kepulauan Maluku, lahirnya Prefektur Apostolik Batavia di Jakarta, Prefektur Apostolik Sumatera di Padang, hingga terbentuknya Vikariat Apostolik Medan.

Mgr. Dr. Ferrerius van den Hurk, OFM Cap



Mgr. Mathias Leonardus Trudon Brans, OFM Cap adalah Misionaris pertama di Sumatera yang mulai memikirkan kebutuhan akan tenaga imam di wilayah pelayanannya. Sebagaimana telah disinggung pada Bab 1, pada tanggal  23 Desember 1941 Mgr. Brans memindahkan Vikariat Apostolik Padang ke Medan, dan berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Medan.

Pada tahun 1954, setelah 33 tahun mendedikasikan diri untuk gereja di Sumatera, Mgr. Brans, kembali ke Belanda. Dalam pidato perpisahannya ia  berpesan kepada penerusnya, Mgr. Dr. Ferrerius van den Hurk, OFM Cap,Kita harus saling peduli, tidak hanya peduli terhadap kaum biarawan dari kolonial Eropa.” 

Itu sebabnya Mgr. Brans dipandang sebagai penemu Gereja di Sumatera dan peletak dasar misi di tanah Batak dan ia berhasil. Bukti keberhasilannya itu bahkan telah dinikmati penerusnya, Mgr. Dr. Ferrerius van den Hurk, OFM Cap (1955-1976).


Dibawah kepemimpinan Mgr. Van den Hurk, Gereja di Vikariat Apostolik Medan lebih matang. Berkat kerjasamanya dengan para imam, frater, suster dari berbagai kongregasi dan kaum awam yang terlibat dalam karya Pastoral di wilayahnya. 

Ibarat “Paulus yang menuai apa yang ditanam Apolos”, Kabar gembira yang telah diwartakan oleh Mgr. Brans dan para misionaris terdahulu kini telah dipanen oleh Mgr. van den Hurk OFM Cap.


Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.