Saya termasuk orang yang mengidap penyakit insomnia (tak bisa tidur, sulit tidur) pada kadar rendah. Namun ada orang yang mengidap insomnia stadium tinggi.
Insomnia akan mengalami penderitaan yang luar biasa. Tak hanya menghancurkan fisik secara perlahan, namun juga kelelahan luar-dalam, fisik dan mental. Bagaimana tidak, mata kita terbuka lebar, padahal badan sudah kelelahan. Pikiran terus bekerja, padahal raga sudah terbaring lemah.
Ada banyak pelarian yang dilakukan orang ketika tak bisa tidur. Dan semua pelarian itu tidak membantu sama sekali, bahkan sebagian menjerumuskan pada perbuatan yang sesat, seperti narkoba dan seks bebas. Pelarian itu mereka anggap sebagai cara melupakan penderitaan mereka.
Duni kiwari telah melahrikan manusia yang bekerja sampai 'gila-gilaan'. Bila menyukai sesuatu, seseorang akan menyukainya secara berlebihan, hingga kecanduan.
Duni kiwari telah melahrikan manusia yang bekerja sampai 'gila-gilaan'. Bila menyukai sesuatu, seseorang akan menyukainya secara berlebihan, hingga kecanduan.
Kita pun punya kecanduan kita masing-masing, sesuatu yang membuat kita lupa diri, lupa keluarga, lupa teman dan hal-hal yang dulu sangat berarti bagi kita.
Pada saat kita 'gila-gilaan' tenggelam dalam satu kesibukan, kita cenderung tidak mengasihani diri sendiri, tidak merawat diri, tidak memedulikan keluhan-keluhan yang sebetulnya sudah sering didesahkan oleh hati kita.
Segala sesuatu menjadi 'harus', tidak luwes lagi. Pada saat itulah kita mulai 'tidak rela' untuk beristirahat, seakan-akan setiap saat harus diisi dengan suatu target. Apa benar kita tidak bisa berhenti sejenak?
Mungkin ada yang mempertanyakan prinsip Yesus ketika mendengar Injil hari ini. Banyak orang yakin sekali bahwa Yesus datang untuk membawa keselamatan.
Maka, ketika "seluruh penduduk kota" berkerumun di depan pintu rumah mertua Simon untuk minta disembuhkan, kita berpikir, "Sudah seharusnya begitu!
Yesus memang datang untuk menyelamatkan semua orang." Nanti dulu. Mengapa kita berpikir bahwa itu sudah 'seharusnya'? Mengapa kita mengira bahwa Tuhan wajib mengabulkan doa-doa permohonan kita? Mengapa Tuhan mesti menghapus penderitaan kita?
Jawaban Yesus akan mengejutkan. "Marilah kita pergi ke tempat lain." Eh, lalu, bagaimana dengan mereka yang jelas-jelas menderita ini, Tuhan?
Bukankah yang kelihatan, yang di depan mata ini, harusnya ditangani terlebih dahulu? Tapi jawaban Yesus tetap sama, bahkan Ia menambahkan, "Aku harus memberitakan Injil." Nah, kita semakin tidak mengerti.
Apakah orang yang menderita dianggap tidak penting oleh Yesus? Apakah memberitakan Injil itu lebih penting dibanding menyelamatkan nyawa dan menyembuhkan seseorang?
Dalam semua situasi ini yang diuji adalah iman kita. Yang dipertanyakan kembali ialah kepercayaan kita pada penyelenggaraan ilahi, pada kebijaksanaan Allah, terutama dalam setiap penderitaan yang kita alami atau yang menimpa orang-orang yang kita cintai.
Dalam hal memperjuangkan kesembuhan mereka yang kita kasihi, kita biasanya 'gila-gilaan'. Seakan-akan segala cara boleh ditempuh asalkan mereka sembuh! Bukankah biasanya kita tiba-tiba jadi 'suci' dan banyak sekali berdoa demi mereka ini? Kita minta doa dengan mendesak semua orang, dan persis itu menunjukkan betapa tidak percayanya kita ini!
Doa dan usaha rohani kita pun bisa melelahkan, bahkan akhirnya membuat kita tidak bisa melihat dengan jelas lagi apa rencana Tuhan sebenarnya. Kita bisa capek berdoa, capek berharap, dan kehilangan rasa damai di dalam hati yang sebetulnya menjadi kekuatan iman kita.
Kalau kita 'tidak tenang' dalam doa dan juga ketika mendampingi orang-orang terkasih yang menderita, bagaimana kita mau membawa damai? Kalau kita tidak 'luwes' lagi dalam hal percaya pada rencana Tuhan, bagaimana mau memanggul salib kita dan mengikuti Dia?
Ketika ditimpa kesusahan dan penyakit yang tak tertahankan itu, Ayub tidak mampu melihat apapun yang baik di sekitarnya. Ia harus 'bergumul' dengan hari-hari yang tanpa harapan.
Baginya, bulan-bulan yang dilalui ini sia-sia, dan hari-hari dipenuhi keputusasaan. Ia bahkan tidak bisa berharap lagi, karena malam jadi panjang, dan ia dicekam gelisah hingga dinihari. Pada saat seperti itu, ia mempertanyakan Tuhan. Seharusnya Tuhan menyelamatkan dia.
Seharusnya Tuhan menyembuhkan penyakitnya dan memulihkan keadaannya. Hanya sejengkal jarak antara doa yang penuh harapan dan pertanyaan yang menyudutkan Tuhan. 'Haruskah' Tuhan bertindak saat kita putus asa?
Tidak. Tak pernah ada keharusan apapun bagi Tuhan. Tuhan bekerja pada waktu-Nya. Kalau hati kita tergerak oleh rasa kasihan pada mereka yang menderita dan kesakitan, jangan sampai kita mendesak Tuhan, apalagi mempertanyakan belas kasihan-Nya!
Seseorang menemukan patung Yesus yang tersalib namun sudah hilang kedua tangannya. Ia tidak memperbaiki patung itu, tapi membuat sebuah tulisan di bawahnya yang berbunyi: "Kamulah tangan-Ku..." Benar. Kita masih bisa melakukan banyak hal untuk menghibur dan menguatkan orang-orang yang sudah lama menderita. Jangan hanya memprotes Tuhan.
Apakah kita kelelahan hingga tak bisa tidur? Apakah kita tersesat dalam bayangan yang membuat lupa diri, lupa teman, dan lupa keluarga? Mungkin kita kurang 'luwes' dengan kehendak Tuhan atas hidup kita dan hidup orang lain.
Mungkin kita perlu "pergi ke tempat lain", belajar melepaskan tuntutan kita, dan mengikuti ke mana Tuhan menggerakkan hati dan langkah kita. Tuhan sudah mendahului. Amin.
Pada saat kita 'gila-gilaan' tenggelam dalam satu kesibukan, kita cenderung tidak mengasihani diri sendiri, tidak merawat diri, tidak memedulikan keluhan-keluhan yang sebetulnya sudah sering didesahkan oleh hati kita.
Segala sesuatu menjadi 'harus', tidak luwes lagi. Pada saat itulah kita mulai 'tidak rela' untuk beristirahat, seakan-akan setiap saat harus diisi dengan suatu target. Apa benar kita tidak bisa berhenti sejenak?
Mungkin ada yang mempertanyakan prinsip Yesus ketika mendengar Injil hari ini. Banyak orang yakin sekali bahwa Yesus datang untuk membawa keselamatan.
Maka, ketika "seluruh penduduk kota" berkerumun di depan pintu rumah mertua Simon untuk minta disembuhkan, kita berpikir, "Sudah seharusnya begitu!
Yesus memang datang untuk menyelamatkan semua orang." Nanti dulu. Mengapa kita berpikir bahwa itu sudah 'seharusnya'? Mengapa kita mengira bahwa Tuhan wajib mengabulkan doa-doa permohonan kita? Mengapa Tuhan mesti menghapus penderitaan kita?
Jawaban Yesus akan mengejutkan. "Marilah kita pergi ke tempat lain." Eh, lalu, bagaimana dengan mereka yang jelas-jelas menderita ini, Tuhan?
Bukankah yang kelihatan, yang di depan mata ini, harusnya ditangani terlebih dahulu? Tapi jawaban Yesus tetap sama, bahkan Ia menambahkan, "Aku harus memberitakan Injil." Nah, kita semakin tidak mengerti.
Apakah orang yang menderita dianggap tidak penting oleh Yesus? Apakah memberitakan Injil itu lebih penting dibanding menyelamatkan nyawa dan menyembuhkan seseorang?
Dalam semua situasi ini yang diuji adalah iman kita. Yang dipertanyakan kembali ialah kepercayaan kita pada penyelenggaraan ilahi, pada kebijaksanaan Allah, terutama dalam setiap penderitaan yang kita alami atau yang menimpa orang-orang yang kita cintai.
Dalam hal memperjuangkan kesembuhan mereka yang kita kasihi, kita biasanya 'gila-gilaan'. Seakan-akan segala cara boleh ditempuh asalkan mereka sembuh! Bukankah biasanya kita tiba-tiba jadi 'suci' dan banyak sekali berdoa demi mereka ini? Kita minta doa dengan mendesak semua orang, dan persis itu menunjukkan betapa tidak percayanya kita ini!
Doa dan usaha rohani kita pun bisa melelahkan, bahkan akhirnya membuat kita tidak bisa melihat dengan jelas lagi apa rencana Tuhan sebenarnya. Kita bisa capek berdoa, capek berharap, dan kehilangan rasa damai di dalam hati yang sebetulnya menjadi kekuatan iman kita.
Kalau kita 'tidak tenang' dalam doa dan juga ketika mendampingi orang-orang terkasih yang menderita, bagaimana kita mau membawa damai? Kalau kita tidak 'luwes' lagi dalam hal percaya pada rencana Tuhan, bagaimana mau memanggul salib kita dan mengikuti Dia?
Ketika ditimpa kesusahan dan penyakit yang tak tertahankan itu, Ayub tidak mampu melihat apapun yang baik di sekitarnya. Ia harus 'bergumul' dengan hari-hari yang tanpa harapan.
Baginya, bulan-bulan yang dilalui ini sia-sia, dan hari-hari dipenuhi keputusasaan. Ia bahkan tidak bisa berharap lagi, karena malam jadi panjang, dan ia dicekam gelisah hingga dinihari. Pada saat seperti itu, ia mempertanyakan Tuhan. Seharusnya Tuhan menyelamatkan dia.
Seharusnya Tuhan menyembuhkan penyakitnya dan memulihkan keadaannya. Hanya sejengkal jarak antara doa yang penuh harapan dan pertanyaan yang menyudutkan Tuhan. 'Haruskah' Tuhan bertindak saat kita putus asa?
Tidak. Tak pernah ada keharusan apapun bagi Tuhan. Tuhan bekerja pada waktu-Nya. Kalau hati kita tergerak oleh rasa kasihan pada mereka yang menderita dan kesakitan, jangan sampai kita mendesak Tuhan, apalagi mempertanyakan belas kasihan-Nya!
Seseorang menemukan patung Yesus yang tersalib namun sudah hilang kedua tangannya. Ia tidak memperbaiki patung itu, tapi membuat sebuah tulisan di bawahnya yang berbunyi: "Kamulah tangan-Ku..." Benar. Kita masih bisa melakukan banyak hal untuk menghibur dan menguatkan orang-orang yang sudah lama menderita. Jangan hanya memprotes Tuhan.
Apakah kita kelelahan hingga tak bisa tidur? Apakah kita tersesat dalam bayangan yang membuat lupa diri, lupa teman, dan lupa keluarga? Mungkin kita kurang 'luwes' dengan kehendak Tuhan atas hidup kita dan hidup orang lain.
Mungkin kita perlu "pergi ke tempat lain", belajar melepaskan tuntutan kita, dan mengikuti ke mana Tuhan menggerakkan hati dan langkah kita. Tuhan sudah mendahului. Amin.
*Bacaan: Ayb 7:1-4.6-7; 1Kor 9:16-19.22-23; Mrk 1:29-39
Posting Komentar