Memberikan uang bisa dengan perlahan dan sopan, bisa juga dengan melemparkan. Menjawab pertanyaan orang bisa dengan lembut, bisa juga dengan berteriak.
Menegur seorang anak bisa dengan senyum, bisa juga dengan mata melotot. Mengingatkan seorang sahabat bisa dengan menepuk sayang bahunya, bisa juga dengan mengacungkan telunjuk.
Luput dari kecelakaan bisa membuat kita bersyukur, bisa juga membuat kita memaki-maki orang. Penolakan bisa membuat kita lebih dewasa, bisa juga membuat kita mengancam orang lain.
Kalau ada mobil dari arah berlawanan menyorotkan lampu jauh yang menyilaukan, apa reaksi kita? Kita bisa 'membalas' dengan lampu yang lebih terang, atau sedikit mengalihkan pandangan kita agar tidak silau.
Kita selalu punya dua pilihan, tapi entah mengapa yang lebih baik tidak kita ambil. Allah seperti apakah yang ada di dalam hati kita? Setiap reaksi kita terhadap orang lain atau peristiwa tertentu dalam hidup kita, menunjukkan imaji Allah yang riil kita alami sendiri.
Ada gambaran Allah yang pemarah, yang cemburu, yang sinis dan suka menghukum, yang main kuasa dan bahkan kejam. Tapi ada juga gambaran Allah yang pengampun, murah hati, lemah lembut dan mudah lupa kesalahan orang, yang rendah hati dan sangat penyayang.
Ternyata di antara kerumunan banyak orang yang mendengarkan Yohanes Pembaptis itu, ada Yesus. Ia berdiri di sana, tidak dikenali. Ia mendengarkan Yohanes dengan seksama. Yesus seperti sedang 'belajar' dari Yohanes, sepupunya itu.
Dan Yohanes tahu, Yesus ada di sana. Tapi ia menghormati 'ketersembunyian' Yesus itu, yakni cara Yesus hadir dan masuk di tengah banyak orang. Bahkan ia seakan-akan masih bisa 'melawak' dengan berkata,
"Di tengah-tengah kamu, berdiri Dia yang tidak kamu kenal." Tentu saja imam-imam dan orang Lewi tidak percaya bahwa Mesias sudah datang dan ada di antara mereka. Akan tetapi, perhatikan pertanyaan terakhir mereka yang dijawab Yohanes.
Pertanyaan ini bukan soal 'siapa' sebenarnya Yohanes, tapi 'mengapa' ia membaptis kalau ia sendiri bukan Mesias. Pertanyaan ini adalah petunjuk mengenai 'cara' Yohanes bersaksi, dan karenanya juga, 'cara' kita bersaksi.
Jangan lupa, Yohanes bersaksi di depan banyak orang, dan ia tahu bahwa Yesus ada di tengah-tengah mereka. Yesus menunjukkan sesuatu yang kurang dalam diri Yohanes.
Apa yang kurang dalam kesaksian Yohanes? Kelemahlembutan. Kesahajaan. Kasih. Yohanes Pembaptis mempertobatkan banyak orang dengan keras, kalau perlu dengan kata-kata pedas. Ia menuntut pertobatan dengan cara memaklumkan murka Allah yang akan datang.
Tapi ia tidak mengajarkan soal pengampunan dan belas kasihan. Yesus tahu, justru inilah yang dirindukan banyak orang. Dunia ini harus diselamatkan dengan kasih; bukan dengan api yang menghanguskan, tapi yang hangat melegakan; terang, namun tidak menyilaukan.
Kalau begitu mari kita perhatikan kembali, seperti apa kesaksian kita tentang Yesus di depan orang lain? Adakah pengalaman pribadi kita dengan-Nya yang sungguh-sungguh menyentuh hati, membuat kita lebih sabar, lemah lembut, mudah menyayangi, mudah mengampuni orang lain?
Kesaksian yang kasar dan semata-mata menuntut sama sekali tidak akan mempertobatkan orang. Kita tidak akan berhasil mengubah seseorang dengan cara memaksa dan membuatnya tidak punya pilihan lain lagi. Kita tidak bisa membawanya kepada Yesus kalau hanya menghujankan berbagai tuntutan dan kewajiban.
Dengarkanlah bahasa Yesaya itu, bahwa Roh Tuhan membuat kita mampu "menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, merawat orang-orang yang remuk hati, memberitakan pembebasan kepada tawanan, dan kelepasan kepada orang-orang yang terkurung di penjara."
Mereka yang sengsara, remuk hati, dan tertawan, hanya rindu untuk disapa, dirawat dengan baik, dan diselamatkan. Mereka tidak butuh disakiti lagi! Mereka hanya ingin diobati dari luka-luka hidup mereka, yang sebagian besar sudah telanjur terjadi.
Begitulah kesaksian kita selama ini harus dikoreksi. Mungkin ada yang sudah jadi kebiasaan, namun adalah kebiasaan yang buruk. Betapa gampangnya kita membenarkan diri, menyebutnya 'manusiawi', padahal jelas-jelas itu melukai hati orang lain, bahkan mereka yang seharusnya paling kita lindungi, paling kita sayangi.
Bayangkan kejadian-kejadian ini: menampar, menunjuk-nunjuk muka, meneriaki dengan kata-kata kotor, memukuli, menendangi, menyiksa, mengurung, mengikat, mendiamkan, membiarkan kelaparan. Jangan kita pura-pura tidak tahu. Itu semua masih terjadi dalam rumah tangga kita!
Kalau kita mau bersaksi, sebaiknya kita sadar bahwa Yesus ada di sekitar kita dan melihat semua yang kita lakukan. Dia sudah selalu menunjukkan cara-Nya yang lemah lembut dan penuh kasih. Dia adalah Terang yang menghangatkan. Kehadiran-Nya tidak membuat keributan, tetapi membawa rasa nyaman, rasa tenang dan aman. Dia adalah Sang Terang yang tidak menyilaukan.
Semoga kesaksian kita sehari-hari pun jangan sampai menyakitkan dan memberatkan hidup orang lain. Mari belajar lemah lembut dan penuh kasih. Amin.
Bacaan: Yes 61:1-2a.10-11; 1Tes 5:16-24; Yoh 1:6-8.19-28
Posting Komentar