Seorang anak bangun terlambat, dan akibatnya tidak berangkat ke sekolah. Alih-alih menyesali kelalaiannya, ia malah marah-marah kepada ibunya karena tidak membangunkannya. Ibunya berkata, "Ibu sudah membangunkanmu, tapi kamu tadi kesal dan tak mau bangun..."
Rupa-rupanya kebiasaan yang persis sama kita bawa sampai dewasa. Kita pun suka kesal kalau terlambat bangun atau terlambat menyadari keadaan di sekitar kita.
Biasanya kita mulai menyalahkan orang lain, mengapa mereka tidak memberitahu kita sebelumnya, mengapa 'orang lain' membiarkan kita tertidur dan terlena. Lama-lama kita jadi 'bebal' terhadap kelalaian kita sendiri, karena sudah terbiasa menunjuk-nunjuk orang lain sebagai yang seharusnya berbuat sesuatu.
Semua yang 'telanjur' pasti tidak menyenangkan, membuat kita cepat merasa bersalah, dan bisa membuat kita terus-terusan lari dari tanggung jawab. Tapi dari mana asalnya ketelanjuran? Hanya dari 'ketidaksiapan'. Kalau kita siap, takkan pernah kita telanjur.
Semua yang 'telanjur' pasti tidak menyenangkan, membuat kita cepat merasa bersalah, dan bisa membuat kita terus-terusan lari dari tanggung jawab. Tapi dari mana asalnya ketelanjuran? Hanya dari 'ketidaksiapan'. Kalau kita siap, takkan pernah kita telanjur.
Tapi yang paling tidak masuk akal ialah, sudah telanjur, gara-gara diri sendiri tidak siap, orang masih juga mau menyalahkan orang lain di sekitarnya. Mungkinkah kita ini haus perhatian dan kasih sayang? Sehingga orang lain 'harus' memperhatikan kita, 'harus'mengurusi kita?
Kalau saya tak punya pekerjaan, itu karena 'kalian' tidak peduli pada saya, tidak kasihan pada saya! Kalau saya gagal berkali-kali, itu karena 'kalian' senang melihat saya susah, jadi, kalian 'sengaja' tidak membantu saya! Nah, kok dunia jadi terbalik-balik begini. Kita pasti kehabisan 'minyak'.
Benarkah Yesus tidak adil terhadap para gadis yang tidak bijaksana itu? Benarkah Yesus tidak peduli dan tidak kasihan terhadap mereka yang kehabisan minyak, menutup pintu terhadap siapapun yang terlambat?
Benarkah Yesus tidak adil terhadap para gadis yang tidak bijaksana itu? Benarkah Yesus tidak peduli dan tidak kasihan terhadap mereka yang kehabisan minyak, menutup pintu terhadap siapapun yang terlambat?
Perhatikanlah, sebentar lagi pikiran kita akan menganggap bahwa terlambat itu 'manusiawi', bahwa tidak siap itu kesalahan yang harusnya 'bisa diampuni'. Tapi ini adalah pikiran yang hanya seakan-akan baik. Dan yang seakan-akan baik ini membuat kita tidak mengerti, tidak sadar juga, karena perumpamaan Yesus itu.
Perumpamaan yang kita dengar hari ini, adalah salah satu dari imaji-imaji paling mengesankan tentang Kerajaan Surga. Sungguh luar biasa bahwa gambaran yang begitu dalam ini dikisahkan oleh Yesus. Perumpamaan yang dahsyat!
Dahsyat, karena ia berbicara tentang tanggung jawab tiap individu di hadapan Allah. Di manakah letak persoalan tanggung jawab pribadi itu? Di dalam jawaban para gadis bijaksana itu ketika dimintai minyak oleh mereka yang pelitanya hampir padam: "Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu."
Perumpamaan yang kita dengar hari ini, adalah salah satu dari imaji-imaji paling mengesankan tentang Kerajaan Surga. Sungguh luar biasa bahwa gambaran yang begitu dalam ini dikisahkan oleh Yesus. Perumpamaan yang dahsyat!
Dahsyat, karena ia berbicara tentang tanggung jawab tiap individu di hadapan Allah. Di manakah letak persoalan tanggung jawab pribadi itu? Di dalam jawaban para gadis bijaksana itu ketika dimintai minyak oleh mereka yang pelitanya hampir padam: "Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu."
Jawaban, penolakan, ini sama sekali tidak kejam. Jawaban ini sama sekali bukan karena mereka tak mau peduli pada sesama yang membutuhkan bantuan. Sebaliknya, itulah cara terbaik untuk mendesak orang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri!
Belajarlah mempertanggungjawabkan hidupmu di hadapan Tuhan! Jangan terus-terusan mengandalkan ('memanfaatkan'?) orang lain! Sekali lagi, kita mungkin tidak setuju, atau tak suka, dengan kenyataan itu.
Tapi di saat nyawa kita hampir putus, bukan orang lain, bukan juga keluarga atau sahabat kita, tapi kita sendiri yang harus menghadap Tuhan dan menyerahkan hidup kita. Itu kenyataan! Lalu mengapa selama ini kita seperti mau melibatkan orang lain sebagai yang ikut bertanggung jawab atas hidup kita?
Tapi di saat nyawa kita hampir putus, bukan orang lain, bukan juga keluarga atau sahabat kita, tapi kita sendiri yang harus menghadap Tuhan dan menyerahkan hidup kita. Itu kenyataan! Lalu mengapa selama ini kita seperti mau melibatkan orang lain sebagai yang ikut bertanggung jawab atas hidup kita?
Kalau kita merasa hidup ini kering dan tidak bahagia, mengapa kita anggap bahwa itu karena keluarga kita tidak mendukung, karena pasangan kita tidak cukup memperhatikan, karena sahabat kita tidak lagi hangat dan dekat?
Mengapa 'orang lain' yang salah kalau kita tidak bahagia? Dalam Kitab Kebijaksanaan digambarkan, bahwa Kebijaksanaan itu tak perlu susah payah dicari, karena ia selalu menunggu kita. Ia selalu mendahului kita, selalu siap 'di dekat pintu' sebelum kita mencarinya.
Mengapa 'orang lain' yang salah kalau kita tidak bahagia? Dalam Kitab Kebijaksanaan digambarkan, bahwa Kebijaksanaan itu tak perlu susah payah dicari, karena ia selalu menunggu kita. Ia selalu mendahului kita, selalu siap 'di dekat pintu' sebelum kita mencarinya.
Soalnya ialah, apakah kita mau memutuskan untuk mengikutinya 'sekarang' atau tidak? Hal yang paling tidak bijaksana di dunia ini ialah: menunda. Kita senang 'menunda' karena merasa masih punya banyak waktu, masih ada orang lain yang lebih rajin, masih dibantu orang-orang tertentu, masih selalu ditolong tiap kali hampir putus asa. Kebijaksanaan ialah: mulai bertanggung jawab atas hidup kita sendiri!
Banyak orang mengeluh kehilangan 'api' (semangat) dalam dirinya, seperti sudah 'habis' oleh pekerjaan dan kelelahan ('burn-out'). Mereka terlambat menyadari bahwa 'minyak' di lampunya sudah habis, lalu mulai tergantung pada kebaikan orang, mulai minta belas kasihan pada temannya, "Berikanlah kami sedikit dari minyakmu itu, sebab pelita kami hampir padam."
Banyak orang mengeluh kehilangan 'api' (semangat) dalam dirinya, seperti sudah 'habis' oleh pekerjaan dan kelelahan ('burn-out'). Mereka terlambat menyadari bahwa 'minyak' di lampunya sudah habis, lalu mulai tergantung pada kebaikan orang, mulai minta belas kasihan pada temannya, "Berikanlah kami sedikit dari minyakmu itu, sebab pelita kami hampir padam."
Kalau kita juga merasa begitu, ingatlah, kita tidak bisa terus-terusan mengharapkan orang lain. Anak itu takkan sadar dan bangun lebih pagi kalau selalu mengandalkan ibunya untuk membangunkan. Ia sendiri harus belajar bangun pagi!
Kita sudah sering, 'biasa', terlambat. Hati-hati, kalau sudah menganggapnya biasa, atau soal kecil. Kita tak senang kalau dipelototi orang karena terlambat, malu kalau ketahuan kita tidak siap, tersinggung kalau diingatkan supaya berbenah diri. Semua itu tak perlu terjadi, kalau saja kita siapkan sendiri, minyak di lampu kita masing-masing. Amin.
Kita sudah sering, 'biasa', terlambat. Hati-hati, kalau sudah menganggapnya biasa, atau soal kecil. Kita tak senang kalau dipelototi orang karena terlambat, malu kalau ketahuan kita tidak siap, tersinggung kalau diingatkan supaya berbenah diri. Semua itu tak perlu terjadi, kalau saja kita siapkan sendiri, minyak di lampu kita masing-masing. Amin.
Posting Komentar