Sejalan dengan Michel Foucault, di dunia postmodern, orang tak ingin menemukan dirinya sendiri, rahasia-rahasianya dan kebenarannya yang tersembunyi. Orang justru merasa diwajibkan untuk menciptakan dirinya sendiri. Melalui kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi, relasi antar manusia semakin dimudahkan. Jarak tak saja diperpendek, tetapi malah dihilangkan.
Jalan kaki diganti andong, andong lalu diganti oleh kereta api, kereta api diganti bus dan mobil pribadi, mobil diganti kapal laut dan pesawat terbang, bahkan pesawat konvensional itu oleh orang-orang superkaya telah diganti dengan jet pribadi. Dengan kemajuan tekonologi sarana komunikasi, fungsi telegram pun digantikan telepon, fungsi telepon digantikan handphone dan smartphone; surat diganti email, dan email diganti media sosial, dst.
Ringkasnya, kemajuan di bidang cyberspace ini telah mengubah perilaku manusia. Alan Toraine, sosiolog Perancis (Critique of Modernity (1995:91) melukiskan perubahan perilaku ini dengan kalimat yang sederhana:
- "Dulu orang hidup dalam kesunyian, tetapi kini orang hidup dalam kebisingan.
- Dulu orang terisolasi, tetapi kini orang sering hilang ditengah kerumunan. \
- Dulu orang menerima terlalu sedikit pesan, tetapi kini orang justru dibombardir oleh berlaksa pesan."
Kini, dalam perjumpaan virtual, kita justru tak tahu pasti apakah kita MENIRU apa yang kita tonton di layar/media, atau justru kita sendiri yang DITIRU oleh apa yang ditampilkan di layar/media (Stuart Ewen, "All Consuming Images: The Politics of Style in Contemporary Culture", 1988).
Padahal perjumpaan kasat mata itu adalah media terbaik. Hanya saja di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dasyat realitas telah hilang dan manguap.
Kini kita hidup di zaman simulasi, di mana realitas tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat dan disimulasi.
Madan Sarup, dalam bukunya "Identity, Culture and the Postmodern World" (1996:105) menegaskan bahwa identitas seseorang adalah bentuk-bentuk yang ditenun dari:
- apa yang ia konsumsi atau ia pakai,
- komoditas apa yang ia beli, lihat dan baca,
- pandangan seksualitasnya,
- pemikirannya tentang masyarakat, dan
- perubahan-perubahan yang ia percaya sedang dialaminya.
Akhirnya, kita membangun diri publik dengan apa yang kita beli dan apa yang kita pilih untuk lakukan secara sukarela. Medan pilihan ini bergerak dari soal makanan, fesyen, produk-produk spesial, selera musik, gaya hidup seksual, hingga kepercayaan.
Posting Komentar