Kekurangan tenaga imam adalah problem kalasik Gereja Katolik sejak dulu, sebab “Banyak yang dipanggil, sedikit yang menjawab”. Paus Pius XII membenarkan kondisi ini dalam anjuran apostolik Menti Nostrae yang dikeluarkan pada tanggal 23 September 1950: “…jumlah imam, baik di daerah-daerah Katolik maupun di daerah-daerah misi, kebanyakan tidak mencukupi untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang bertubi-tubi.”
Kondisi ini pun menjadi keprihatinan Paus Yohanes XXIII. Dalam amanatnya kepada Kongres Internasional I tentang Panggilan Hidup Religius tertanggal 16 Desember 1961, Paus Yohanes XXIII menyebut kekurangan imam itu menjadi keprihatinan, jeritan doa dan aspirasi jiwanya yang membara.
Jumlah imam memang tak sebanding dengan jumlah umat yang dilayani. Menurut data yang dirilis Catholic Herald (Majalah HIDUP Edisi-7/14 Februari 2016), jumlah umat Katolik yang dibaptis per tanggal 31 Desember 2015 mencapai 1.285.000.000.
Buku tahunan Vatikan, Annuario Pontificio pada tahun 2017 membentangkan sepuluh negara dengan umat Katolik terbanyak, yakni Brasil, Meksiko, Filipina, Amerika Serikat, Italia, Perancis, Kolombia, Spanyol, Republik Demokratik Kongo dan Argentina. Jumlah umat dari sepuluh negara ini mencakup hampir 56 % dari populasi umat Katolik sedunia.
Masih dari sumber yang sama, pada periode 2010-2015, populasi umat Katolik di dunia telah meningkat sebesar 7,4 %. Afrika menjadi benua dengan persentase pertumbu-han terbesar, yakni sebesar 19,4 %. Peningkatan jumlah umat di Afrika bahkan melampaui pertumbuhan jumlah penduduk secara umum di benua hitam tersebut.
Di sisi lain, angka pertumbuhan atau penurunan statistik populasi Katolik di benua Eropa, Amerika dan Asia masih selaras dengan pertumbuhan atau penurunan jumlah penduduknya. Sekitar 49 % umat Katolik dunia tinggal di benua Amerika (Amerika Utara, Amerika Selatan dan Karibia), 22,2 % di Eropa, 17,3 % di Afrika, 11 % di Asia dan kurang dari 1% tinggal di Oceania dan Pasifik Selatan.
Pada periode lima tahunan yang sama (2010-2015) Gereja memiliki 670.320 suster, 415.656 imam, 54.229 bruder, 45.255 diakon permanen dan 5.304 uskup. Jumlah uskup dan diakon mengalami pertumbuhan dari peride sebelumnya, sedangkan jumlah imam pada tahun 2015 mengalami penuruan sebanyak 136 imam dibanding pada periode sebelumnya (2005-2010).
Imam Diosesan di dunia mengalami pertumbuhan, sementara imam Ordo/Kongregasi religius justru menurun. Ini berarti 1 imam melayani rata-rata 2.900 umat pada tahun 2010 dan 1 imam melayani 3.091 umat pada tahun 2015. Sementara jumlah seminaris (calon imam) dunia menyentuh angka tertinggi pada tahun 2011, namun setelahnya justru mengalami penyusutan secara bertahap. Satu-satunya pengecualian adalah Afrika. Benua hitam itu tampaknya tak tersentuh oleh krisis panggilan dan punya potensi besar untuk perkembangan Gereja.
Di Indonesia sendiri, jumlah Seminari Menengah sudah cukup. Hanya saja kualitas pendidikan calon imam itu masih jauh dari harapan. Akibatnya, jumlah peminat Seminari semakin tahun semakin menurun. Kualitas pendidikan yang stagnan dan cenderung menurun, minimnya pendidikan panggilan dalam keluarga, minimnya jumlah Pastor Paroki yang mempromosikan hidup panggilan di Paroki-nya, minimnya kunjungan aksi panggilan Seminari ke paroki-paroki dan minimnya keterlibatan Seminaris di Paroki terdekat disinyalir menjadi penyebabnya.
Dalam kaitannya dengan kualitas pendidikan, kita masih ingat di masa lalu ada banyak orang tua Katolik berlomba-lomba mengirimkan anak-anaknya ke Seminari. Mereka percaya bahwa Seminari adalah sekolah unggulan. Namun saat ini minat ke Seminari semakin berkurang. Mutu pendidikannya semakin menurun, bahkan kalah dari sekolah-sekolah umum. Kendati demikian, sebagai pendidikan calon pemimpin Gereja di masa mendatang , Seminari masih bisa diandalkan. Tentu banyak hal yang harus dibenahi, terutama sarana dan prasarana penunjang pendidikan para calon imam.
Menurut data yang dirilis Komisi Seminari KWI, hampir 85% Seminari di Indonesia minim fasilitas belajar dan pembinaan kepribadian. Beberapa gedung sekolah dan asrama Seminari masih mengandalkan bangunan tua yang didirikan pada tahun 1950-an. Lebih dari 50 % Seminari membutuhkan beasiswa untuk seminaris yang berasal dari keluarga dengan ekonomi lemah.
Berangkat dari keprihatinan itu, KWI telah menggalang bantuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para seminaris. Meski tidak serta-merta menutup seluruh kekurangan, namun paling tidak, melalui Gerakan Orang Tua Asuh Untuk Seminari (GOTAUS) sebagian biaya operasional Seminari bisa ditutupi (Majalah HIDUP Edisi 11/12 Maret 2017).
Di satu sisi benar bahwa Gereja selalu berupaya mengajak para orangtua untuk bertanggung jawab atas pendidikan panggilan anak-anak mereka, agar kelak mereka tertarik masuk Seminari. Namun minimnya pendidikan panggilan dalam keluarga Katolik cukup memprihatinkan. Kenyataan ini turut memengaruhi minat anak-anak yang ingin masuk Seminari.
Gereja juga prihatin dengan minimnya Pastor Paroki yang mempromosikan hidup panggilan di Parokinya. Bila dulu mereka rajin mengenalkan dan mengajak putra altar, OMK, KMK, KKMK dan kawula muda lainnya mengunjungi Seminari, kini mereka begitu sibuk dengan urusan-urusan manajemen paroki.
Kunjungan para Seminaris, para guru, pastor Prefek hingga Direktur Seminari ke paroki-paroki dalam rangka mengenalkan Seminari justru sangat minim. Aksi panggila memang masih berjalan, namun dengan format yang berbeda. Akhirnya, minimnya keterlibatakan Seminari di Paroki terdekat menjadi akibat dari beratnya beban studi Seminaris dan jarak yang jauh antara Seminari dan Paroki.
Tentu banyak cara untuk menarik minat para remaja agar melanjutkan pendidikan di Seminari. Semakin banyak inovasi tentu akan semakin menarik minat orang muda masuk Seminari. Bukankah Seminari itu jantung Gereja? Artinya, disaat Seminari tak lagi diminati, dibiarkan sekarat hingga mati, maka Gereja juga akan mati.
Hanya melalui Seminari lah tenaga imam yang handal akan lahir. Hal ini senada dengan tujuan Seminari didirikan, yakni untuk memupuk tunas-tunas panggilan melalui pembinaan hidup rohani yang khas, terutama dengan bimbingan rohani yang cocok, dan disiapkan untuk mengikuti Kristus Penebus dengan semangat rela berkorban dan hati yang jernih (Paulus VI, OT art 3).
Untuk mencapai tujuan itu, Gereja memberi imam-imam terbaik sebagai pemimpin, pembimbing, pendidik sekaligus pengajar di Seminari. Merekalah yang membimbing Seminari dengan penuh kebapaan, mampu kerjasama dengan para guru dan orang tua para Seminaris. Bersama para guru, staf dan seluruh stakeholders Seminari, para imam itu menerapkan kurikulum pembinaan sesuai dengan usia para seminaris. Tujuannya agar mentalitas dan perkembangan psikologis para seminaris sesuai dengan prinsip-prinsip psikologi yang sehat.
Para pembina dan pendidik juga mendampingi para seminaris agar mampu menjalani program studi yang telah diatur sedemikian rupa, baik tuntutan kurikulum pemerintah dan terutama tuntutan kurikulum internal Seminari itu sendiri. Tujuannya, apabila karena satu dan lain hal mereka keluar dari Seminari tetap dapat melanjutkan studinya di lain tempat. Selama pendidikan di Seminari Menengah, para seminaris itu sungguh dipersiapkan menjadi calon imam yang harus belajar terlibat di tengah masyarakat, dan tidak hanya berkutat dengan umat sendiri.
Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS Pematang Siantar, sebagai salah satu Seminari Menengah di Indonesia turut mengalami apa yang telah dibentangkan di atas. SMCS adalah berkat istimewa bagi Gereja, khususnya bagi gereja di Keuskupan Agung Medan (KAM), Keuskupan Padang dan Keuskupan Sibolga. SMCS yang berdiri sejak 1 September 1950 di Padang ini bahkan telah mendidik hampir 5000-an Seminaris sepanjang 68 tahun usianya, seratusan lebih imam (Diosesan dan religius), dan lima orang uskup, yakni Mgr. Alfred Gonti Pius Datubara OFM Cap, Mgr. Dr. Anicetus Bongsu Sinaga OFM Cap, Mgr. Dr, Martinus Dogma Situmorang (meninggal dunia pada tanggal 19 November 2019 di Rumah Sakit St. Carolus Borromeus Bandung), dan Mgr. Dr. Ludovicus Simanullang OFM Cap (meninggal dunia pada tanggal 20 September 2018 di Rumah Sakit Elisabeth Medan) dan Mgr. Kornelius Sipayung, OFM Cap yang ditujunjuk pada tanggal 8 Desember 2018 lalu.
SMCS adalah “rumah produksi” calon-calon imam dan calon biarawan bagi ketiga keuskupan yang telah disebut di atas serta bagi Ordo dan Kongregasi yang ada di Indonesia. Sebagian besar dari alumni SMCS yang telah ditahbiskan menjadi imam berkarya di KAM, Keuskupan Sibolga, Keuskupan Padang dan keuskupan lain.
Sebagian dari mereka juga berkarya sebagai misionaris di luar negeri. Sementara bagi para alumninya, SMCS adalah tempat di mana mereka belajar tentang pentingnya menata hidup lewat disiplin yang ketat, semangat belajar yang maksimal, pencarian jatidiri lewat berbagai aktivitas kreatif di SMCS.
Di SMCS mereka merasakan dan mengalami sistem pendidikan Seminari yang berbeda dengan sistem di SMP mereka sebelumnya. Berbeda di sini bukan pertama-tama karena SMCS adalah sekolah calon imam, tetapi karena mereka mendapatkan ”pendidikan kehidupan” yang kel;ak menjadi modalitas mereka dalam menjalani hidup mereka selanjutnya, entah kuliah di perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi swasta, saat bekerja, dan terutama ketika mereka melanjut ke Seminari Tinggi.
Pernyataan di atas mungkin tampak agak berlebihan. Namun Pendidikan di SMCS memang sungguh tak pernah dilupakan para alumninya. Itu sebabnya Probatorium 1993 merayakan 25 tahun usia angkatan mereka bersamaan dengan Dies Natalis ke-68 SMCS dan 25 Tahun pengabdian Nelliana Sitanggang untuk Seminari. Masa-masa gembira dan sedih selama di Seminari itu bak kisah bersambung yang tak pernah putus. Lihatlah, betapa setiap sesama mantan SMCS bertemu mereka hampir pasti bertutur ulang tentang kisah-kisah unik dan ganjil yang pernah mereka alami di Seminari di era masing-masing. Itu karena di Seminari, kita dididik dengan disiplin yang keras namun terpola.
Buku ini adalah persembahan penulis untuk SMCS, alma maternya yang telah menggembleng penulis dalam kurun waktu 1993-1997 yang lalu. Seminari tak saja mengajar dan mendidik, tetapi serentak juga membantu siapapun yang pernah dididik di Seminari dalam membentuk konsep diri: cara melihat, menilai dan cara menyikapi diri, sesama dan Tuhan-nya.
Penulis sungguh terkesan dengan system pendidikan di SMCS yang sangat terbuka bagi pertumbuhan pribadi setiap seminaris, baik aspek intelektualitas (melalui kegiatan belajar mengajar di kelas) maupun aspek sosial (melalui pergaulan dengan seminaris yang lain dalam komunitas asrama). Melalui pengembangan bakat dan potensi, para seminaris juga dibentuk menjadi pribadi yang memiliki pengharapan terhadap diri sendiri, namun dibarengi dengan penilaian terhadap diri sendiri (melalui bimbingan dan refleksi pribadi).
Seorang seminaris dikatakan “berhasil” hanya apabila ia memberi diri dididik, dibimbing dan didampingi oleh para pastor, bruder, suster dan para guru di Seminari menjadi pribadi yang matang secara intelektual, sosial, dan spiritual. Ibarat dalam sebuah keluarga, di Seminari, para seminaris diperlakukan dan dididik sebagai anak sekaligus sebagai sahabat oleh para pembina, guru dan staf Seminari. Hubungan yang akrab dengan para pembina dan guru ini juga dialami penulis selama empat tahun di SMCS.
Sebagai anak, seorang seminaris bisa saling bercanda, saling meledek, bahkan meminta bantuan kepada para pembina, para guru dan staf seminari, bahkan diluar jam sekolah. Itu karena mereka adalah orangtua sekaligus sahabat, pendidik sekaligus teladan hidup seminaris. Hal ini sejalan dengan pernyataan Optatam Totius bahwa para pendidik di Seminari bukanlah orang sembarangan. Mereka itu orang-orang pilihan yang diseleksi dari antara pribadi-pribadi yang sungguh baik (OT art. 5).
Para imam dan biarawan-biarawati yang ditugaskan di Seminari adalah orang-orang pilihan yang telah disiapkan melalui studi yang terjamin mutunya, pengalaman pastoral yang secukupnya, dan pembinaan yang khas dibidang rohani serta pendidikan yang berkualitas. Sementara untuk meningkatkan kualtias para guru, Seminari memberikan mereka waktu untuk mengikuti kursus-kursus yang diprogramkan dan lewat pertemuan-pertemuan para pembina Seminari di tingkat nasional yang diselenggarakan secara berkala.
Cara berpikir dan bertindak para pembina dan guru itulah yang menjadi jaminan bagi lahirnya seminaris yang berkualitas. Di bawah pimpinan Direktur Seminari, para pendamping dan guru itu menjadi simbol kesatuan Gereja: “Hendaklah mereka bersatu” (bdk. Yoh 17:11).
Para pendidik di Seminari sungguh menemukan kegembiraan panggilan mereka sendiri sebagai seorang Katolik dalam hati para seminaris yang mereka didik dan bina. Sebagai pimpinan tertinggi Seminari sekaligus bapa sejati dalam kristus bagi Seminaris, bapa Uskup selalu menyemangati mereka yang berkarya di Seminari dengan kasih yang istimewa.
Ini semua dilakukan karena Seminari adalah jantung keuskupan, dan oleh karenanya seluruh umat beriman harus dengan sukarela membantunya (OT art 5). Ibu guru Dra. Nelliana Sitanggang, yang pada tahun 2018 ini genap mengajar selama 25 tahun di SMCS juga menjadi ibu sekaligus sahabat bagi seminaris. Kesan dan pesan Ibu Nelly, begitu ia akrab dipangil, akan dibentangkan juga dalam buku ini.
Pada bab awal penulis akan membentangkan secara ringkas tentang awal masuknya Katolik ke Indonesia, khususnya tanah Batak. Sejarah ini menjadi gerbang sejarah berdirinya Seminari Menengah Christus Sacerdos Pematang Siantar yang sangat kita cintai.
Pengalaman pendidik yang diwakili oleh ibu Nelly dan pengalaman beberapa alumni yang pernah dididik di SMCS diharapkan menjadi pelengkap buku kecil ini. Pendek kata, buku yang awalnya lahir dari permintaan tulus ibu Nelly dalam rangka memperingatai 25 tahun pengabdiannya di Seminari ini ditutup dengan sumbang saran dari penulis untuk Seminari.
Akhirnya, semoga buku ini menjadi salah satu dokumentasi penting tentang Seminari, sekaligus juga menjadi hadiah istimewa atas perayaan 25 tahun Bu Nelly Sitanggang untuk Seminari.
Medan 4 November 2018
Posting Komentar