Mgr. Mathias Leonardus Trudon Brans, OFM Cap |
Mgr. Mathias Leonardus Trudon Brans, OFM Cap adalah Misionaris pertama di Sumatera yang mulai memikirkan kebutuhan akan tenaga imam di wilayah pelayanannya.
Sebagaimana telah disinggung pada Bab 1, pada tanggal 23 Desember 1941 Mgr. Brans memindahkan Vikariat Apostolik Padang ke Medan, dan berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Medan.
Pada tahun 1954, setelah 33 tahun mendedikasikan diri untuk gereja di Sumatera, Mgr. Brans, kembali ke Belanda. Dalam pidato perpisahannya ia berpesan kepada penerusnya, Mgr. Dr. Ferrerius van den Hurk, OFM Cap,”Kita harus saling peduli, tidak hanya peduli terhadap kaum biarawan dari kolonial Eropa.”
Itu sebabnya Mgr. Brans dipandang sebagai penemu Gereja di Sumatera dan peletak dasar misi di tanah Batak dan ia berhasil. Bukti keberhasilannya itu bahkan telah dinikmati penerusnya, Mgr. Dr. Ferrerius van den Hurk, OFM Cap (1955-1976).
Dibawah kepemimpinan Mgr. van den Hurk, Gereja di Vikariat Apostolik Medan lebih matang. Berkat kerjasamanya dengan para imam, frater, suster dari berbagai kongregasi dan kaum awam yang terlibat dalam karya Pastoral di wilayahnya. Ibarat “Paulus yang menuai apa yang ditanam Apolos”, Kabar gembira yang telah diwartakan oleh Mgr. Brans dan para misionaris terdahulu kini telah dipanen oleh Mgr. van den Hurk.
Mgr. Dr. Ferrerius van den Hurk, OFM Cap |
Bicara tentang perkembangan Gereja di Vikariat Apostolik Medan bukan melulu soal perkembangan kuantitatif, tetapi juga serentak perkemangan kualitatif . Demikian juga dengan perkembangan gereja di era kepemimpinan Mgr. van den Hurk. Gereja Katolik di Vikariat Apostolik Medan mengalami puncak perkembangan yang sangat pesat.
Dengan dipisahkannya Vikariat Apsotolik Padang (1952) dan Prefektur Apostilik Sibolga (1959) dari Viariat Apostolik Medan, maka Misionaris yang ada lebih fokus berkarya di wilayah Vikariat Apostolik Medan.
Di era van den Hurk, banyak umat Katolik dari tanah Batak yang keluar dari daerah asalnya dan merantau ke beberapa tempat yang lebih subur. Migrasi orang Batak keluar daerahnya berjalan secara perlahan demi mencari daratan yang lebih cocok untuk bertani.
Mereka banyak yang pergi dan tinggal di daerah pesisir Timur. Ada yang ke Aceh, Dairi, Asahan, Medan, Pematangsiantar, Simalungun, Binjau, Deliserdang dan daerah lainnya.
Di tempat-tempat baru itu mereka membentuk perkampungan Batak yang semakin hari semakin berkembang. Selaras dengan migrasi itu, umat Katolik Batak juga mengalami persebaran. Inilah yang menjadi alasan mengapa semakin banyak paroki baru di Vikariat Apostolik Medan, lengkap dengan bangunan pastoran atau biara sebagai tempat tinggal para Misionaris.
Pada tahun 1952, misalnya telah didirikan Pastoran/Biara di Lawe Desky (Aceh Selatan) dan Tebing Tinggi. Begitu juga di Kisaran pada (1968), Perdagangan (1970), Aek Kanopan (1975), dan Aek Nabara (1978). Di saat yang sama masyarakat Batak yang masih menetap di tanah Batak juga menginginkan agar di daerah mereka dibangun Pastoran/Biara. Maka berdirilah Pastoran/Biara di Parapat (1953), Parsoburan dan Silaen (1959), Tarutung (1958), dan di Parlilitan (1960).
Medan dan Pematangsiantar yang lebih dulu menerima Misi Katolik juga memiliki daya tarik tersendiri bagi perkembangan Misi. Pertumbuhan populasi penduduk yang cepat, termasuk jumlah umat Katolik yang tinggal di kedua kota itu membutuhkan tenaga Misionaris yang lebih banyak pula. Pada tahun 1962 Pastoran di Kota Medan mulai dipisahkan dari Biara.
Pada tahun 1968 didirikan Pastoran di Pasar Merah. Setahun kemudian (1969) dibangun pastoran di Lubuk Pakam dan Delitua (1969), Pasar Baru (1975), Medan Timur (1979), serta Pastoran di Binjai (1980).
Sementara di Pematangsiantar berdiri Paroki lengkap dengan Pastorannya di Jalan Bali (1967), Jalan Medan ( 1968), dan satu Paroki khusus yang melayani umat diluar Kota Siantar (tahun 1976). Hanya saja perkembangan Misi agak lambat di Karo dan Dairi. Padahal pada tahun 1948 sudah ada Paroki di Kabanjahe—setelah memisahkan diri dari Paroki Seribudolok pada tahun 1948.
Gagalnya Peristiwa G-30S/PKI yang dilancarkan PKI pada tahun 1965 juga memengaruhi eksistensi umat Katolik di Indonesia, termasuk di wilayah Karo dan Dairi. Paroki-paroki baru muali bermunculan di dataran tinggi Karo: Bandar Baru (1975) dan Tiga Binanga (1977). Sementara persebaran Misi di Dairi ditandai dengan berdirinya Paroki Tigalingga (1966) dan Paroki Sumbul (1968).
Pada tanggal 3 Januari 1961 Vikariat Apostolik Medan ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Medan. Dalam kurun waktu 1962-1965 Gereja Katolik Indonesia bahkan telah aktif dalam kehidupan Gereja Katolik dunia. Uskup Indonesia sudah ambil bagian dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).
Bahkan, pada tanggal 29 Juni 1967 Indonesia telah memiliki Kardinal pertama, yakni Yustinus Kardinal Darmojuwono. Tak hanya itu, pimpinan Gereja Katolik se-Dunia, Paus Paulus VI pun telah mengunjungi umatnya di Indonesia pada 1970, ditambah kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989. Beliau datang mengunjungi umatnya di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Maumere, dan Dili (sebelum memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1999).
Perkembangan Misi di Vikariat Apostolik Medan saat itu juga ditandai dengan berdirinya banyka gereja, sekolah-sekolah, seperti sekolah pendidikan guru Kweekschool), sekolah-sekolah Katolik, rumah sakit, biara, dan tentu saja Seminari Menengah.
Mgr. Brans sungguh memikirkan keberlangsungan Misi di hari mendatang, terutama dalam hal ketersediaan tenaga imam. Itu sebabnya ia mulai merancang strategi untuk mendirikan Seminari di Vikariat Apostolik yang dipimpinnya. Itu sebabnya ia mulai merancang strategi untuk mendirikan Seminari di Vikariat Apostolik yang dipimpinnya.
#LusiusSinurat
#MemperhitungkanPanggilan
#SeminariJantungMisi
Posting Komentar