Seminari Menengah Vikariat Apostolik Padang |
Kenyataannya, kualitas Seminari semakin hari justru semakin menurun dari tahun ke tahun. Akibatnya jumlah peminat Seminari yang ada di Indonesia semakin menurun. Penyebab utama mengapa peminat Seminari semakin tahun semakin berkurang adalah:
(1) Kualitas pendidikan yang semakin menurun
Dulu, banyak peminat Seminari Menengah karena banyak hal bisa mereka dapatkan di seminari. Di mata orangtua Katolik, Seminari Menengah itu sekolah unggulan. Namun disaat kualitas pendidikan Seminari Menengah yang semakin menurut, justru ada sekolah-sekolah berasrama lain yang kualitasnya sama, bahkan melebihi Seminari Menengah.
Secara kuantitatif, Seminari Menengah yang ada di Indonesia memang masih dapat diandalkan untuk menelurkan pemimpin-pemimpin Gereja masa depan yang andal. Namun dari sisi kualitatif, Seminari Menengah harus berbenah, terutama dalam hal tersedianya sarana dan prasarana penunjang pendidikan bagi para calon pastor itu.
Faktanya, hampir 85% Seminari Menengah yang ada di Indonesia masih minim fasilitas belajar dan pembinaan ke pribadian. Di beberapa Seminari Menengah, gedung sekolah bahkan masih mengandalkan bangunan tua yang telah dibangun 50-100 tahun silam. Belum lagi soal makan-minum yang masih di bawah standar, atau karena sebagian besar Seminaris berasal dari keluarga kurang mampu, hingga membutuhkan bantuan dana pendidikan.
(2) Kurang diperhatikannya pendidikan panggilan dalam keluarga Katolik
Gereja Katolik mengajak para orang tua untuk bertanggung jawab atas pendidikan panggilan anak-anak mereka, agar kelak mereka tertarik masuk Seminari Menengah. Namun yang terjadi saat ini, keluarga-keluarga Katolik sering abai pada kewajiban mereka untuk memberikan pendidian panggilan kepada anak-anak mereka.
(3) Minimnya promosikan panggilan di Paroki
Kalau dulu para Pastor Paroki hampir pasti mengenalkan Seminari Menengah dan hidup membiara kepada anak-anak Bina Iman Anak (BIA), Bina Iman Reamaj (BIR), Putra-putri Altar dan OMK-nya, bahkan mengajak mereka mengunjungi Seminari Menengah, maka kini para pastor paroki jusru terkesan terlalu sibuk dengan berbagai urusan-urusan manajerial dan administratif Paroki.
(4) Minimnya kunjungan Seminaris ke Paroki
Kunjungan para Seminaris, prefek hingga direktur Seminari Menengah ke Paroki-paroki dalam promosi panggilan atau mengenalkan Seminari Menengah kepada umat di paroki-paroki tersebut justru semakin jarang, bahan samasekali tak dilakukan lagi. Sinergitas antara Seminari Menengah dan Paroki bahkan tak lagi dinamis seperti dulu.
(5) Minimnya keterlibatan seminaris di Paroki terdekat
Minimnya keterlibatan Seminaris dalam tugas-tugas di Paroki terdekat terjadi karena beban studi yang semakin berat dan jarak antara Seminari dan Paroki yang terlalu jauh. Dulu, banyak cara dilakukan para Pastor Paroki untuk menarik minat para remaja untuk melanjutkan studinya ke Seminari Menengah. Kini, inovasi para pastor paroki dan pihak Seminari Menengah sangat minim untuk menarik minat orang muda masuk Seminari. Mereka seakan lupa bahwa Seminari Menengah adalah jantung Gereja.
#LusiusSinurat
#MemperhitungkanPanggilan
#SeminariJantungMisi
(1) Kualitas pendidikan yang semakin menurun
Dulu, banyak peminat Seminari Menengah karena banyak hal bisa mereka dapatkan di seminari. Di mata orangtua Katolik, Seminari Menengah itu sekolah unggulan. Namun disaat kualitas pendidikan Seminari Menengah yang semakin menurut, justru ada sekolah-sekolah berasrama lain yang kualitasnya sama, bahkan melebihi Seminari Menengah.
Secara kuantitatif, Seminari Menengah yang ada di Indonesia memang masih dapat diandalkan untuk menelurkan pemimpin-pemimpin Gereja masa depan yang andal. Namun dari sisi kualitatif, Seminari Menengah harus berbenah, terutama dalam hal tersedianya sarana dan prasarana penunjang pendidikan bagi para calon pastor itu.
Faktanya, hampir 85% Seminari Menengah yang ada di Indonesia masih minim fasilitas belajar dan pembinaan ke pribadian. Di beberapa Seminari Menengah, gedung sekolah bahkan masih mengandalkan bangunan tua yang telah dibangun 50-100 tahun silam. Belum lagi soal makan-minum yang masih di bawah standar, atau karena sebagian besar Seminaris berasal dari keluarga kurang mampu, hingga membutuhkan bantuan dana pendidikan.
(2) Kurang diperhatikannya pendidikan panggilan dalam keluarga Katolik
Gereja Katolik mengajak para orang tua untuk bertanggung jawab atas pendidikan panggilan anak-anak mereka, agar kelak mereka tertarik masuk Seminari Menengah. Namun yang terjadi saat ini, keluarga-keluarga Katolik sering abai pada kewajiban mereka untuk memberikan pendidian panggilan kepada anak-anak mereka.
(3) Minimnya promosikan panggilan di Paroki
Kalau dulu para Pastor Paroki hampir pasti mengenalkan Seminari Menengah dan hidup membiara kepada anak-anak Bina Iman Anak (BIA), Bina Iman Reamaj (BIR), Putra-putri Altar dan OMK-nya, bahkan mengajak mereka mengunjungi Seminari Menengah, maka kini para pastor paroki jusru terkesan terlalu sibuk dengan berbagai urusan-urusan manajerial dan administratif Paroki.
(4) Minimnya kunjungan Seminaris ke Paroki
Kunjungan para Seminaris, prefek hingga direktur Seminari Menengah ke Paroki-paroki dalam promosi panggilan atau mengenalkan Seminari Menengah kepada umat di paroki-paroki tersebut justru semakin jarang, bahan samasekali tak dilakukan lagi. Sinergitas antara Seminari Menengah dan Paroki bahkan tak lagi dinamis seperti dulu.
(5) Minimnya keterlibatan seminaris di Paroki terdekat
Minimnya keterlibatan Seminaris dalam tugas-tugas di Paroki terdekat terjadi karena beban studi yang semakin berat dan jarak antara Seminari dan Paroki yang terlalu jauh. Dulu, banyak cara dilakukan para Pastor Paroki untuk menarik minat para remaja untuk melanjutkan studinya ke Seminari Menengah. Kini, inovasi para pastor paroki dan pihak Seminari Menengah sangat minim untuk menarik minat orang muda masuk Seminari. Mereka seakan lupa bahwa Seminari Menengah adalah jantung Gereja.
#LusiusSinurat
#MemperhitungkanPanggilan
#SeminariJantungMisi
Posting Komentar