Dibawah sadar kita sebagai orang Indonesia, orang Eropa dan Amerika itu lebih elit dari kita, budaya mereka lebih unggul dari budaya kita. Bagaimanapun sudah terbukti bangsa Eropa sudah pernah menjajah kita. Itu salah satu bukti bahwa bangsa eropa jauh lebih unggul dari bangsa kita.
Sepanjang kolonialisme berlangsung, orang-orang Eropa juga menanamkan nilai-nilai budaya mereka lewat pendidikan (sekolah), komunikasi massa (bahasa, kesenian, kebiasaan/tradisi) dan ideologinya.
Indoktrinasi Tata Nilai ini tampak jelas saat orang-orang Eropa memandang budaya kita sebagai budaya yang kolot. Buktinya, bahasa, kesenian dan adat istiadat yang kita miliki hanya dianut oleh masyarakat yang jumlahnya sedikit. Disebut kolot juga karena dipandang primitif, tertinggal, bahkan kadaluarasa (out of date).
Sesungguhnya penjajahan budaya itu telah berlangsung sejak Kerajaan Sriwijaya (abad VII) dan Kerjaan Majapahit (abad XII) menguasai Nusantara. Saat itu sentralisasi dan denominasi kultural telah berlangsung.
Penindasan budaya itu dilakukan secara bertahap. Hukum adat dan hukum kepemilikan tanah digantikan dengan hukum kerajaan. Akibatnya, kolektivitas masyarakat dihancurkan: tak ada lagi tanah adat. Tanah justru dimiliki oleh individu: si X, si Y, si Z, dst.
Hal yang sama juga berlaku untuk agama. Agama tradisional dilarang. Agaama lokal dianggap kafir, keliru dan harus diganti dengan agama yang dibawa penjelajah dan penjajah Nusantara.
Demikianlah Hinduisme dan Islam yang datang dari India dijadikan sebagai agama kerajaan. Agama lokal yang tadinya dipimpin orang lokal pun diganti oleh orang luar dengan agama baru pula. Pemimpin agama dari luar itulah yang berhak menentukan apa yang disebut baik dan yang tidak baik bagi masyarakat lokal tersebut.
Indoktrinasi yang sama juga berlangsung di masa kolonialisme Hindia Belanda. Bangsa Eropa membawa
- pemikiran ilmiah dan mental kritis menggantikan budaya lokal yang monolitik dan menekan;
- penghargaan terhadap individu/pribadi untuk menggantikan tradisi keluarga, klan, suku, dan golongan sosial yang diterapkan adat istiadat setempat;
- teknologi komunikasi menggatikan komunikasi berdasarkan strata sosial masyarakat lokal;
- sekularisasi yang dipandang membebaskan orang dari kepercayaan yang sia-sia, menggantikan adat istiada yang menekankan sikap tunduk pada nasib, sikap feodal dan berbagai aspek dominasi kaum pria.
Lebih jauh, harga diri dan jati diri masyarakat pinggiran (suku-suku kecil) selalu ditentukan oleh pihak luar, yang tidak berbicara dalam bahasa dan pemahaman mereka.
Dalam konteks ini, semua agama, tak terkecuali Gereja turut ambil peran menindas budaya lokal (bdk. Paul Hiebert); dan bersama para antropolog Gereja turut bersaing menindas budaya lokal (bdk. Anton Quack).
Di tanah Batak, misalnya, Gereja Lutheran menerapkan pelarangan penggunaan ulos, gondang dan berbagai atribut adat Batak Toba bagai siapapun yang sudah dibaptis sebagai Kristen. Selanjutnya penghormatan terhadap leluhur yang sudah meninggal dalam budaya lokal (lewat pemberian sesajen dan barang-barang kesukaan leluhur) dilarang secara tegas oleh ajaran Kristen yang dibawa oleh Nommensen itu.
Gereja yang dibawa orang-orang Eropa itu sungguh tak paham makna kurban dan persembahan dalam budaya Batak. Agama Kristen yang dibawa zending Belanda dan Jerman dengan mudah mengadili bahwa pemberian makanan kepada arwah itu sebagai pelanggaran terhadap hukum pertama Dekalog, dan itu tindakan berhala. Zending Kristen itu bak orang desa yang menganggap semua orang kota itu kaya dan mampu membeli apa saja yang mereka minta.
Kenyataannya, bagi agama tradisional Batak, roh orang meninggal itu dipandang punya kekuatan positif (memberi berkat) sekaligus negatif (memberi petaka). Kurban berupa sesajen tadi hanyalah sebuah pertukaran yang menjamin relasi baik antara mereka dengan leluhurnya. Tentu tidakan penrubanan di sini tidak bersifat kausatif, melainkan syarat atau kondisi saja.
Selanjutnya, sejarah telah membuktikan bahwa gereja protestan di tanah batak tak saja memaksakan akulturasi, tetapi juga mulai memonopoli tanah, bisnis dan berselingkuh dengan para penjajah di bidang politik.
Hal yang sama terjadi di Amerika Utara dan Brasil, di mana Pentakosta mengambil keuntungan dari perlawanan Gereja Katolik terhadap kesewenangan negara. Demi mendapat keuntungan kelompoknya, Sekte Pentakosta rela menjadi abdi rezim otoriter agar mendapatkan kemudahan-kemudahan bagi kelompoknya.
Posting Komentar