![]() |
Dr. Joharis Lubis, MPd Akademisi dan Pengamat Publik Sumut |
Lantas, mengapa kita tertinggal jauh? Pertama, pemerintah tidak memiliki komitmen terhadap bidang pendidikan. Hal tersebut dapat kita lihat dari kurikulum yang seharusnya membawa ke arah yang lebih baik, tetapi tidak dijalan secara konsisten dan dengan komitmen yang serius.
Kurikulum gonta-ganti, mulai dari Kurikulum 74, Kurikulum 84, Kurikulum 94, Kurikulum 96, KTSP 2006, hingga Kurikulum K13. Saat ini kemendikbud menerapkan K13, tetapi faktanya sebagian sekolah justru menggunakan Kurikulum KTSP 2006.
Kita ini negara peniru, penjiplak dan mudah terpengaruh. Mungkin hanya negara Indonesia yang merubah kurikulum pendidikannya dengan cara mengadopsinya dari negara lain. Misalnya saja kurikulum pendidikan di sekolah yang ada di Sumatera Utara justru tak memuat sejarah tentang Sumatera Utara.
Kedua, alokasi anggaran APBN 20% untuk pendidikan tidak pernah tuntas dan tidak diejawantahkan secara profesional. Misalnya, Pemerintah Sumatera Utara tidak menetapan 20% APBD untuk pendidikan. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara malah hanya menganggarkan 2,5% untuk pendidikan. Tragisnya lagi, anggaran 2,5% itu masih harus dibagi dengan Kadispora.
Pendidikan kita saat ini memang tidak memuaskan, memalukan dan jelas kalah bersaing dengan negara lain. Selain karena alokasi dana yang tidak konsisten, pengawasan anggaran pendidikan pun tidak ada. Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) bisa "dimainkan" oleh kelompok tertentu. Ini terjadi di level pendidikan dasar dan menengah. Bagaimana dengan pendidikan tinggi kita?
Mahasiswa saat ini justru mulai bersifat apatis terhadap sistem pendidikan yang ada saat ini. Materi pengajaran yang mereka terima di kelas, pun buku-buku yang digunakan justru tak memuat jawaban dari apa yang mereka pertanyakan. Hal ini semakin membuktikan bahwa pemerintah pusat memang tak peduli pada potensi lokal, bahkan tidak menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di daerah.
Di sisi lain, di Provinsi Sumatera Utara kepala dinas pendidikan diduga hanya memikirkan proyek dan pimpinan perguruan tinggi negeri, konon katanya juga hanya memikirkan cara mempertahankan kekuasaannya. Memang ada aturan mengenai pengangkatan pimpinan sekolah atau perguruan tinggi, seperti tes uji kepatutan. Tetapi karena tanpa pengawasan yang kuat maka aturan-aturan itu akan sia-sia belaka. Di Sumatera Utara praktik KKN sangat kental, termasuk dalam menentukan pemegang jabatan. Kompetensi disingkirkan, potensi diabaikan, dan hubungan kekeluargaan justru dijadikan acuan untuk menduduki kursi kekuasaan. Hal ini hanya menguntungkan kelompok tertentu saja, selain kepentingan pribadi tentunya, tetapi jelas bukan kepentingan publik
Sebenarnya kita semua harus bertanggung jawab tentang jebloknya pendidikan saat ini. Setidaknya ada tiga bidang yang sangat mendesak untuk kita perbaiki bersama, yakni agama, pendidikan dan kesehatan. Jabatan di Dapertemen Agama, misalnya justru dipegang oleh tamatan Sarjana Hukum, Searjana Ekonomi, Sarjana Pendidikan, dst. Padahak kita tahu bahwa yang berkarya di semestinya tamatan sarjana Keagamaan (S.Ag atau S.Th). Faktanya, di provinsi Sumatera Utara yang mengurus bidang keagamaan adalah tamatan hukum (SH). Tentu kesemrawutan ini tidak sesuai dengan kebutuhan.
Saya kira, hal terpenting yang dibutuhkan saat ini adalah komitmen pemerintah akan pendidikan di semua lini. Jika alokasi dana sudah dianggarkan dan disepakati, ya tinggal dilakukan, bukan malah lari dari komitmen itu. Begitu juga pemerintah bersama publik harus berkomitmen melakukan pengawasan. Pengawasan juga hendaknya menjadi bagian dari pekerjaan KPK dengan turun langsung ke setiap lini. Tujuannya hanya satu, agar pendidikan kita bisa bersaing dengan negara lain
Posting Komentar