Sebetulnya tak sulit mendeteksi hoax. Hadirilah sebuah event lalu bandingkan antara apa yang terjadi sepanjang event itu, lalu bandingkan dengan pemberitaan di media. Pasti berbeda; dan lebih sering terjadi, pemberitaan jauh lebih bombastis dibanding kenyataan yang terjadi.
Itu sebabnya, bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya semua berita adalah hoax. Bagaimana tidak, hampir semua "berita tentang" adalah hasil tafsir subyektif dari penulis --- yang mengamati (menyaksikan secara langsung) atau hanya mendengar dari pemesan berita, atau, yang lebih parah lagi hanya membingkai postingan di medsos dari orang-orang yang hadir---- mengenai "apa yang sebenarnya terjadi".
Tasir subyektif ini pulalah yang membuat berita tampak menarik, tepatnya ketika si penulis berita mampu meramu peristiwa yang biasa-biasa saja menjadi berita yang hidup, bahkan menggiring pembaca "seolah-olah hadir dan terlibat" dalam peristiwa tersebut.
Lantas, mengapa sebuah berita bisa dianggap hoax dan melanggar UU ITE? Pertama karena pemberitaan yang ditulis itu bukan "berita tentang peristiwa yang terjadi", melainkan "berita tentang peristiwa yang seolah-olah terjadi". Kedua, karena berita yang ditampilkan belum tentu terjadi, tetapi merupakan hasil ramuan pengarang yang tidak bertanggung jawab.
Kita sama-sama tahu bahwa berita hoax adalah berita tentang apa yang seolah-olah terjadi (dalam bentuk sebuah peristiwa), lalu dikaitkan dengan apa yang benar-benar terjadi (peristiwa yang lain), hingga tampak berhubungan dan tak terpisahkan.
Selain berita hoax, ada juga berita yang diwartakan secara bombastis (hiperbolis) dan sama dengan berita hoax, semakin jauh dari realitas yang sebenarnya, tetapi tidak pernah dipandang sebagai hoax. Bisa jadi karena berita bombastis itu selalu mengangkat subyek atau obyek tertentu secara berlebihan dalam pemberitaannya, dengan maksud untuk menarik perhatian pembaca.
Tak heran ketika berita hiperbolis itu kerap dipandang "benar". Bahkan disaat pembaca atau bagian dari peristiwa yang diberitakan tahu peristiwa yang sesungguhnya, mereka tak protes mengapa momentum atau orang tertentu begitu ditonjolkan.
Kampanye calon kepala daerah, capres, caleg dst hanyalah contoh-contoh kecil tentang pemberitaan hiperbolis ini. Begitu juga berita tentang pesta atau event religius yang kerapa "diaminkan" sebagai panggung untuk mementaskan kesucian.
Itu sebabnya, berita hiperbolis tak selalu dikatikan dengan UU ITE. Penulisan berita hiperbolis malah dipandang benar karena masih berhubungan dengan event yang diberitakan.Di titik inilah kita harus berterimakasih atas lahir dan bertumbuhnya media sosial, tampat di mana kita belajar memposting berbagai ingormasi tentang apa yang kita lihat.
Kampanye calon kepala daerah, capres, caleg dst hanyalah contoh-contoh kecil tentang pemberitaan hiperbolis ini. Begitu juga berita tentang pesta atau event religius yang kerapa "diaminkan" sebagai panggung untuk mementaskan kesucian.
Itu sebabnya, berita hiperbolis tak selalu dikatikan dengan UU ITE. Penulisan berita hiperbolis malah dipandang benar karena masih berhubungan dengan event yang diberitakan.Di titik inilah kita harus berterimakasih atas lahir dan bertumbuhnya media sosial, tampat di mana kita belajar memposting berbagai ingormasi tentang apa yang kita lihat.
Posting Komentar