Aku paling tak suka dikritik bawahanku. Menurutku seorang bawahan itu harus mampu mencari solusi sendiri, dan bila salah ia tak boleh menyalahkan atasannya," curhat seorang manajer kepada wartawan yang menyinggung kebiasaannya.
"Naung rintik do haroa amanta on," kata si wartawan dalam hatinya. Kebetulan saja wartawan yang meng-interview-nya bermarga Simbolon, asli Pangururan.
RINTIK (baca: rittik) dalam bahasa Batak Toba berarti GILA (dalam arti luas), terutama gila dalam arti sosio-psikologis. Bukan gila dalam arti "mengagumkan" seperti biasa diungkapkan orang muda milenial saat ini.
Bagaimana tidak gila. Dia ingin menjadi atasan, tetapi ia justru tidak suka dikritik, apalagi oleh bawahannya. Gilanya lagi, ia boleh mengkritik bawahan, tetapi ia sendiri tidak mau dikritik oleh mereka?
Inilah penyakit kebanyakan orang yang bekerja sebagai pejabat publik. Mereka sering memlih menjadi "jolma na rintik" (orang gila), dalam arti suka bertindak aneh dan tidak waras.
Mereka ini takut dikritik, tetapi doyan mengkritik. Mereka tak mau dipersalahkan bila institusi yang dipimpinnya gagal, tetapi serentak mereka sangat maruk mengharap pujian disaat institusi yang dia pimpin berhasil.
Itu sebabnya banyak lembaga (pemerintah) di negari ini yang tidak berjalan maksimal dalam menggapai target yang telah mereka sepakati bersama. Hal yang sama juga telah meracuni lembaga keagamaan.
Para imam takut dikritik, tetapi serentak doyan mengkritik pimpinan di atasnya, bahkan tanpa rasa hormat: "Saya ini cuma menjalankan tugas dari Bapa Uskup. Jadi kalau ada yang salah, salahkanlah Uskup kalian."
Demikian juga ketika dipersalahkan umat, para imam itu dengan spontan (dan tampaknya itu sudah biasa mereka lakukan) selalu menjawab begini, "Apalah awak ini. Cuma bawahan nya. Apa kata bos ajalah. Kalau bos sendiri tidak konsisten, maka wajar saja kalau awak tak konsisten pula. Awak kan cuma penerus kebijakan!"
Inilah jalan termudah "jolma na rintik" alias orang gila. Mereka selalu menampilkan diri dengan tampang innocent (tanpa rasa bersalah), bahkan ketika orang lain tahu kalau mereka sesungguhnya hanyalah orang yang non-sense.
Inilah kanyataan yang harus kita terima, terutama para bawahan yang akhirnya berjibaku dengan pekerjaannya tanpa bantuan, arahan, dan bimbingan atasannya. Tak sedikit dari antara mereka juga bermental "rintik" tadi, dan mengeluh, "Kek manalah, lae. Nasib awak saja cuma jadi bawahan. Mau bagaimana lagi?"
Jelas sekali, misi dan strategi kerja dari tempat Anda bekerja akan berjalan lambat, justru karena "jolma narintik" (orang gila) seperti contoh-contoh di atas justru yang paling banyak diangkat jadi pejabat.
Posting Komentar