Dunia mengenalnya dan semua pemimpin dunia sangat menghormatinya. Dari Pemerintah kolonial Belanda hingga pemerintah RI di masa Soekarno bahkan sudah merasakan pajaknya. Pengawal dan asisten rumah tangganya bahkan ratusan.
Perusahaannya punya cabang di New York, London, Bangkok, Amsterdam, Hongkong, Shanghai, Singapura, dan Calcutta. Oleh pebisnis Barat ia bahkan digelari "The Rockefeller".
Hanya saja, kita kerap luput dari kisah pilu dibalik kejayaan sang Raja Gula, yang membangun Sam Poo Kong di Semarang ini.
Kisah pilu perjalanan hidup Oei Tiong Ham, dalam tuturan sang putri kesayangannya, Oei Hui Lan ini berhasil dilukiskan dengan ringan oleh penulis muda, Agnes Davonar.
Saya menyebutnya kisah pilu karena kejayaan bisnis ayahnya, Oei Tiong Ham justru berjung pada perpecahan keluarga Oei.
Oei Tiong Ham yang bergelimang harta ini kerap dimanfaatkan oleh istri kedua dan 11 gundiknya. Lebih dari sekedar memanfaatkan, salah seorang gundiknya (yang merupakan keponakan kandung dari istri keduanya) bahkan berupaya menguasai istana sang suami, pun kerajaan bisnisnya.
Tak hanya itu, Oei Tiong Ham juga terlalu memanjakan istri kedua dan dua putri, terutama putri keduanya Oei Hui Lan, putri kesayangannya.
Ada perebutan harta secara diam-diam antara para istri dan anak-anaknya, tetutama setelah sang ayah meninggal.
Kembali pada Oei Hui Lan, ia tak hanya mengelilingi dunia, tapi juga selalu mendapat fasilitas termewah dari ayahnya.
Pendek kata, hidupnya nyaris sempurna. Sang ayah tak pernah menolak permintaannya, kecuali saat ia menikah dengan Wellington Koo, diplomat China yang akhirnya ia ceraikan.
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya," kata sang putri. Ibunya, Goei Bing Nio adalah istri sah versi keluarga, karena istri pertama yang dinikahi Oei Tiong Ham, yakni Raden Adjeng Kasinem, janda keturunan ningrat Jawa yang dicintai hingga dinikahi secara hukum oleh Oei Tiong Ham justru tak diakui keluarga. Perbedaan budaya dan tradisi yang memisahkan mereka.
Selain situasi politik dan perang dunia yang sedang berlangsung, perpecahan keluarga Oei adalah alasan terpenting hancurnya usaha yang telah dirintia dan dibangun sang ayah.
Ayahnya punya banyak gundik dana anak-anak yang hanya ia sendiri yangvtahu jumlahnya semsntara dua putrinya kawin cerai, begitu juga dengan mantan menantu dan cucu-cucunya yang lintas negara juga doyan poligami.
Ada satu hal yang menarik dari penuturan Oei Hui Lan, yang tak lain ia dapatkan dari pemuda Hongkong yang pernah ia puja, "Layang-layang akan terbang selama mungkin, tetapi ia akan jatuh. Setiap pesta akan usai dan kita akan kembali pada hidup normal kita".
Di bab penghujung Oei Hui Lan, juga terinspirasi dati pesan ibunya, bahwa orang semakin tua akan semakin sadar bahwa harta tak dibawa mati. Uang akan habis saat dibelanjakan, dan makin tak bernilai saat diperlakukan sebagai alat tukar untuk membeli apa dan siapa saja yan diinginkan.
Pada akhirnya, harta bisa membahagiakan keluarga, retapi serentak uang pula yang bisa menceraiberaikan keluarga.
#TerimakasihBukunyaLisaHuang
Posting Komentar