Bukan Medan namanya kalau tak punya istilah yang ganjil. Salah satu istilah menarik adalah "berselemak".
"Mak jang, berselemak kali kutengok tim klean ini. Tak jolas arah hidup klean. Ntah siapa bos siapa bawahan tak bisa awak bedakan!"
Dalam bahasa sehari-hari, berselemak itu bisa diartikan rundut (Batak); tidak teratur, acak-acakan (KBBI), belepotan (Sambas).
Dari pengertian di atas, jelas sekali bahwa kata "berselemak" punya 'aroma negatif'. Ya, semacam situasi diluar kewajaran atawa ketidakberaturan.
Dalam batasan tertentu, kalimat "Berselemak kali cara kerja PLN ini" juga cocok dialamatkan kepada manajemen PLN saat terjadi blackout (pemadaman lampu) di Pulau Jawa minggu lalu.
Kendati demikian, kata "berselemak" tak sepenuhnya negatif. Misalkan bayi yang makan dengan mulut berselemak, pelukis abstrak yang rela pakaian hingga bajunya berselemak cat berwarna-warni akibat keba kuas, dst.
Artinya, di level tertentu, situasi "berselemak" bisa jadi merupakan cara kerja, atau (dalam bahasa seniman lukis) sebagai langkah menciptakan pesona keindahan.
Seorang Caleg yang kalah dalam pemilu, tepatnya Pileg bulan April silam mengeluh ke temamnya, "Alamak jang. Duit sudah habis. Tak ada lagi yang tersisa demi membeli suara. Macam mana awak tak kalah, semua tim awak masih keluarga dan teman.
Berselemak kali cara kerja mereka. Kadang kuliat mereka sudah heboh, bahkan merasa lebih caleg dari Awak. Tapi sudahlah, lain kali awak maju tapi maunya pake tenaga profesional sajalah," keluhnya.
Jamak terjadi di negeri ini, proses pemilu, pileg pilkada hingga pilkades tampil berselemak. Kata hanya kata "langsung" dan "umum" yang tersisa dari akrinim "Luber".
"Bebas"? Belum tentu. Paksaan selalu ada dan teror sering dijadikan alasan mengada-ada. Pilpres menjadi contoh, juga pilrg yang melibatkan ASN di tingkat kabupaten.
Lantas, bagaimana dengan "rahasia"? Weleh. Dengan praktik money politic yang seolah-olah wajar dan terhindarkan itu justru telah menghapus kata "rahasia". Kontrak-kontrak politik sudah terjadi, bahkan dengan pengawasan ketat dari pihak si calon terhadap calon pemilihnya. Tak jarang terjadi, si calon sudah tahu siapa yang bakal memilihnya. Soalnya, udah DP coy.
Itu sebabnya istilah "martagi" (menagih uang kembali) dari calon pemilih yang dipandang berhianat oleh caleg. Tak peduli apakag si caleg menang atau kalah.
Inilah buah sistem yang "berselemak" tadi, tepatnya ketika pemerintah dan komunitas mananpun membuat seperangkat aturan yang pasti akan mereka langgar.
Buktinya, disetiap pemilu atau pilkada yang telah terjadi, entah penyelenggara, pemerintah bahkan masyarakat sendiri selalu terlibat langsung dalam sister yang berselemak ini.
Teagisnya, kondisi "berselemak" ini seakan-akan harus bisa kita terima. Ya, seperti perilaku pengendara motor atau monil di Kota Medan yang suka main serobot di lampu merah.
Merela akan selalu bilang, "Acem mana awak mau teratur disaat semua orang melakukan hal yang sama? Berselemaklah semua!"
#SaiNaAdongDo
Posting Komentar