"Ya, ialah. Namanya juara dapat hadiah dong. Kayak om dulu juga gitu, karena ranking 1 dapat banyak hadiah dari dari sekolah. Harus gitu kali, Bagas. Emang masalahnya apa?" jawab si om bernama Holong itu.
"Gini neh om. Aku kan dapat ranking 32," Bagas mulai mengurai rayuan gombalnya.
"Ya. Terus?" tanya si om Holong penasaran.
"Menurut om sendiri, adil enggak sih guru-guru itu? Kenapa enggak semua anak-anak dikasih hadiah? Kayak aku neh. Aku kan udah berusaha jadi juara satu. Emang sih om, aku enggak dapat ranking 1. Tapi kan yang penting aku udah usaha? Lagian, kalau kami semua jadi ranking 1, ntar siapa dong yang ranking 32?" tutur Bagas dengan mata penuh harap.
Tentu saja om-nya mulai menerka-nerka apa maksud keponakannya itu.
"Om jadi bingung neh, Bagas. Benar yang Bagus bilang. Tapi hubungannya sama om apa?" tanya Holong pada keponakannya.
"YESSS! Om memang pinter. Cepet nangkap maksud Bagas," seru Bagas hingga Om nya terkejut. Lalu Bagas melanjutkan, "Om suka enggak membeda-bedakan orang. Ya, misalnya saja om itu guru aku. Terus om akan beda-bedain murid-muridnya enggak? (Om Holong hanya bisa manggut-manggut pertanya setuju).
"Aku ingat banget tuh waktu Om bilang semua anak sama di mata Tuhan. Berarti mau ranking berapa pun dia harusnya dikasih hadiah dong Om? Ya, termasuk aku om," Bagas pun mengurai gombalannya dengan lincah dan genit.
"Gini aja deh, Bagas. Maksud kamu, rangking berapa pun harus dapat hadiah bukan? Lalu, kamu mau hadian apa? tanya Omnya straight to the point.
"Traktur aku makan KFC aja, om. Soalnya, kata temanku yang ranking 36 bernama Bakuneng, dia juga ditraktir papahnya loh makan di KFC. Karena aku dan dia sama-sama ranking 30-an, maka aku juga pengen dapat hadiah yang sama dengan dia deh, Om" jawab Bagas seakan memberi penjelasan.
"Kok cuma KFC sih, Bagas gampang aja. Ya udah kita ntar malam kita makan malam di KFC ya," sela Om nya sambil senyam-senyum.
"Om memang baik. Terimakasih ya Om", jawab Bagas bersemangat.
***
Sistem ranking di sekolah di satu sisi bagus untuk memotivasi anak-anak untuk belajar, sembari mengetahui kapasitasnya dalam hal belajar. Tetapi di sisi lain, sistem ranking yang bertujaun untuk memetakan siapa yang pinter, sedang dan bodoh itu bisa saja mematikan semangat si anak.
Saya kira untuk anak-anak TK, SD, SMP sistem ranking cukuplah diketahui oleh guru dan orangtua/wali murid saja untuk memotivasi mereka.
Mengingat tujuan belajar yang sesungguhnya adalah bagaimana anak bisa menguasai ilmu atau ketrampilan yang diajarkan kepadanya, bukan untuk membandingkannya dengan anak lain, maka guru cukup mengarahkan anak-anak didiknya untuk mengembangkan potensi dan kemampuan khas yang dimiliki masing-masing anak.
Kalaupun sistem ranking tetap dilakukan, hendaknya ranking si anak cukup diketahui oleh guru atau orangtua murid saja. Sistem ranking ini bisa saja dijadikan bahan untuk lebih memotivasi anak, bahan pertimbangan orang tua dalam menyeleksi tingkat pendidikan berikutnya yang pas untuk si anak.
Sebaliknya, jangan sampai pemberian ranking malah dimaksud untuk membedakan besarnya penghargaan yang akan diberikan kepada anak. Bukankah setiap annak harus dihargai apa adanya yaitu sebagai manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya?
Persoalannya, guru-guru kita lebih suka mengajar anak yang ranking 1-10 daripada sabar mengajar anak yang rankin 12-hingga ranking terakhir. Kalau udah begitu, tugas orangtualah yang harus sabar mendididik anaknya di rumah. Tentu dengan caranya sendiri.
Bila penting jangan fokus pada rankingnya, tetapi fokuslah pada usaha yang dilakukan si anak. Setuju? (Lusius)
Posting Komentar