Paus Fransiskus dengan tegas menyorot praktik pelayanan rohani alias "pemberkatan" seseorang/sesuatu oleh imam kepada umatnya dengan praktik rente di atas. Dengan bahasa yang lugas, Paus mengingatkan para pelayan gereja untuk menghilangkan tarif-tarif pelayanan di dalam gereja. Faktanya, tarif-tarif itu lebih sering memberatkan daripada melegakan.
Paus seakan mengingatkan para pembesar dan pejabat gereja pada peristiwa perpecahan dalam tubuh gereja hanya karena penetapan tarif penebusan dosa (indulgentia) demi membangun istana megah bagi para uskup di tahun 1500an.
Gereja memang sebuah lembaga yang hidup seturut perkembangan jaman, tetapi serentak eksistensi gereja justru diharapkan menjadi lembaga yang mengkritisi dan meluruskan kekeliruan jaman. Tak hanya agama Katolik, tetapi praktik rente berkat ini juga menyelimuti semua agama. Bacalah di media mengenai praktik ini.
Banyak pemimpin agama yang berpendapat bahwa praktik rente berkat sebagai akumulasi dari keinginan umat agar lembaga agama mereka harus dikelola seperti perusahaan. Menurut mereka tuntutan umat itulah yang mengakibatkan seluruh aktivitias keagamaan dijalankan layaknya sebuah perusahaan.
Lihat saja, sistem perekrutan umat baru pun dilakukan bak merekrut karyawan perusahaan. Ada pembelajaran dalam jangka waktu tertentu, diikuti test masuk, dan bila lulus test, inaugurasi pun dipublikasi ke khalayak via media. Lebih heboh lagi, apabila rekrutan baru tadi adalah eks anggota agama lain. Pendeknya, ada kompetisi di dalamnya; dan kompetisi antar agama (baca: rebutan umat) itu pun selalu menyisakan kata "tobat" dan "murtad".
Selanjutnya, bila rekrutan baru tadi dipandang cepat berdaptasi, ia akan segera dipromosikan menjadi Sintua, Samaz, Voorhanger, Penatua Jemaatn, Pendeta, Ustadz, bahkan segera akan dilantik menjadi guru agama di agama barunya. Sebagaimana di perusahaan, agama juga mempraktikkan sistem promosi jabatan, yang pada akhirnya berbuntut pada rasa cemburu dari umat lama. Mengapa? Karena rekrutan baru yang telah naik jabatan tadi mendapat banyak kemudahan mendapatkan uang dan menggunakan berbagai fasilitas agama.
Lebih dahsyat lagi, rekrutan baru yang kebetulan seorang pesohor hampir pasi mendapat privelegi dari pemimpin agamanya. Tentu saja, karena keberadaan mereka sangat menguntungkan secara finansial dan kemasyhuran agamanya.
Hanya saja, masih selaras dengan apa yang terjadi di perusahaan, si penjilat pun selalu mendapatkan promosi jabatan. Ia selalu diuntungkan dalam sistem mutasi (perpindahan tugas pelayanan) oleh pimpinan. Hasilnya, sistem mutasi tersebut pun menyisakan pertanyaan reflektif dari para 'korban mutasi ke pedalaman', "Maklumlah saya ini hanya seorang anggota yang tak mampu jadi menjilat pimpinan saya."
Slow but sure, persoalan transparansi keuangan seperti di perusahaan juga pada akhirnya diterapkan oleh para pemimpin agama. Umat mulai menyuarakan transparansi keuangan karena jumlah uang agama semakin menggunung. Kata mereka yang tulus mengkritik, "Seminggu sekali umat memberi kolekte/infaq, tapi kemana semua uang itu? Apakah uang itu dipergunakan untuk gaya hidup borjuis pemimpin agama kita?"
Begitulah umat menuntut laporan Neraca Keuangan agamanya, sebagaimana juga, sebagai warga negara, ia menuntut peruntukan pajak yang dikumpulkan pemerintah. Sepintas, tuntutan ini sangat masuk akal, terutama melihat gaya hidup para imam/pendeta/bante/ustadz di jaman ini yang begitu borjuis dan tampil bak sang kapitalis sejati.
Kenyataannya, para imam itu pun punya kelas tersendiri. Ada yang termasuk golongan Saduki yang dibayar karena talkshow, atau golongan Farisi yang dibayar karena selalu nyinyir dalam syi'ar/pewartaan atau saat berkotbah.
Singkat kata, agama telah gagal memperbaiki dunia. Agama tak mampu menggarami dunia dengan ajarannya, sebaliknya agama justru membuat umatnya geram kepada pimpinan agamanya. Agama juga seakan tak mampu menerangi kegelapan dunia, karena disaat yang sama, para pengajar agama justru menambah gulita dunia karena ajaran mereka untuk memerangi orang diluar agamanya.
Ini terjadi karena para pelayan agama tak lagi memberkati dunia dengan kuasa yang diberikan kepada mereka. Sebaliknya, mereka justru memperjualbelikan 'berkat yang mereka punya' kepada siapa saja yang mampu membayar tumpangan tangan mereka.
Lusius Sinurat
Posting Komentar