Guru adalah guru. Di hatinya adalah menanam "benih" di ladang berkah dan kelak menuai buah berkah di masa mendatang. Hal yang sama berlaku dengan para guru Seminari. Mereka yang memberanikan diri menjadi guru di Seminari adalah guru-guru yang luarbiasa. Mereka bisa disebut sebagai guru benih, tepatnya sebagai guru-guru yang menjadikan dirinya sebagai bagian dari pertumbuhan benih hingga kelak berbuah.
Di titik ini, saya selalu percaya bahwa para guru Seminari menjadi istimewa justru karena mereka tak sekedar pengajar atau pendidik. Mereka juga merangkap sebagai orangtua sekaligus sahabat bagi anak-anak didiknya. Dalam peran-peran itulah para guru Seminari selalu lebih mementingkan tindakan daripada ucapan. Mereka menjadi guru yang nyata karena mereka mengajarkan pendidikan pendidikan yang bajik
Ibu Nelly menjadi salah satu dari guru Seminari tersebut. Sejak awal masuk Seminari dan mengajar bidang studi Matematika, juga bidang studi Kimia, ia merasa harus meningkatkan kualitas kepribadiannya. Kehadirannya sebagai tenaga pendidik di Seminari, bukan saja menjadi tambahan tenaga baru, tetapi juga penambahan jumlah orang bajik bagi pertumbuhan benih bernama "seminaris".
Sebagaimana para guru Seminari yang lebih dahulu mengajar di Seminari, Nelly juga sadar betapa nilai kehidupan manusia di jaman ini hanya akan disebut berharga hanya karena hidup dipandang hanya untuk bekerja. Tetapi di sisi lain ia juga menyadari bahwa ia seorang guru para seminari, para calon imam.
Secara spiritual fakta di atas punya konsekuensi bahwa menjadi guru seminari adalah menjadi pelaksana tugas sang Guru maha agung, yakni Yesus Kristus sendiri. Ia harus menyayangi anak orang lain (para anak didiknya) setelah ia terlebih dahulu menyayangi dirinya sendiri.
Dengan demikian, ia harus tulus dan bijak membina para muridnya dengan cara yang baik. Ia harus menampilkan keteladanan dalam hidupnya. Untuk itu ia harus mampu memohon ke atas (para pimpinan Seminari) dan membimbing ke bawah (para anak didiknya). Sejauh kami alami selama kurun waktu tahun 1993-1997, juga berkat kesaksian mantan Direktur Seminari saat itu, Pastor Anselmus Mahulae, Nelly adalah salah satu guru yang bersumbangsih tanpa pamrih untuk Seminari.
Sebagaimana telah disinggung di atas, cinta kasih yang ia berikan kepada muridnya bersumber dari cintanya pada diri sendiri, entah sebagai pribadi maupun sebagai ibu dan guru. Selama 25 tahun mengabdi Seminari, Nelly tetap konsisten dengan misi dan profesinya sebagai guru, ibu, dan sahabat bagi para Seminaris. Itu karena ia merawat dan menyayangi mereka. Itu adalah tekad awalnya sejak ia bercita-cita sebagai guru.
25 tahun bukanlah waktu yang singkat bagi seorang guru yang mengajar hanya di satu sekolah sepanjang hidupnya. Tetapi, sebagaimana dikatakan Nelly, ia mampu bertahan justru karena ia mengajar dengan ketetapan hatinya misinya, yang kemudian menyatu dengan misi dan konsistensi Seminari mendidik para calon imam.
Seperti kita ketahui, seorang dokter budiman, pastor rendah hati, pengacara penegak kebenaran, bahkan pejabat negara yang bajik pastilah hasil didikan guru berdedikasi. Inilah kebanggaan seorang guru, yakni ketika menyaksikan anak-anak didiknya berhasil.
Di titik inilah guru bisa disebut sebagai insinyur kecerdasan batin. Sedemikian hebatnya posisi seorang guru, sehingga dapat dikatakan bahwa "memiliki seorang guru berdedikasi" jauh lebih baik daripada memiliki sekolah ternama. Sebab guru berdedikasi adalah guru penolong jiwa dan raga yang mampu menyucikan hati mansusia. Tugas ini tentu hanya dapat dilakukan oleh guru berdedikasi, yang memandang bahwa batin murid-muridnya adalah kertas putih yang harus diisi.
Misi seorang guru adalah menyelamatkan batin dengan cara membimbing pelajaran, mendidik manusia dan menyelematkan batin para muridnya. Ajarannya bersumber dari ajaran semesta, tepatnya sang pemilik semesta, yakni Tuhan sendiri. Selanjtnya ia harus mampu menjadi perasaan guru dan murid dengan keyakinan benar, rela berkorban, memiliki sukacita karena tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih seorang guru adalah pahala yang tak terhingga yang ia dapatkan.
Maka menjadi guru adalah pekerjaan yang penuh sukacita dan tanpa pamrih. Pendidikan merupakan proyek harapan kehidupan, tempat di mana benih cinta kasih ditanamkan. Guru itu ibarat petani rajin yang menggarap lahan batin, menggarap ladang berkah, naungan pohon menjadi hutan, serta menjadi hakoda yag mengemudikan murid-muridnya yang hilang arah.
Sementara ilmu pengetahuan yang ia ajarakan harus meresapi pikiran anak-anak didiknya, bahkan ketika hal itu tampak sulit. Guru harus "memaksa" menyeras ilmu pengetahuan yang ia ajarkan seperti tetesan air menembus batu. Sangat jelas bahwa para seminaris adalah anak orang lain. Artinya, guru harus mengajar anak orang lain. Ya, guru adalah tukang mengajar manusia, karena ia adalah guru manusia. Sebagai guru manusia, ia memiliki cinta kasih agung yang ia berikan kepada murid-muridnya tanpa rasa penyesalan.
Seorang guru bekerja memupuk tunas muda menjadi pohon besar. Ia harus melakukan pekerjaannya itu dengan rasa sayang pada tunas muda, membuka pintu hatinya demi menyadarkan para anak didiknya tentang hakikat manusia sebagai mahluk yang bertanggung jawab merawat semesta.
Kehormatan dan Kewibawaan Guru
Sejauh saya dan teman-teman alumni, bagi seorang seminaris, para guru Seminari itu memiliki kehormatan dan kewibawaan dalam diri mereka. Intimitas guru dan murid, para pendidik dan kaum terdidik dalam pendidikan Seminari oleh karenanya selalu didasari oleh cinta kasih, yang tampil dalam rasa hormat murid kepada guru karena kewibawaan mereka.
Di sisi lain, para seminaris tak melulu sebagai boyek pendidikan bagi para guru, tetapi juga ia menjadi subyek yang turut meningkatkan kehormatan dan kewibawaan guru. Begitu juga kepada Seminari, keberadaan Seminaris turut membanngun sistem pendidikan baru yang ideal. Di titik ini para guru selalu menyadari bahwa para seminaris ini dilahirkan oleh orangtuanya, tetapi dialah yang bertugas mendididk mereka.
Dalam kesaksiannya kepada penulis, Nelly mengatakan bahwa kunci keberhasilannya untuk bertahan dan konsisten memberi yang terbaik bagi Seminari adalah sikap bersyukur. Sikap bersyukur inilah yang juga ia hidupi dan ajarkan dalam proses belajar mengajar. Jadi, ia tak sekedar mengajar tentang matematika, tetapi serentak ia juga mengajarkan sikap bersyukur, karena baginya, hanya di Seminari hidup panggilan diperhitungkan.
Mata pelajaran Matematika, oleh karenanya adalah ilmu hidup, teptanya ilmu yang memperhitungkan panggilan para seminaris, entah sebagai apa mereak kelak, tetapi terutama bagi mereka yang kelak menjadi imam bagi gerejaNya.
Belajar bersyukur itu ia tampilkan di kelas dan dalam setiap event di Seminari, terutama lwata semangat kemanusiaan berikut. Ia mengajar dengan bahasa yang mudah dimengerti dan berupaya menghubungkan pelajar matematika dengan kenyataan hidup, entah sebagai apa pun kelak.
Masih bagi Nelly, mengajar itu bak menciptakan berkah di/bagi dunia. Seorang guru akan membabarkan ajaran dan penerapan dari ajaran itu secara nyata. Untuk itu ia harus lebih menitikberatkan kualitas dibanding watak.
Untuk sampai ke sana, Nelly selalu berupaya menunjukkan kebenaran melalui studi-studi kasus. Ringkasnya, gurru juga melaksanakan apa yang diajarkan sama halnya dengen melaksanakan yang dipelajari. Bau deh setelah melaksanakannya, ia bebas barulah berbicara.
Ia harus mampu mempraktikkan pengajaran yang efektif, yakni sebuah keterampilan yang (men)dala demi membimbing persepsi para murid tentang semesta. Pendek kata, menjadi guru yang efektif adalah menjadi guru yang berhenti, mendengar, melihat dan jalan.
*****
"Memperhitungkan Panggilan - 25 Tahun Mendidik Seminaris" adalah judul memoar yang memuat satu sisi perjalanan hidup tokoh pendidik, bernama Dra. Nelliana Sitanggang. Nelly adalah guru bidang studi Matematika di Seminaris Menengah Christus Sacerdos Pematangsiantar, tempat pendidikan awal calon imam Katolik.
Pengalaman hidup Nelly yang dibingkai dalam konteks “25 Tahun Mengajar” di Seminari menengah Christus Sacerdos Pematangsiantar ini mengurai berbagai pengalaman awal mengajar di Seminari, penemuan karakter khas saat mengajar, kemampuan memanfaatkan peluang dan daya tahan selama 25 tahun hanya mengajar remaja pria.
Sebagai angkatan pertama yang diajar Nelly, Probatorium 1993, kami sungguh belajar banyak dari "daya tahan dan konsistensi" Nelly selama mengajar di Seminari. Bagaimana tidak, sudah ada beberapa guru yang hanya bertahan sehari, tiga hari, seminggu bahkan hanya sebulan mengajar di Seminari. Nelly tidak. Ia tetap bertahan.
Tepat 25 tahun silam, pada tanggal 16 Juli 1993 Dra. Nellianna Sitanggang mulai berkarya di Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS) Pematang Siantar. Jarang sekali seorang gadis yang bahkan masih sedang kuliah berani melamar pekerjaan sebagai guru di Seminari. Bagaimana tidak, rata-rata guru senior di Seminari kala itu adalah alumni IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, atau minimal alumni STFT St. Yohanes Pematang Siantar.
Bu Nelly, begitu ia akrab disapa muridnya, tergolong ganjil, kalau tidak bisa dikatakan nekat. Tentu saja ia tahu bahwa Seminaris (sebutan untuk siswa Seminari) yang akan diajarnya adalah kumpulan orang pilihan. Selain batas minimal IQ di atas standar, nilai kumulatif selama SMP, seorang baru bisa menyebut dirinya bila ia telah lulus psikotest dan wawancara tentang motivasinya ingin menjadi pastor. Entah darimana kekuatannya datang saat ia berani melamar menjadi guru bidang studi Matematika di Seminari.
Faktanya ia lulus test masuk hingga diterima jadi salah satu guru di Seminari. Ringkasnya, ia pun mulai mengajar sembari menuntaskan kuliahnya pada semester terakhir di UN-HKBP Pematang Siantar.
Ia mendapatkan jatah 12 jam pelajaran selama seminggu. Karena guru Matematika di Seminari saat itu sudab cukup, maka untuk melengkapi jam mengajarnya ia juga diberi tanggung jawab mengajar bidang studi Kimia.
Kini, 25 tahun sudah ia mengajar, mulai dengan status honorer hingga menjadi guru tetap. Berbagai suka dan duka datang silih berganti. Nyatanya ia sedih saat ada Seminaris yang mundur atau diekkes (istilah Seminaris untuk siswa yang dikeluarkan).
Tetapi jauh lebih mendominasi hidup Nelly adalah pengalaman suka dan bahagia. Semakin hari ia semakin menikmati pelayanannya sebagai guru, pendamping belajar sekaligus teman bagi siswa-siswa yang diajarnya. Jauh lebih membahagiakan dia adalah ketika murid-murid yang pernah diajarnya telah menjadi pastor dan awam yang sukses.
Terkait hal ini Nelly selalu mengungkapkan kebanggaan nya pada para murid dan mantan muridnya di akun media sosialnya...
"Bahagia sekali jadi guru Seminari. Kemana saja pergi mereka selalu menyambut hangat dan selalu memperkenalkan saya sebagai gurunya di Seminari."
Kepada kami, para murid pertamanya di Seminari, Probatorium 1993, ia selalu berbagi kisahnya. Setiap kami mengadakan reuni atau kumpul-kumpul, pun sekedar jalan-jalan ke Siantar, ia selalu hadir.
"Kurasa jadi guru Seminari lah yang paling enak. Mau ke kota mana pun awak di Indonesia ini, selalu bertemu dengan mantan murid. Tak hanya itu, terkadang awak di service abis bah," katanya dengan logat Bataknya sembari tertawa senang.
Saat saya tanya tentang "power atau energy" apa yang membuatnya bertahan, Nelly menjawab enteng, "Saya percaya Tuhanyang menempatkan saya melayani Seminaris di SMCH Pematang Siantar ini," jawabnya dengan mata berkaca-kaca.
Benar saja, menurut pengakuan Nelly, ia pernah juga tergoda ikut tes CPNS, mengajar di sekolah lain, bahkan ia nyaris ingin meninggalkan SMCS karena teman-teman kuliahnya yang prestasinya masih jauh dibawahnya justru menang test CPNS dan kini telah menjadi PNS sepenuhnya.
Tapi ada sesuatu hal yang membuat hatinya tertambat di Seminari. Bukan tak pernah ia mencoba mengajar paruh waktu di SMA Bintang Timur, membuka kelas tambahan untuk persiapan UN siswa-siswi SMA di luar seminari.
Namun Nelly selalu merasa bahwa tak ada siswa SMA yang lebih kritis namun cerdas selain siswa-siswanya di SMCS. Itu baru satu tali pengikat cintanya ke Seminari. Hal lain yang paling ia rasakan turut membentuk kepribadian dan kemajuan karirnya adalah dukungan tulus dari Direktur Seminari kala itu, Pastor Anselmus Mahulae OFM Cap. Pastor Anselmus lah yang mentertawakan Nelly saat ia dikerjain siswa-siswa "angkatan nya", Grammatica 1994.
Kala itu kami secara kompak keluar kelas Matematika , kecuali dua teman kami yang merasa kasihan dengan Nelly. Grammatica 1994 (kelas 1 SMA) kesal dengan perubahan style mengajar Nelly secara tiba-tiba.
Berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini (1994) ia justru berupaya tampil aneh. Ia sok tegas dan keras. Bahkan terkesan mengajar kami seperti mengajar anak-anak Sekolah Minggu. Karena kami tahu saat itu ia tak tampil orisinal, alias bukan sebagai Nelly yang biasa kami kenal, maka kami pun walk out sepanjang pelajarannya.
"Kemana semua orang? Kemana teman-teman kalian? Kok hanya kalian berdua tang tinggal di ruangan ini?' tanya Nelly kepada Leo"Cucuk" yang memang tak mau ikutan walk out karena hatinya sangat lembut.
"Mereka di taman bacaan bu. Mereka gak mau lagi diajari sama Ibu Nelly. Kata meteka ibu berbeda sekarang. Sudah enggak asyik lagi," jawab Leo polos.
Nelly terdiam sejenak. Ia termangu di meja guru dan air matanya mengalir. Ya, Nelly menangis. Hanya saja ia tak mau terlihat lemah didepan dua muridnya yang tersisa di dalam kelas. Nelly membereskan bukunya. Ia ke kantor guru sebentar hingga beranjak menemui sang Direktur SMCH, Pastor Anselmus Mahulae OFM Cap.
"Pastor, saya mau mundur, karena merasa tidak dihargai lagi sama murid-murid saya. Mereka semua walk out dan tak mau menghadiri kelas saya," ungkap Nelly sembari tersedu.
"Oh ya? Ha ha ha... anak-anak Seminari memang suka begitu, bu. Maklumlah remaja yang sedang akil balik dan butuh perhatian," jawab Pastor Anselmus sambil tertawa.
"Tapi mereka tidak biasanya begitu pastor. Baru kali ini mereka sampai walk out dan tak mau saya ajar. Saya kenal mereka tahun 1993 lalu saat di Probatorium," Nelly mencoba membela diri.
"Begitu rupanya ya, bu. Kalau begitu, jangan-jangan anak-anak itu yang tiba-tiba tak mengenal ibu Nelly. Misalnya cara mengajar yang beda dan pendekatan yang tidak biasa," Pastor Anselmus mencoba menebak apa yang terjadi, tepatnya ia menduga kalau Nelly juga salah.
"Ya, memang pastor. Itu juga dikatakan secara eksplisit oleh 2 anak yang tetap tinggal di ruang kelas tadi. Jujur saja, saya memang mencoba saran seorang guru yang dekat dengan saya. Katanya saya harus tegas supaya dihargai oleh murid-murid saya," Nelly malah curhat secara jujur dan mencoba menganalisa bahwa murid-murid nya walk out karena dia taka tampil jadi dirinya sendiri.
Benar apa yang ada di pikiran Pastor Anselmus. Pasti Nelly juga salah. Sebagi seorang pendidik Nelly harus tampil sebagai dirinya, jujur pada diri dan murid-murid nya saat berada di depan kelas.
"So, just be yourself, Nelly," nasihat Pastor Anselmus sambil meninggalkan Nelly di ruangannya seraya tersenyum.
Bagi Nelly, (1) pengalaman tahun 1994 dengan kelas Grammatica B dan touching verbal dari Pastor Anselmus adalah fondasi awal bagi karirnya sebagai guru di Seminari. Selain itu, (2) teguran penuh ketulusan dari almarhum ayahnya saat Nelly diam-diam berniat ikutan tes CPNS adalah hal penting lain yang membuatnya tetap bertahan di Seminari.
"Boru hasian (putriku tersayang), kamu boleh keluar dari Seminari, tapi setelah Seminari tutup. Selagi Seminari masih ada, kau harus tetap mengajar du sana. Disitu panggilanmu boruku. Lagipula kurang baik apa Pastor Anselmus itu ke kamu dan keluarga kita?" nasihat sang ayah yang purnawirawan polisi itu.
Alasan lain mengapa Nelly tetap bertahan di Seminari, ya karena (3) para seminaris itu sendiri, yakni murid-murid yang ia ajar.
"Sikap kritis dan penuh kejutan dari Seminaris saat di ruang kelas sungguh membuat saya harus selalu mempersiapkan bahan ajar saya, sekaligus dituntut harus membaca lebih banyak buku, khususnya perkembangan ilmu matematika teranyar," kisah Nelly kepada saya saat Reuni akhir bulan Juni lalu.
Akhirnya, bertahan hingga 25 tahun sebagai guru Matematika di Seminari, tepanya pada hari ini (16/7) bagi Nelly adalah bentuk kasih nyata dari Tuhan serta dukungan dari keluarga, kerabat, seluruh srakeholders Seminari, para seminaris, dan rekan-rekannya di lingkungan Gereja. Selain buah yang ia petik berupa keberhasilan mantan anak didiknya bersama para pastor, bruder, suster, para guru dan staf Seminari, Nelly juga merasa dirinya turut berbuah.
"Mengajar di Seminari adalah kebahagiaanku. Bergaul dengan seluruh stakeholders Seminari dan terutama dalam perjumpaan di ruang kelas dengan para Seminaris, saya merasa diri sebagai guru yang paling cantik (saingannya para guru cowok dan guru yang sudah senior sih haha), makin percaya diri, makin cerdas, dan makin termotivasi untuk berbuat lebih kepada Seminari," tutur Nelly dengan mata berkaca-kaca
Akhirnya, dalam rangka 25 tahun mengabdi Seminari Christus Sacerdos Pematang Siantar, Nelly merasa sangat bersyukur, "Kendati awalnya tak mudah bagi saya, namun berkat para Seminaris semuanya mampu saya lalui dengan baik.
Seminari sungguh menguatkan panggilan jiwa saya seturut semakin bertumbuhnya pula panggilan mereka, entah kelak mereka jadi pastor, bruder, atau menjadi awam yang mumpuni ditengah masyarakat. Sekali lagi, Seminari adalah wahana di mana pemikiran, perilaku dan panggilan saya sebagai seorang Katolik semakin bertumbuh." tutup Nelly.
Selamat atas pengabdian 25 Tahun di Seminari Menengah Christus Sacerdos Pematang Siantar untuk ibu Dra. NellianaSitanggang (1993 - 16 Juli - 2018)
Ibu Nelly menjadi salah satu dari guru Seminari tersebut. Sejak awal masuk Seminari dan mengajar bidang studi Matematika, juga bidang studi Kimia, ia merasa harus meningkatkan kualitas kepribadiannya. Kehadirannya sebagai tenaga pendidik di Seminari, bukan saja menjadi tambahan tenaga baru, tetapi juga penambahan jumlah orang bajik bagi pertumbuhan benih bernama "seminaris".
Sebagaimana para guru Seminari yang lebih dahulu mengajar di Seminari, Nelly juga sadar betapa nilai kehidupan manusia di jaman ini hanya akan disebut berharga hanya karena hidup dipandang hanya untuk bekerja. Tetapi di sisi lain ia juga menyadari bahwa ia seorang guru para seminari, para calon imam.
Secara spiritual fakta di atas punya konsekuensi bahwa menjadi guru seminari adalah menjadi pelaksana tugas sang Guru maha agung, yakni Yesus Kristus sendiri. Ia harus menyayangi anak orang lain (para anak didiknya) setelah ia terlebih dahulu menyayangi dirinya sendiri.
Dengan demikian, ia harus tulus dan bijak membina para muridnya dengan cara yang baik. Ia harus menampilkan keteladanan dalam hidupnya. Untuk itu ia harus mampu memohon ke atas (para pimpinan Seminari) dan membimbing ke bawah (para anak didiknya). Sejauh kami alami selama kurun waktu tahun 1993-1997, juga berkat kesaksian mantan Direktur Seminari saat itu, Pastor Anselmus Mahulae, Nelly adalah salah satu guru yang bersumbangsih tanpa pamrih untuk Seminari.
Sebagaimana telah disinggung di atas, cinta kasih yang ia berikan kepada muridnya bersumber dari cintanya pada diri sendiri, entah sebagai pribadi maupun sebagai ibu dan guru. Selama 25 tahun mengabdi Seminari, Nelly tetap konsisten dengan misi dan profesinya sebagai guru, ibu, dan sahabat bagi para Seminaris. Itu karena ia merawat dan menyayangi mereka. Itu adalah tekad awalnya sejak ia bercita-cita sebagai guru.
25 tahun bukanlah waktu yang singkat bagi seorang guru yang mengajar hanya di satu sekolah sepanjang hidupnya. Tetapi, sebagaimana dikatakan Nelly, ia mampu bertahan justru karena ia mengajar dengan ketetapan hatinya misinya, yang kemudian menyatu dengan misi dan konsistensi Seminari mendidik para calon imam.
Seperti kita ketahui, seorang dokter budiman, pastor rendah hati, pengacara penegak kebenaran, bahkan pejabat negara yang bajik pastilah hasil didikan guru berdedikasi. Inilah kebanggaan seorang guru, yakni ketika menyaksikan anak-anak didiknya berhasil.
Di titik inilah guru bisa disebut sebagai insinyur kecerdasan batin. Sedemikian hebatnya posisi seorang guru, sehingga dapat dikatakan bahwa "memiliki seorang guru berdedikasi" jauh lebih baik daripada memiliki sekolah ternama. Sebab guru berdedikasi adalah guru penolong jiwa dan raga yang mampu menyucikan hati mansusia. Tugas ini tentu hanya dapat dilakukan oleh guru berdedikasi, yang memandang bahwa batin murid-muridnya adalah kertas putih yang harus diisi.
Misi seorang guru adalah menyelamatkan batin dengan cara membimbing pelajaran, mendidik manusia dan menyelematkan batin para muridnya. Ajarannya bersumber dari ajaran semesta, tepatnya sang pemilik semesta, yakni Tuhan sendiri. Selanjtnya ia harus mampu menjadi perasaan guru dan murid dengan keyakinan benar, rela berkorban, memiliki sukacita karena tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih seorang guru adalah pahala yang tak terhingga yang ia dapatkan.
Maka menjadi guru adalah pekerjaan yang penuh sukacita dan tanpa pamrih. Pendidikan merupakan proyek harapan kehidupan, tempat di mana benih cinta kasih ditanamkan. Guru itu ibarat petani rajin yang menggarap lahan batin, menggarap ladang berkah, naungan pohon menjadi hutan, serta menjadi hakoda yag mengemudikan murid-muridnya yang hilang arah.
Sementara ilmu pengetahuan yang ia ajarakan harus meresapi pikiran anak-anak didiknya, bahkan ketika hal itu tampak sulit. Guru harus "memaksa" menyeras ilmu pengetahuan yang ia ajarkan seperti tetesan air menembus batu. Sangat jelas bahwa para seminaris adalah anak orang lain. Artinya, guru harus mengajar anak orang lain. Ya, guru adalah tukang mengajar manusia, karena ia adalah guru manusia. Sebagai guru manusia, ia memiliki cinta kasih agung yang ia berikan kepada murid-muridnya tanpa rasa penyesalan.
Seorang guru bekerja memupuk tunas muda menjadi pohon besar. Ia harus melakukan pekerjaannya itu dengan rasa sayang pada tunas muda, membuka pintu hatinya demi menyadarkan para anak didiknya tentang hakikat manusia sebagai mahluk yang bertanggung jawab merawat semesta.
Kehormatan dan Kewibawaan Guru
Sejauh saya dan teman-teman alumni, bagi seorang seminaris, para guru Seminari itu memiliki kehormatan dan kewibawaan dalam diri mereka. Intimitas guru dan murid, para pendidik dan kaum terdidik dalam pendidikan Seminari oleh karenanya selalu didasari oleh cinta kasih, yang tampil dalam rasa hormat murid kepada guru karena kewibawaan mereka.
Di sisi lain, para seminaris tak melulu sebagai boyek pendidikan bagi para guru, tetapi juga ia menjadi subyek yang turut meningkatkan kehormatan dan kewibawaan guru. Begitu juga kepada Seminari, keberadaan Seminaris turut membanngun sistem pendidikan baru yang ideal. Di titik ini para guru selalu menyadari bahwa para seminaris ini dilahirkan oleh orangtuanya, tetapi dialah yang bertugas mendididk mereka.
Dalam kesaksiannya kepada penulis, Nelly mengatakan bahwa kunci keberhasilannya untuk bertahan dan konsisten memberi yang terbaik bagi Seminari adalah sikap bersyukur. Sikap bersyukur inilah yang juga ia hidupi dan ajarkan dalam proses belajar mengajar. Jadi, ia tak sekedar mengajar tentang matematika, tetapi serentak ia juga mengajarkan sikap bersyukur, karena baginya, hanya di Seminari hidup panggilan diperhitungkan.
Mata pelajaran Matematika, oleh karenanya adalah ilmu hidup, teptanya ilmu yang memperhitungkan panggilan para seminaris, entah sebagai apa mereak kelak, tetapi terutama bagi mereka yang kelak menjadi imam bagi gerejaNya.
Belajar bersyukur itu ia tampilkan di kelas dan dalam setiap event di Seminari, terutama lwata semangat kemanusiaan berikut. Ia mengajar dengan bahasa yang mudah dimengerti dan berupaya menghubungkan pelajar matematika dengan kenyataan hidup, entah sebagai apa pun kelak.
Masih bagi Nelly, mengajar itu bak menciptakan berkah di/bagi dunia. Seorang guru akan membabarkan ajaran dan penerapan dari ajaran itu secara nyata. Untuk itu ia harus lebih menitikberatkan kualitas dibanding watak.
Untuk sampai ke sana, Nelly selalu berupaya menunjukkan kebenaran melalui studi-studi kasus. Ringkasnya, gurru juga melaksanakan apa yang diajarkan sama halnya dengen melaksanakan yang dipelajari. Bau deh setelah melaksanakannya, ia bebas barulah berbicara.
Ia harus mampu mempraktikkan pengajaran yang efektif, yakni sebuah keterampilan yang (men)dala demi membimbing persepsi para murid tentang semesta. Pendek kata, menjadi guru yang efektif adalah menjadi guru yang berhenti, mendengar, melihat dan jalan.
*****
"Memperhitungkan Panggilan - 25 Tahun Mendidik Seminaris" adalah judul memoar yang memuat satu sisi perjalanan hidup tokoh pendidik, bernama Dra. Nelliana Sitanggang. Nelly adalah guru bidang studi Matematika di Seminaris Menengah Christus Sacerdos Pematangsiantar, tempat pendidikan awal calon imam Katolik.
Pengalaman hidup Nelly yang dibingkai dalam konteks “25 Tahun Mengajar” di Seminari menengah Christus Sacerdos Pematangsiantar ini mengurai berbagai pengalaman awal mengajar di Seminari, penemuan karakter khas saat mengajar, kemampuan memanfaatkan peluang dan daya tahan selama 25 tahun hanya mengajar remaja pria.
Sebagai angkatan pertama yang diajar Nelly, Probatorium 1993, kami sungguh belajar banyak dari "daya tahan dan konsistensi" Nelly selama mengajar di Seminari. Bagaimana tidak, sudah ada beberapa guru yang hanya bertahan sehari, tiga hari, seminggu bahkan hanya sebulan mengajar di Seminari. Nelly tidak. Ia tetap bertahan.
Tepat 25 tahun silam, pada tanggal 16 Juli 1993 Dra. Nellianna Sitanggang mulai berkarya di Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS) Pematang Siantar. Jarang sekali seorang gadis yang bahkan masih sedang kuliah berani melamar pekerjaan sebagai guru di Seminari. Bagaimana tidak, rata-rata guru senior di Seminari kala itu adalah alumni IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, atau minimal alumni STFT St. Yohanes Pematang Siantar.
Bu Nelly, begitu ia akrab disapa muridnya, tergolong ganjil, kalau tidak bisa dikatakan nekat. Tentu saja ia tahu bahwa Seminaris (sebutan untuk siswa Seminari) yang akan diajarnya adalah kumpulan orang pilihan. Selain batas minimal IQ di atas standar, nilai kumulatif selama SMP, seorang baru bisa menyebut dirinya bila ia telah lulus psikotest dan wawancara tentang motivasinya ingin menjadi pastor. Entah darimana kekuatannya datang saat ia berani melamar menjadi guru bidang studi Matematika di Seminari.
Faktanya ia lulus test masuk hingga diterima jadi salah satu guru di Seminari. Ringkasnya, ia pun mulai mengajar sembari menuntaskan kuliahnya pada semester terakhir di UN-HKBP Pematang Siantar.
Ia mendapatkan jatah 12 jam pelajaran selama seminggu. Karena guru Matematika di Seminari saat itu sudab cukup, maka untuk melengkapi jam mengajarnya ia juga diberi tanggung jawab mengajar bidang studi Kimia.
Kini, 25 tahun sudah ia mengajar, mulai dengan status honorer hingga menjadi guru tetap. Berbagai suka dan duka datang silih berganti. Nyatanya ia sedih saat ada Seminaris yang mundur atau diekkes (istilah Seminaris untuk siswa yang dikeluarkan).
Tetapi jauh lebih mendominasi hidup Nelly adalah pengalaman suka dan bahagia. Semakin hari ia semakin menikmati pelayanannya sebagai guru, pendamping belajar sekaligus teman bagi siswa-siswa yang diajarnya. Jauh lebih membahagiakan dia adalah ketika murid-murid yang pernah diajarnya telah menjadi pastor dan awam yang sukses.
Terkait hal ini Nelly selalu mengungkapkan kebanggaan nya pada para murid dan mantan muridnya di akun media sosialnya...
"Bahagia sekali jadi guru Seminari. Kemana saja pergi mereka selalu menyambut hangat dan selalu memperkenalkan saya sebagai gurunya di Seminari."
Kepada kami, para murid pertamanya di Seminari, Probatorium 1993, ia selalu berbagi kisahnya. Setiap kami mengadakan reuni atau kumpul-kumpul, pun sekedar jalan-jalan ke Siantar, ia selalu hadir.
"Kurasa jadi guru Seminari lah yang paling enak. Mau ke kota mana pun awak di Indonesia ini, selalu bertemu dengan mantan murid. Tak hanya itu, terkadang awak di service abis bah," katanya dengan logat Bataknya sembari tertawa senang.
Saat saya tanya tentang "power atau energy" apa yang membuatnya bertahan, Nelly menjawab enteng, "Saya percaya Tuhanyang menempatkan saya melayani Seminaris di SMCH Pematang Siantar ini," jawabnya dengan mata berkaca-kaca.
Benar saja, menurut pengakuan Nelly, ia pernah juga tergoda ikut tes CPNS, mengajar di sekolah lain, bahkan ia nyaris ingin meninggalkan SMCS karena teman-teman kuliahnya yang prestasinya masih jauh dibawahnya justru menang test CPNS dan kini telah menjadi PNS sepenuhnya.
Tapi ada sesuatu hal yang membuat hatinya tertambat di Seminari. Bukan tak pernah ia mencoba mengajar paruh waktu di SMA Bintang Timur, membuka kelas tambahan untuk persiapan UN siswa-siswi SMA di luar seminari.
Namun Nelly selalu merasa bahwa tak ada siswa SMA yang lebih kritis namun cerdas selain siswa-siswanya di SMCS. Itu baru satu tali pengikat cintanya ke Seminari. Hal lain yang paling ia rasakan turut membentuk kepribadian dan kemajuan karirnya adalah dukungan tulus dari Direktur Seminari kala itu, Pastor Anselmus Mahulae OFM Cap. Pastor Anselmus lah yang mentertawakan Nelly saat ia dikerjain siswa-siswa "angkatan nya", Grammatica 1994.
Kala itu kami secara kompak keluar kelas Matematika , kecuali dua teman kami yang merasa kasihan dengan Nelly. Grammatica 1994 (kelas 1 SMA) kesal dengan perubahan style mengajar Nelly secara tiba-tiba.
Berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini (1994) ia justru berupaya tampil aneh. Ia sok tegas dan keras. Bahkan terkesan mengajar kami seperti mengajar anak-anak Sekolah Minggu. Karena kami tahu saat itu ia tak tampil orisinal, alias bukan sebagai Nelly yang biasa kami kenal, maka kami pun walk out sepanjang pelajarannya.
"Kemana semua orang? Kemana teman-teman kalian? Kok hanya kalian berdua tang tinggal di ruangan ini?' tanya Nelly kepada Leo"Cucuk" yang memang tak mau ikutan walk out karena hatinya sangat lembut.
"Mereka di taman bacaan bu. Mereka gak mau lagi diajari sama Ibu Nelly. Kata meteka ibu berbeda sekarang. Sudah enggak asyik lagi," jawab Leo polos.
Nelly terdiam sejenak. Ia termangu di meja guru dan air matanya mengalir. Ya, Nelly menangis. Hanya saja ia tak mau terlihat lemah didepan dua muridnya yang tersisa di dalam kelas. Nelly membereskan bukunya. Ia ke kantor guru sebentar hingga beranjak menemui sang Direktur SMCH, Pastor Anselmus Mahulae OFM Cap.
"Pastor, saya mau mundur, karena merasa tidak dihargai lagi sama murid-murid saya. Mereka semua walk out dan tak mau menghadiri kelas saya," ungkap Nelly sembari tersedu.
"Oh ya? Ha ha ha... anak-anak Seminari memang suka begitu, bu. Maklumlah remaja yang sedang akil balik dan butuh perhatian," jawab Pastor Anselmus sambil tertawa.
"Tapi mereka tidak biasanya begitu pastor. Baru kali ini mereka sampai walk out dan tak mau saya ajar. Saya kenal mereka tahun 1993 lalu saat di Probatorium," Nelly mencoba membela diri.
"Begitu rupanya ya, bu. Kalau begitu, jangan-jangan anak-anak itu yang tiba-tiba tak mengenal ibu Nelly. Misalnya cara mengajar yang beda dan pendekatan yang tidak biasa," Pastor Anselmus mencoba menebak apa yang terjadi, tepatnya ia menduga kalau Nelly juga salah.
"Ya, memang pastor. Itu juga dikatakan secara eksplisit oleh 2 anak yang tetap tinggal di ruang kelas tadi. Jujur saja, saya memang mencoba saran seorang guru yang dekat dengan saya. Katanya saya harus tegas supaya dihargai oleh murid-murid saya," Nelly malah curhat secara jujur dan mencoba menganalisa bahwa murid-murid nya walk out karena dia taka tampil jadi dirinya sendiri.
Benar apa yang ada di pikiran Pastor Anselmus. Pasti Nelly juga salah. Sebagi seorang pendidik Nelly harus tampil sebagai dirinya, jujur pada diri dan murid-murid nya saat berada di depan kelas.
"So, just be yourself, Nelly," nasihat Pastor Anselmus sambil meninggalkan Nelly di ruangannya seraya tersenyum.
Bagi Nelly, (1) pengalaman tahun 1994 dengan kelas Grammatica B dan touching verbal dari Pastor Anselmus adalah fondasi awal bagi karirnya sebagai guru di Seminari. Selain itu, (2) teguran penuh ketulusan dari almarhum ayahnya saat Nelly diam-diam berniat ikutan tes CPNS adalah hal penting lain yang membuatnya tetap bertahan di Seminari.
"Boru hasian (putriku tersayang), kamu boleh keluar dari Seminari, tapi setelah Seminari tutup. Selagi Seminari masih ada, kau harus tetap mengajar du sana. Disitu panggilanmu boruku. Lagipula kurang baik apa Pastor Anselmus itu ke kamu dan keluarga kita?" nasihat sang ayah yang purnawirawan polisi itu.
Alasan lain mengapa Nelly tetap bertahan di Seminari, ya karena (3) para seminaris itu sendiri, yakni murid-murid yang ia ajar.
"Sikap kritis dan penuh kejutan dari Seminaris saat di ruang kelas sungguh membuat saya harus selalu mempersiapkan bahan ajar saya, sekaligus dituntut harus membaca lebih banyak buku, khususnya perkembangan ilmu matematika teranyar," kisah Nelly kepada saya saat Reuni akhir bulan Juni lalu.
Akhirnya, bertahan hingga 25 tahun sebagai guru Matematika di Seminari, tepanya pada hari ini (16/7) bagi Nelly adalah bentuk kasih nyata dari Tuhan serta dukungan dari keluarga, kerabat, seluruh srakeholders Seminari, para seminaris, dan rekan-rekannya di lingkungan Gereja. Selain buah yang ia petik berupa keberhasilan mantan anak didiknya bersama para pastor, bruder, suster, para guru dan staf Seminari, Nelly juga merasa dirinya turut berbuah.
"Mengajar di Seminari adalah kebahagiaanku. Bergaul dengan seluruh stakeholders Seminari dan terutama dalam perjumpaan di ruang kelas dengan para Seminaris, saya merasa diri sebagai guru yang paling cantik (saingannya para guru cowok dan guru yang sudah senior sih haha), makin percaya diri, makin cerdas, dan makin termotivasi untuk berbuat lebih kepada Seminari," tutur Nelly dengan mata berkaca-kaca
Akhirnya, dalam rangka 25 tahun mengabdi Seminari Christus Sacerdos Pematang Siantar, Nelly merasa sangat bersyukur, "Kendati awalnya tak mudah bagi saya, namun berkat para Seminaris semuanya mampu saya lalui dengan baik.
Seminari sungguh menguatkan panggilan jiwa saya seturut semakin bertumbuhnya pula panggilan mereka, entah kelak mereka jadi pastor, bruder, atau menjadi awam yang mumpuni ditengah masyarakat. Sekali lagi, Seminari adalah wahana di mana pemikiran, perilaku dan panggilan saya sebagai seorang Katolik semakin bertumbuh." tutup Nelly.
Selamat atas pengabdian 25 Tahun di Seminari Menengah Christus Sacerdos Pematang Siantar untuk ibu Dra. NellianaSitanggang (1993 - 16 Juli - 2018)
Posting Komentar