Maka, dalam konteks perayaan keagamaan di balai agung, akan tampak wajar saja bila umat yang hadir bukanlah umat yang biasa nongol di rumah ibadah setiap minggunya, melainkan hanya umat yang diundang (undangan dengan kartu undangan terverifikasi).
Itu berarti si umat yang diundang tadi "harus" melunasi HTM (Harga Tiket Masuk) hall yang disewa pihak panitia. Atau, untuk menutupi biaya pesat yang menggapai milyaran rupiah, panitia pun harus kreatif, seperti segala bentuk atribut pestawan atau menggalang dana dari para sponsor (pebisnis).
Kondisi ini pasti berbeda dengan pesta rakyat di jaman dahulu yang dirayakan di lapangan terbuka (konon kebiasaan ini mencontoh kebiasaan perayaan besar kegamaan juga) dan selalu terbuka bagi siapapun yang ingin hadir. Pasti, tak mengharuskan kartu undangan resmi dan terverifikasi kepada among tamu saat memasuki area pesta.
Kebiasaan pesta mewah ini bahkan sering lebih mahal daripada pesta yang berlangsung di gelanggang politik. Tepatnya, saat khalayak yang diundang untuk memilih capres dan caleg seringkali diberi sejumlah uang sebagai HTM (harga tiket masuk) menuju kotak suara.
Di titik ini, kelimpahan "berkat Tuhan" dalam bentuk uang telah menjadi kunci kesuksesan sebuah pesta "rakyat" dan pesta keagamaan yang amat meriah itu.
Selamat Pesta bagi siapapun yang sedang/akan berpesta!
Lusius Sinurat
Posting Komentar