iCnHAQF62br424F1oK8RwyEkyucx21kDoKaV2DdH

Saat Sekolah "Hebring" Terlihat "Garing"

Saat Sekolah "Hebring" Terlihat "Garing"
Ilustrasi: Gedung salah satu SMA Katolik di Siantar
Terlalu cepat dunia luar berlari, sehingga sekolah-sekolah favorit (di jaman dulu) hanya bisa terpaku, bahkan tak sadar diri hingga ia hanya mampu membangun dunianya sendiri. Begitu betah sekolah-sekolah favorit masa lalu itu pada dunianya tadi, sehingga saban hari ia hanya menatap monumen agung yang dulu dibangunnya.

Mereka berharap agar para orangtua siswa, alumni, dan siswa yang masih berjuang di sana turut menatap monumen tadi dengan decak kagum, bahkan dengan bibir dikulum. Sungguh mereka sudah tak mampu lagi membedakan saat di mana mereka sedang mengelola pendidikan yang selalu bergerak maju atau sedang mengelola sebuah bengkel mobil dengan sparepart yang sudah usang hingga tak ocok lagi dengan mobil produk terbaru.

Banyak sekolah favorit kehilangan pesona, justru ketika mereka tak lagi mampu mengelola sumber daya manusia sebagai modal seturut tuntutan jaman. Nyatanya, mereka masih betah menggolongkan guru sebagai SDM atau karyawan, dan apa yang mereka ajarkan (mata pelajaran) tak lain adalah produk yang dipandang masih menarik dijual.

Kata orang semarang, "mereka kleru". Ya, mereka keliru saat memandang guru sebagai karyawan di unit produksi yang selalu siaga meracik produk yang sama untuk dijual. Mereka juga lupa bahwa guru adalah mitra yang terkadang bekerja melebihi tuntutan yayasan.

Pihak yayasan pun harus sadar bahwa guru adalah human capital, manusia yang di dalam dirinya termaktub modal yang sangat besar, bahkan melebihi modal uang yang dimiliki yayasan sendiri. Maka menghargai para guru serta merta akan mendapatkan keuntungan berlipat ganda bagi yayasan.

Sekolah yang dulu favorit itu lupa bahwa kata pengabdian guru justru tak ada harganya disaat uang sekolah anak didik 1 juta per bulan, uang pendaftaran 5 juta, uang study tour 10 juta, uang ujian 2 juta, dan masih banyak jenis kutipan lain. Sekolah-sekolah favorit di masa lalu itu pun justru tertinggal dalam hal memperlakukan guru dan stafnya, disaat sekolah-sekolah pemerintah justru jauh lebih manusiawi dalam memperhatikan sejawat mereka.

Yayasan pendidikan yang menaungi sekolah-sekolah favorit di masa lalu itu pun sering terlalu latah ketika menterjemahkan kata "up to date" dengan menaikkan uang sekolah tanpa menaikan gaji guru, menerima dana BOS tanpa memenuhi tuntutan pemerintah, melobi universitas tertentu agar lulusannya diterima di sana, dan berbagai usaha sia-sia lainnya.

Para pengelola sekolah favorit itu justru melupakan satu hal, yakni bahwa sekolah bukanlah asuransi yang menyebar para sales-nya menawarkan jasa "investasi masa depan" lewat senyuman. Tentu saja para guru itu bukan sales yang mendapat klien lewat satu hingga 10 kali pertemuan hingga mereka tinggal duduk di rumah mendapatkan prosentase bulanan.

Guru harus bertemu "klien" setiap hari dan mengalami dinamika emosi bersama mereka.Belum lagi, ketika tuntutan hidup masyarakat (termasuk guru) semakin tinggi, yayasan sekolah favorit itu justru menekan guru dan stafnya untuk menyediakan waktu lebih banyak di sekolah.

Sementara, selain gaji yang kecil, kualitas keilmuan mereka pun jarang sekali di-upgrade, misalnya dengan menyekolahkan mereka dengan dana yayasan, atau mengirim mereka ke berbagai pelatihan berkualitas tanpa memotong gaji mereka.

Tak hanya itu, sekolah favorit itu juga salah mengantisipasi pasar ketika mereka justru membangun gedung megah dan menjulang tinggi, tetapi serentak abai pada guru-guru yang tak mampu membeli jas dan dasi agar bisa mengajar di ruang dingin nan ekslusif itu. Belum lagi guru-guru tadi bahkan tak mampu mengoperasikan peranti digital canggih yang disediakan.

Bila mentalitas "juragan" yang dipraktikkan para ketua yayasan dan para pemilik modal masih dipertahankan di sekolah-sekolah mereka, maka niscaya mereka akan mendapatkan "klien" yang berbobot dan guru yang berkualitas.

Sebab semua ada harganya. Tak ada makan siang gratis. Maka jangan salahkan bila akhrinya sekolah favorit itu hanya mendapatkan siswa-siswi manja karena mereka anak orang kaya atau anaka-anak sentimentil karena di rumah mereka bahkan tak pernah disentil.

Sementara anak-anak lain yang jauh lebih cerdas dan bermental pejuang, yang mungkin saja berasal dari desa atau anak pegawai biasa akan pergi ke sekolah negeri, yang menggratiskan uang sekolah dan ketika mengajar guru-guru mereka tak akan pusing dengan dapurnya.

Mungkin saja yang kukatakan ini hanya ASUMSI, dan semoga saya salah. Hanya saja keprihatinan yang terungkap ini tak lain dan tak bukan adalah suara para guru dan orangtua siswa yang selalu terdengar saat mendampingi mereka.

Inilah realitas yang meretas dari masyarakat miskin, menengah, dan kelas atas. Syukur-syukur ada yayasan pengelola sekolah favorit di masa lalu itu mendengarnya. (Lusius)


Pena Sinergi

Posting Komentar

Saat menuliskan komentar, tetaplah menggunakan bahasa yang baik, sopan dan sebisa mungkin sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Please jangan mencantumkan link / tautan ya. Terimakasih.