Seorang pentonton hanya bisa mendukung selama menyaksikan pertarungan, dan bila jagoannya menang ia boleh ikutan senang. Tetapi profit yang didapatkan si pemilik panggung dan panitia penyelenggara tak tak ada kaitannya dengan siapa pemenangnya.
Konon katanya, bangsa kita adalah bangsa penonton, di segala bidang, kecuali dalam hal memproduksi hoax alias berita bohong. Di bidang pendidikan, milsalnya, tokoh-tokoh pendidik kita begitu kagum pada sistem pendidikandi Finlandia, Korea Selatan, bahkan Amerika.
Dengan pandangannya subeyektifnya, para pakar pendidikan itu bahkan rela berdebat tentang siapa dari negara-negara itu yang terhebat. Mereka lupa bahwa negara-negara itu tidak sedang bertarung di bidang pendidikan.
Mendikbud dan Menristek-Dikti mereka cerca. Tentu saja, karena dua menteri itu tak sependapat dengannya. Sistem persekolahan kita disebut tak punya model yang jelas, dan bahkan produknya adalah manusia-manusia gamang yang punya arah. Biasanya mereka yang lulusan luar negeri ngotot dengan pendapat jenis ini.
Di sisi lain, mereka yang asli produk lokal tak mau kalah. Toh, kalangan mereka lebih banyak jadi pejabat dan penentu arah kebijakan negara ini. Menurut mereka, pendidikan di negeri ini sudah bagus, hanya saja kebanyakan warga kita yang bermental penjajah, yang lebih mengagumi produk luar.
Ini yang sering terjadi di televisi yang diproduksi Jepang dan Cina; juga di akun-akun media sosial macam Facebook yang buatan si Yahudi-Amerika, atau Twitter produk yang Amerika punya juga. Begitu hebohnya perdebatan itu, hingga melebar ke persoalan politik, hingga mereka tak menemukan titik temu berupa kesimpulan untuk membuat "milik kita", "sistem pendidikan kita".
*****
Kembali pada mental penonton tadi. Di atas sasana pertarungan, penonton bukanlah decision maker alias penentu siapa pemenang pertarungan itu. (Dewan) jurilah yang menentukan. Para penonton boleh saja berteriak dan menuduh juri tak adil, tetapi keputusan sudah terlanjur dibuat, dan penonton hanya bisa menerima.
Pendek kata, mereka yang terlalu betah menjadi penonton hanya bisa naik kelas menjadi penggemar (fans). Tetapi penonton yang punya mentalitas "wanna be" (ingin seperti orang yang ditonton) tak akan lama menjadi penontong.
Tetapi kita, warganet Indonesia seringkali lebih betah jadi penonton, dan mentok-mentok jadi penfikut (follower). Kita rela mengeluarkan banyak biaya untuk menyaksikan pertarungan bagnsa lain, dan setelahnya kita berdebat tentang pertarungan tadi.
Begitu serunya perdebatan itu, hingga kita tak menyadari bahwa di saat yang sama, si pemilik sasana sedang menghitung keuntungannya yang semakin berkelebat. Inilah yang terjadi dengan warganet kita. Apalagi saat ini adalah tahun politik alias masa-masa dimana partai, caleg hingga capres menjual bacot untuk mendapat keuntungan.
Di media-media sosial milik orang Amerika tadi para penonton pun saling berteriak, "Lu Kampret, Gue Cebong!" atau "Dasar Cebong. Kayak gue dong: Kampret!" Perdebatan pun semakin seru. Si Cebong memberi alasan mengapa ia memutuskan jadi cebong,
"Eh, bro. Seekor cebong memang hidup di dalam air. Tetapi, bersamaan dengan lajunya waktu ia akan segera bertransformasi menjadi berudu hingga menjadi katak yang bisa hidup di dua alam: air dan darat. Begitu juga kami yang sekarang sedang berjuang memenangkan capres kami akan meraih kemenangan tahun 2019 nanti."Si Kampret pasti tak mau kalah.
"Oke bro. Kami memang kampret yang betah dalam kegelapan. Tetapi sekali kami keluar dari gua-gua nan gulita ini, maka seluruh dunia akan berubah. Selama ini kami memang takut dengan sinar matahari, tetapi kalian harus hati-hati. Begitu kami berjemur dibawah sinar matahari, itu berarti dunia sedang terbalik. Jadi bila kami menang, apa saja yang sudah ada selama ini akan kami jungkirbalikkan."Begitulah warganet kita saling berdebat tanpa bertatap muka, tentunya. Kita sama saja dengan penonton dari dua kubu berbeda. Begitu betahnya warganet kita menjadi penonton, hingga mereka lupa dan tak menyadari bahwa negaranya sedang bertanding di atas sasana yang ia tontong.
Inilah mentalitas penontong yang menutup peluang dirinya kelak menjadi petarung. Dan sekali lagi, sadar atau tidak, orang dari negara lain, terutama pengusaha media memang sangat butuh penonton dari Indonesia. Sebab, semakin banyak penonton dari negeri ini, profit mereka akan semakin berkelebat dalam bundelan-bundelan Dolar yang diikat. Terimakasih para penonton!
Lusius Sinurat
Posting Komentar