Isu agama laris manis. Tingkat kesucian para capres tiba-tiba diekspos hingga ada kesan bahwa mereka adalah capres terbaik, karena selain cerdas mereka juga kudus.
Untuk menggambarkan bahwa mereka kudus adalah dengan cara menempelkan simbol-simbol agama dalam penampilan sang capres.
Misalnya tiba-tiba seorang cawapres, Sandiaga Uno mengenakan sorban. Padahal sebelumnya selalu tampil dengan rambut sok modis, tiba-tiba ia tak sudi menyalam wanita dengan tangan bersentuhan padahal sebelumnya ia justru meyukai aktris dangdut kenamaan ibukota.
Ia yang tadinya hanya seorang pengusaha, kini malah disuguhi label baru, seperti "santri post islamisme" atau "santri modern" dan berbagai label bernuansa agama.
Hari-hari ini memang banyak politisi yang tampil bak santri; namun juga tak sedikit juga ulama yang memaksa diri jadi tampil bak politisi.
Keduanya sama saja. Ya, sama-sama tak ber-isi. Otaknya bahkan seperti sedang kena polusi.
Jelas ini bukan pertanda bahwa agama semakin berperan dalam memperbaiki bangsa ini. Ini hanya pengulangan dari jama baheula, di mana kaum elite (pengusaha dan penguasa) ingin berebut tahta.
Kebetulan kita menganut demokrasi dan pemilihan presiden secara langsung. Mereka tahu bahwa hasrat untuk berkuasa dalam diri mereka hanya akan terwujud bila mayoritas rakyat memilihnya.
Jadi, sekali lagi, semua kamuflase di atas hanyalah kamuflase musiman. Jelas tak ada kaitannya dengan agama, boro-boro berkaitan dengan keimanan kepada Tuhan.
Kita semua tahu bahwa di Pildes, Pilbup/Pilwalkot, pilgub hingga pilpres model-model politisi karbitan atau santri karbitan begitu banyak bermunculan.
Secar gamblang terlihat dari cara mereka menampilkan diri. Ada calon yang tiba-tiba mengatakan bahwa ia mencalonkan diri atas kehendak Allah SWT yang disampaikan lewat mimpi atau lewat pesan Kyai Anu dan ustadz Nganu.
Kalau si calon anggota Dewan yang beragama Kristen, misalnya, maka ia akan tampil sebagai orang yang rajin ke gereja, dan di setiap ibadah bersama umat ia meminta kepada pendeta agar diumumkan telah memberi sumbangan untuk membeli organ, bangku umat, mimbar atau memberi secara gratis sound system terbaru lengkap dengan pemasangannya.
Persoalannya, masyarakat kita seringkali tak lebih pintar dari lembu. Lembu saja tak pernah terperosok ke dalam lobang yang sama lebih dari dua kali. Lha, masyarakat kita malah suka mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali.
Kehadiran para caleg hingga capres di Mesjid, Gereja, Vihara, Pura, dst secara tiba-tiba lalu memberi sumbangan, sembari menawarkan janji akan memperhatikan mereka, justru kerap diperlakukan bak sinterklas.
Apakah mereka tidak tahu bahwa money politic itu haram dalam demokrasi? Jelas masyarakat kita tahu, bahkan sangat hafal dengan pernyataan itu.
Tetapi mereka juga sadar bahwa satu-satunya cara merampok uang dari orang yang selama ini tak peduli kepada mereka adalah pada saat masa kampanye atau persiapan pemilu.
Jadi, apa yang terjadi saat ini, khususnya segala bentuk tindaka kamuflatif yang dilakukan oleh para capres/cawapres, pun para caleg sungguh tak ada kaitannya dengan agama. Samasekali tak berkaitan.
Sejujurnya, kebiasaan 5 tahunan terkait perselingkuhan politisi dan agamawan ini sungguh tak ada kaitannya dengan caecaropapisme (saat presdien menjadi pemimpin politis sekaligus pemimpin agama).
Migrasi jor-joran dari kyai atau utadz menjadi politisi, juga sebaliknya migrasi para politisi secara tiba-tiba menobatkan diri sebagai ulama tentu menjadi preseden buruk bagi perpolitikan kita, terutama terkait dengan mentalitas rendahan dari masyarakat kita yang "lu kasih gue duit, maka lu pasti gue pilih."
Itu berarti, migrasi ini hanya musiman. Percayalah, setelah kalah atau menang, mereka akan kembali seperti asilnya.
Jadi, semua tindakan mereka tak lebih dari sekedar ingin meraup suara dari para pemilihnya, yang secara kebtulan masih beragama.
Dapat dipastikan bahwa fakta di atas tak ada kaitannya dengan hasrat para politis tadi untuk melanjutkan karya nabi-nabi (prophet) di jaman dulu.
Mereka hanya menginginkan Profit. Dan untuk mendapatkan profit yang mereka inginkan tadi, ia butuh suara rakyat untuk memenangkannya.
Makanya ia tak merasa rugi saat membayar mereka di awa. Tentu saja karena ia tahu kalau nanti menang, keinginannya akan terpenuhi.
Begitulah cara pembenaran diri para politisi untuk meraih kekuasaan, yakni berpura-pura tampil sebagai nabi (prophet) padahal yang ada di otaknya hanya profit.
Posting Komentar